cover landing

Elegy of Summer

By maulabronte


Aku memandangi arloji di pergelangan tangan kananku, sudah pukul 12.30. Aku mendesah pelan sambil mengedarkan pandanganku ke arah kanan jalan. Ya Tuhan, kenapa selalu macet begini, ya, jalan Malioboro? Apalagi di saat weekend seperti ini. Ah, aku lupa ini musim liburan. Penuhnya jalan Malioboro bisa berkali lipat jika dibandingkan saat weekdays. Meskipun begitu aku dan teman-temanku masih saja sering nongkrong di sini, hanya untuk ke Mc-D atau sekedar melihat pengamen jalanan kalau malam, lalu nongkrong di trotoar depan benteng Vredeburg. Sederhana, tetapi setidaknya cukup hemat untuk kantong mahasiswa tingkat akhir.

“Kamu udah mau sampe?” tanyaku, sambil menempelkan handphone di telinga kiri.

Yes, gila macet banget tadi di lampu merah fly over nih gerak kayak siput. Aku udah belok kiri ya, di Inna Garuda.”

“Oke, bye then,” balasku mengakhiri sambungan telepon.

Beruntung hujan sudah reda dan matahari mulai sedikit memunculkan sinarnya. Dari lobby mal, pandanganku fokus tertuju ke jalanan, dari beberapa mobil yang melintas, kedua mataku mencari mobil CR-V hitam, dan begitu aku melihatnya, aku bergegas untuk melangkahkan kakiku ke trotoar. Ben sudah membuka kaca pada pintu mobil. Aku sedikit menunduk, terlihat Ben sudah mengenakan aviator sunglasses-nya.

Aku tersenyum bahagia karena bertemu lagi dengan sahabatku yang satu ini. Aku langsung membuka pintu mobil, bergegas masuk dan duduk. Ben langsung tancap gas bahkan ketika aku belum mengenakan seat belt.

“Sampai pukul berapa tadi?” tanyaku sembari membuka kotak pizza.

“Mmm ...” Ia tampak berpikir. “Jam sembilanan deh kayaknya,” jawabnya malas. “Sampai rumah langsung tidur setelah perjalanan di kereta selama delapan jam, dan kok ada yang tega nelepon lalu minta aku jadi sopir,” ujarnya lagi menoleh sebentar ke arahku sebelum pandangannya tertuju lagi ke depan.

Sedikit kurang sopan memang, meminta Ben yang baru datang dari Bandung untuk mengantarkanku ke acara wisuda kampus. Bukan aku yang mau wisuda, aku hanya menemani Ayahku yang menjadi kepala Yayasan Paragita Bangsa.

Aku tertawa, lalu mengambil sepotong pizza dari kotaknya dengan tangan kananku. “Karena hanya kamu sopir paling ganteng yang aku tahu,” kataku sambil meliriknya.

“Euuhh, girl! So typical.” Ia mendengus sebal.

“Just shut up! And eat this.” Aku menyodorkan sepotong pizza pada Ben.

You know I’m driving.” Ia melirik sekilas.

Aku memutar bola mata. Ya, aku juga tahu dia lagi nyetir, tapi kan dia masih punya tangan kiri. “Oh dude, dan itu sebabnya Tuhan memberi kita dua tangan.

Ben berdecak, tapi kemudian tersenyum. “That’s my girl.”

Sebenarnya aku bisa menyetir sendiri, hanya saja semenjak meninggalnya Ibu, Ayah tidak mengizinkanku untuk menyetir mobil sendirian.

“Turunin di lobi atau di mana nih?” Ia bertanya ketika mobil yang membawa kami sudah hampir sampai lokasi.

 “Masuk ke parkiran belakang aja,” jawabku sembari merapikan rambut. “Aku ke toilet dulu ganti baju. Ya kali acara resmi begini aku pake jins sama kaos doang,” imbuhku sembari mengecek baju ganti yang ada di dalam tote bag.

Ben hanya berdeham lalu membanting setir ke kanan untuk masuk ke halaman parkir belakang kampus.

“Oke, stop di sini aja, tuh aku masuk lewat pintu sana.” Tunjukku pada pintu kaca besar.

Aku melepas seat belt begitu mobil Ben berhenti, dan saat tanganku akan membuka handle pintu mobil, Ben melepas kacamata hitamnya dan mengerutan kening, pandangannya mengarah pada kaca mobil di sisiku.

