cover landing

Dua Cemara

By J.P. SUNU


Setiap patah kata rasanya membeku dan melekat di lidah Junos, susah sekali diucapkan. Wajahnya terasa sangat panas, keringat deras membanjiri tubuh lelaki berusia pertengahan dua puluhan itu. Padahal ruang meeting hotel ini  menggunakan AC yang di-setting bersuhu amat rendah, yang membuat 40 orang perempuan muda yang cantik dan wangi—para teller bank, peserta pelatihan yang sedang duduk di hadapannya—menggigil kedinginan.

Tuhan Yesus, mengapa tak Kau jadikan hari ini sebagai hari kiamat saja?! Ia ingin meneriakkan kata-kata itu sekeras-kerasnya. Tetapi bukan itu yang keluar dari mulutnya.

“A-apakah, sudah je-jelas, semua?”

Tak seorang pun menjawab.

“Ti-tidak ada pertanyaan la-lagi, kan?”

Tetap saja, tak seorang pun menanggapinya. Tidak ada yang memedulikan Junos. Sementara mereka yang duduk di deretan belakang, Astin dan teman-temannya, malah asyik mengobrol sambil cekikikan. Sebagian yang di tengah, sibuk bermain gawai. Sebagian lagi yang terpaksa duduk di bagian depan karena datang terlambat—sehingga tidak bisa berebut kursi belakang—menatap lelaki malang itu dengan puas hati. Belum pernah ada dalam sejarah bank tempat mereka bekerja, ada pelatihan penting dengan pengajar setolol ini.

***

Bencana yang menimpa Junos hari ini, sebenarnya sudah dimulai sejak lewat tengah malam menjelang fajar. Ketika ponselnya berdering kencang, setengah sadar Junos meraihnya dari meja di samping tempat tidur dan mengangkatnya, “Halloh….”

Hello!” Suara balasan di ujung sambungan telepon itu terdengar terlalu riang. Junos melirik jam dinding kamar kontrakannya, jam tiga pagi.

Jauh di sana, di sudut ruangan sebuah kelab malam di Jakarta, Nadia—seorang perempuan berumur menjelang empat puluhan tahun—sedang dalam kondisi setengah mabuk. Satu tangannya memeluk leher seorang pria bule, satu tangannya yang lain menggenggam ponsel. Ia sedang menelepon seseorang bernama Junos di Semarang, seseorang yang belum pernah dilihatnya. Selama ini, Nadia hanya berhubungan dengan Junos melalui e-mail kantor.

Pagi ini, seharusnya Nadya pergi ke Semarang, menumpang penerbangan paling pagi. Namun, ada urusan yang lebih penting di sini, pria bule yang baru dikenalnya dua jam yang lalu ini tampan sekali. Semoga ini hari keberuntungannya. Ia sudah ingin sekali menikah, tetapi bukan dengan pria Indonesia. Ia ingin tinggal di sebuah kota di Eropa. Lagi pula, pria Indonesia tidak ada yang tahu bagaimana cara menyenangkannya.

“Maaf mengganggu tidurmu, tetapi ini penting sekali. Pagi ini saya tidak bisa berangkat ke Semarang, kamu harus menggantikan aku mengajar.”

“Apa?! Saya tidak tahu apa-apa soal mengajar—” Junos mendadak terjaga penuh.

“Santai saja, ini hanya tentang bagaimana memastikan keaslian bank notes, kamu ngerti nggak artinya?” Nadia cekikikan sendiri. “Maksudku lembaran dolar Amerika. Kamu tinggal baca materi dalam bentuk slide yang sudah saya kirim via e-mail sebelumnya. Terima kasih ya, kamu sudah baik sekali.” Nadia menutup sambungan telepon. Lalu sambil tertawa, Nadia menenggelamkan kembali dirinya ke dalam pelukan bule tampan itu. Nadia tidak akan pernah pergi ke Semarang. Tidak hari ini, tidak juga selamanya.

Junos tercekam. Sebagian besar otaknya belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Pagi ini dia harus mengajar keaslian dolar Amerika?  Dia bahkan sama sekali belum pernah melihat seperti apa wujud aslinya, apalagi menyentuhnya.   Dan dia harus mengajari 40 orang teller bank yang jelas-jelas lebih tahu dari dirinya?  Junos mendadak mual, melompat dan berlari ke kamar mandi, muntah-muntah di sana.

Junos tidak bisa tidur lagi hingga matahari terbit. Semua ini gara-gara Bagas!

***

Bagas sedang mulai menyalakan laptop di mejanya pagi itu, ketika Pak Fermon muncul di pintu ruangan Bagas dengan wajah kesal. “Bagas, Junos belum nyampe kantor?”

“Udak kok Pak, tadi saya lihat habis naruh tas di mejanya terus lari ke toilet. Tadi kelihatan pucat sekali, mungkin sedang sakit.” Bagas menerangkan.

“Sialan tuh Nadia.”

“Nadia dari kantor pusat ya? Memangnya kenapa, Pak?”

“Barusan dia telepon, katanya nggak bisa datang dan menyuruh Junos menggantikannya.”