“Oh, hell yeah! Who’s coming?” Ben menghentakkan telapak tangannya ke setir mobil.

Aku refleks menoleh ke kiri dan membuka kaca mobil. Oh crap! Riza.

“Mungkin kamu bisa jelasin ke aku kenapa tuh bastard ada di sini.” Tunjuknya pada sosok pria tampan, tinggi, berkulit putih yang mengenakan kemeja abu-abu bergaris dan celana panjang warna khaki ditambah dengan sepatu kets putih—yang ternyata tidak sendirian, melainkan bersama seorang gadis cantik mengenakan kebaya warna biru langit sambil menenteng toga.

“Kalau aku tahu dia bakal datang ke sini, apakah mungkin sekarang aku ada di sini, Ben? Sekalipun untuk nemanin Ayah?” ujarku yang kini menatap manik matanya.

“So…?” balasnya sambil meletakkan kepalanya di atas setir mobil.

Aku menghela napas dan menyandarkan punggung ke jok mobil, lalu segera menutup kacanya malas, karena mood-ku seketika menjadi buruk saat melihat Riza—lagi.

"I don’t know Ben. Aku rasa aku belum siap untuk mendengar alasan dari dia, lebih tepatnya aku nggak mau dengar.” Aku merogoh tote bag ku untuk mencari kotak kaca mata.

Seketika lagu high hope dari Kodaline terdengar dari dalam tasku. Aku melihat layar ponselku.

Ayah is calling .…

Aku menghela napas panjang. “Halo,” sapaku.

“Ayah sudah di sini hampir setegah jam untuk mencari-cari anak gadis Ayah, tapi kok belum datang, ya?”

“Maaf Yah, Alia on the way ke sana sama Ben, tapi tiba-tiba ada whatsapp dari narsum Alia kalau dia bisa wawancara terakhir siang ini.” Ide yang lumayan juga, karena Ayah pasti tidak akan bertanya lagi setelah ini.

“Oh, ya sudah. Jadi kamu diantar sama Ben ke sana?”

Benar, kan?

Yes,” balasku tanpa ragu.

“Ok, hati-hati di jalan ya.”

“Siap, Bos.”

Aku melirik ke Ben di sebelahku yang kini sudah mengenakan kembali sunglasses-nya.

“Going somewhere?” Ia bertanya.

“I guess I need a cup of caffeine and a slice of cinnamon roll,” balasku sembari mengenakan sunglasses.

Tanpa menanyakan akan pergi ke mana, Ben sudah tancap gas dan kami keluar dari gedung kampus. Lebih tepatnya mobil Ben melaju keluar dari gedung kampus. Sedangkan aku, menghindar dari kenyataan bahwa Riza sudah kembali ke kota ini dan dengan tanpa sengaja aku melihat wajahnya lagi. Ketika otakku memutar kembali satu persatu rekaman tentang kejadian yang sangat ingin aku lupakan—ketika itu pula otakku menjadi payah, karena masih saja mengingat tentang hal-hal yang tidak berguna.

Terserah aku mau dibilang sebagai pengecut atau menghindar dari kenyataan. Aku hanya belum siap untuk bertatap muka lagi—ralat—lebih tepatnya adalah aku tidak siap menatap wajah Riza lagi.

Riza yang setahun lalu pergi meninggalkan aku yang sedang cinta-cintanya tanpa penjelasan apapun. Padahal dua hari sebelum dia pergi, kami makan malam berdua untuk merayakan graduation-nya. Dia tidak bilang mau ke mana, yang aku tahu dia sudah punya planning untuk bekerja sebagai web developer di perusahaan tempat temannya bekerja di Jakarta.

Dua hari kemudian Riza menghilang tidak ada kabar. Nomor ponselnya tidak aktif. Saat aku mendatangi rumahnya, rumahnya pun kosong dan tetangganya bilang kalau mereka sudah pindah satu hari yang lalu. Dan yang lebih pahitnya lagi, sebulan kemudian dia mem-posting foto di feed instagramnya saat ia sedang berada di potato head beach club bersama seorang perempuan—cantik. Dengan captionthank you for having me. Ditambah dengan icon hati berwarna merah dan dia men-tag perempuan itu, yang kemudian aku ketahui, dia bernama Intan.

Aku rasa aku tidak perlu penjelasan apapun lagi. Mungkin begini caranya Tuhan membuka mataku bahwa Riza bukanlah orang yang tepat untukku. Aku menyesap caramel macchiato-ku. Ben dari tadi hanya diam saja, mungkin dia takut salah ngomong dan takut membuatku merasa marah jika berkomentar tentang Riza yang selalu ia sebut sebagai bastard.

“Kira-kira perempuan yang tadi sama Voldemort siapa ya?” Ben bertanya sambil menatapku dengan ekspresi yang sangat serius.

Aku mengangkat bahu dan menggeleng kemudian menghela napas panjang. “Sebut aja namanya Ben, nggak usah pake Voldemort segala,” decakku sembari melahap cinnamon roll.

Dia membelalak. “Loh! kan memang yang namanya nggak boleh disebut, jadi bener dong aku sebut Voldemort.”

“Biasanya juga kamu bilang dia bastard.”

Whatever lah, dua minggu lagi aku berangkat ke Ann Arbor.”

Aku mengangguk mengiakan, tetapi entah pikiranku ke mana. “Woy, ngelamun apa sih?” Ben menepuk bahuku hingga aku tersentak.

Aku menggeleng pelan. Mataku sudah mulai memanas seperti ada yang menusuk-nusuk jarum ke dalam bola mataku dan membuatku ingin menangis. Otakku masih saja memutar rekaman-rekaman itu, dan yang membuat hatiku kini kembali sakit—tentang bagaimana bisa aku masih mengingat kejadian dan momen saat aku masih bersama dengan Riza. Tiga tahun yang aku lalui bersamanya.

Aku melirik Ben. “Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan Ben?”

“Kamu yakin ingin dengar pendapat aku?” Ia bertanya, sambil menggeser bangku yang ia duduki ke sebelahku, dia sedikit memiringkan kepalanya ke arahku yang masih menyesap hot caramel macchiato.

Ben seperti menimbang-nimbang apa yang ingin ia lontarkan, namun tatapannya masih menatap kedua mataku, tajam. Beberapa saat kemudian ia mengembuskan napas berat dan berkata, “Forgive him.”

Kata-katanya barusan membuatku kaget, hingga aku tersedak dan batuk. How come? I mean, aku masih sulit percaya dengan kata-katanya barusan. Bagaimana dia bisa berpendapat seperti itu? Bahkan yang aku tahu sepertinya ia benci pada Riza, yang mungkin rasa bencinya melebihi rasa benciku pada Riza. Sampai aku saja tidak mengerti, kenapa Ben sebegitu tidak sukanya pada Riza. Padahal yang disakiti aku, bukan dia.

“Apa kamu bilang?” Aku memastikan.

“Ya … kamu kan tanya pendapatku. Aku akan maafin dia, Al. Setelah itu aku akan minta maaf sama diriku sendiri,” jawabnya santai, seolah rasa tak sukanya pada Riza hilang begitu saja.

Aku masih melongo mendengar ucapannya, seperti orang bodoh.

“Kenapa lihatin aku begitu? Bingung?” Ben mengacak-acak rambutku pelan sambil tersenyum. “Alia, ada saatnya kita pernah berbuat kesalahan dalam hidup dan salah ambil pilihan, dan mostly kita nggak nyadar akan kesalahan itu,” ia menjeda ucapannya lalu melanjutkan lagi. “Dan nanti ada saatnya juga kita akan benar-benar sadar bahwa kita melakukan kesalahan, salah ambil pilihan dan keputusan yang membuat semuanya berantakan. Tapi, kita nggak akan pernah bisa kembali ke masa lalu dan membenahi seperti semula seperti di awal. Kita cuma bisa membenahi apa yang salah, yaitu dengan memaafkan, Al. Dan yang aku tahu kesalahan kamu sekarang adalah Riza. Jadi, kalau kamu ingin membenahi kekacauan ini, kamu bisa maafin Riza. And the most important is kamu bisa memafkan diri kamu sendiri yang sudah menghabiskan waktu demi kesalahan kamu itu.”

Aku hanya bisa diam, tak bisa berkomentar apapun karena semua yang dikatakan Ben barusan, benar—meskipun aku masih belum sepenuhnya percaya bahwa seorang Reuben Rasya Atmadja bisa mengatakan hal semacam itu.