“Hah?! Junos?!” Bagas terheran-heran.

“Iya, ntar kalau Junos sudah ada, suruh langsung ke kantorku ya.”

“Baik, Pak Fermon.” Junos? Mau ngajar teller? Yang benar saja!

Junos muncul dengan wajah lebih pucat dari sebelumnya. Tangannya memegangi perutnya yang tipis.

“Junos, kamu dipanggil Pak Bos tuh?”

“Pak Rajo?”

“Bukan! Pak Fermon yang mencarimu. Eh, kok wajahmu pucat gitu, kenapa sih? Sakit?”

“Aku diare Mas Bagas, udah lima kali bolak-balik ke toilet.” Junos terseok-seok menyeret langkahnya ke ruang Pak Fermon.

Bagas  memperhatikan punggung Junos yang menjauh dengan perasaan prihatin. Semoga Junos baik-baik saja. Bagas merasa sangat cemas.

Junos mengetuk pintu dan masuk ke ruangan wakil kepala kantor wilayah, Pak Fermon Ridhatondi—orang nomor dua paling berkuasa di kantor ini—yang hanya memandang Junos sekilas tanpa menyuruhnya duduk. “Junos, kamu segera ke hotel tempat training teller, gantiin Nadia ngajar.”

Junos susah payah menelan ludah. “Tapi Pak, saya tidak—“

“Cepat berangkat sekarang! Lihat, sudah jam berapa ini?!”

“Baik, Pak.” Dasar keparat.

Junos tidak menyukai Pak Fermon, bosnya itu, tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya, Fermon juga sangat tidak menyukai Junos, bahkan sangat membencinya.

Fermon geleng-geleng kepala. Sialan Bagas, mengapa dia menarik Junos ke kantor wilayah? Junos, bocah komputer pindahan dari cabang Jogja itu, ternyata tidak becus apa-apa.

Fermon mengangkat telepon untuk memanggil Bagas ke ruangannya, membahas masalah yang mengesalkannya ini.  Cepat atau lambat, bocah tolol itu akan melakukan kesalahan fatal. Dan ketika itu terjadi, aku akan menyuruh Bagas untuk menyingkirkannya dari kantor ini. Terserah mau dibuang ke mana.

***

Para teller yang bekerja sebagai ujung tombak pelayanan di kantor cabang bank, sesungguhnya merasa tertekan setiap harinya. Mereka harus terus tersenyum sepanjang hari, meski sedang menghadapi nasabah yang paling rewel dan menjengkelkan sekalipun. Mereka juga harus menghadapi risiko selisih perhitungan uang di akhir hari, atau kecolongan menerima uang palsu. Dan jika itu terjadi, mereka harus menggantinya dengan potong gaji. Memang ada uang tunjangan khusus untuk teller, tetapi jika sedang sial, jumlah tunjangan itu justru tekor dibanding kerugian yang harus mereka tanggung. Peraturan dari manajemen bank sangatlah menyebalkan. Andai saja ada cara untuk membalas dendam, pikir para teller itu.

Mereka memandang orang-orang yang bekerja di kantor wilayah sebagai bagian dari manajemen, bagian dari orang-orang yang seenaknya membuat peraturan menyebalkan dan memperdaya mereka. Pekerjaan orang-orang sok kuasa itu sebenarnya apa sih? Coba saja mereka yang jadi teller, bakalan mati berdiri!

Dan hari ini mereka harus mendengarkan omong kosong Junos—orang dari kantor wilayah yang tidak mengerti apa-apa soal pekerjaan teller—untuk mengajari mereka bagaimana seharusnya bekerja. Junos, pria ceking itu hanya membacakan tulisan yang tertera pada slide demi slide, yang muncul di layar di hadapan mereka.  Dan ketika mereka menanyakan sesuatu, Junos hanya tergagap-gagap dan mengatakan bahwa nanti dia akan menanyakan hal tersebut kepada Bu Nadia terlebih dahulu. Setelah itu, akan meneruskan jawabannya kepada mereka melalui e-mail. Mereka menjadi gusar. Dasar tolol. Kalau cuma seperti itu, kami juga bisa menanyakannya langsung ke Bu Nadia, untuk apa harus lewat Junos

“Ti-tidak ada pertanyaan la-lagi, kan?” Junos mengulang pertanyaan yang hanya membuatnya terlihat semakin tolol.

Tentu saja tidak! Para teller cantik itu bertambah kesal.

Sepulang dari pelatihan hari ini, mereka harus mengisi form evaluasi untuk menilai kualitas pelatihan yang mereka ikuti ini, melalui sistem online yang terhubung langsung ke kantor pusat. Mereka sudah tahu persis, nilai terburuk pun masih kurang buruk, untuk menilai pelatihan konyol ini.

Dan khusus untuk pengajarnya, mereka akan memberikan nilai yang akan membuat pria ceking sok tahu itu, menyesal pernah dilahirkan. Tunggu saja nanti.

Di tengah kekacauan kelas yang semakin tidak bisa dikendalikan Junos, tiba-tiba dari baris belakang berdiri salah seorang gadis, dengan daya tarik ragawi yang seharusnya bisa membuat jantung Junos copot dalam situasi normal. Tetapi ini bukan situasi normal.

“Teman-teman!” seru gadis bernama Astin itu dengan lantang. “Kalian tahu nggak, kalau hari ini Pak Junos ulang tahun?!”

Ruangan yang semula ribut tak terkendali, mendadak hening.

“Apa?!” Junos tercengang.

Gadis itu melangkah ke depan mendekati Junos, dan mendesis di dekat telinga Junos. “Aku sedang coba membantumu. Ikuti saja apa yang kukatakan.”

Junos terbelalak tak percaya. Dia tak mampu memahami apa yang sedang terjadi.

“Nah, teman-teman. Pak Junos akan mentraktir kita semua, makan-makan di rumah makan Kampung Laut. Apakah ada yang tidak setuju?” Tentu saja tidak ada!

Sedetik kemudian ruangan menjadi gempar. Gadis-gadis itu bersorak-sorai riuh dan bertepuk tangan meriah.

“Apa maksudmu?” Junos berbisik kepada Astin. Sangat marah.

“Diamlah, ikuti saja apa yang kukatakan, maka kamu akan selamat.”

“Kamu mengancamku?”

“Bukan aku. Tetapi mereka. Percayalah, kamu akan mendapatkan kesulitan besar jika tidak mampu menangani kelas pelatihanmu yang kacau ini.”

“Tapi aku tidak sedang berulang tahun.”

“Diam!” Astin mendesis tajam.

Junos terdiam, tetapi otaknya berputar cepat. Benarkah perempuan muda yang sangat cantik ini sedang mencoba menolongku? Atau justru sedang bersekongkol dengan teman-temannya, untuk mengerjaiku?

“Nah mari kita menyanyikan lagu ‘happy birthday’ untuk Pak Junos!” Astin memberi aba-aba.

Lagu “happy birthday” segera bergemuruh memenuhi ruangan, mengalun meriah dari bibir-bibir merah para gadis muda yang menawan. Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan dengan sangat gembira, seperti sekumpulan anak TK.

Belum selesai lagu dinyanyikan, mereka sudah berebut keluar ruangan dengan ribut sekali. Tak sabar untuk segera berangkat menuju rumah makan Kampung Laut. Persetan dengan makanan hotel membosankan, yang sudah dibayar menggunakan anggaran kantor wilayah itu.

***

Di rumah makan Kampung Laut,  Junos menyaksikan Astin bersama teman-temannya sesama teller sedang bersuka ria. Mereka semua asyik berswafoto dan mengunggahnya ke media sosial.   Tempat makan terapung di pinggiran laut Semarang ini  memiliki pemandangan yang indah, dengan aneka menu makanan seafood yang sangat lezat dan memuaskan. Gadis-gadis muda itu sungguh sedang bersenang-senang, mereka semua tertawa-tawa bahagia. Tentu saja! Aku yang harus membayar semua tagihannya. Junos memaki-maki dalam hati.

Setelah puas, para gadis itu mulai berangsur-angsur meninggalkan rumah makan untuk pulang ke kotanya masing-masing. Tak seorang pun dari mereka menoleh kepada Junos untuk berpamitan, atau sekedar melambaikan tangan. Mereka pergi begitu saja.

Seorang pelayan datang untuk memberikan nota tagihan, Junos tercekat melihat jumlah tagihannya. Sialan, apa saja sih yang mereka makan? Tagihan yang harus dibayar Junos jumlahnya nyaris sebesar gajinya sebulan. Dengan enggan Junos mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya, dan menyerahkannya kepada pelayan yang menerimanya dengan sopan.

Junos memejamkan mata, memijit-mijit sendiri keningnya. Ini adalah hari yang buruk, dan sepertinya akan menjadi bertambah buruk saja.

“Mas Junos, saya balik dulu ke Jogja ya.”

Junos terkejut, ternyata belum semua teller pergi, masih ada Astin tertinggal di sini.

“Oh, iya.” Junos menerima uluran tangan Astin. Telapak tangan gadis itu lembut sekali. Satu-satunya yang berpamitan dan menyalaminya sebelum pergi.

Astin berbalik dan melangkah pergi. Sekilas, Astin sempat melirik liontin kalung berbentuk salib berwarna perak menggantung di leher Junos.  Astin terus melangkahkan kakinya yang langsing dan terbungkus celana berbahan denim hitam, menuju ke tempat parkir. Ada sopir kantor yang dikirim dari Jogja untuk menjemputnya.

“Kita pulang sekarang, Pak Tumijo.” Astin masuk ke dalam mobil sambil mengusap rambutnya yang halus panjang hingga sebahu, yang agak berantakan karena tertiup angin laut sore hari.

“Baik, Mbak Astin.” Tumijo mengangguk dan mulai mengemudikan mobil.

Sudah menjadi kebiasaan Astin untuk berdoa menjelang berpergian. Alloohumma innaa nas-aluka fi safarinaa haadzal-birro wattaqwa, wa minal ‘amali maa tardho. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu dalam perjalanan kami ini, kebaikan dan ketaqwaan serta amal perbuatan yang Kau ridhai.