cover landing

Dirty Friendzone

By desymiladiana


Februari 2015

 

Mata Nisaka berkaca-kaca menatap seseorang di seberangnya. Nakula juga tengah memandanginya dengan sorot yang sulit dibaca. Mata mereka berserobok di udara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Diam-diam Nisaka menatap lekat Nakula. Sebelum sahabatnya itu pergi, dia ingin menyimpan kenangan akan pria itu sepanjang malam. Sebab tidak sampai dua puluh empat jam lagi, mereka harus berpisah jalan demi meraih cita-cita. Diyakinkannya lagi dirinya sendiri bahwa dia tidak kehilangan siapa pun, hanya tak lagi bisa menyentuh Nakula ataupun melihat langsung raganya.

“Sa, jangan ngelihatin gue terus,” ucap Nakula, tapi sahabatnya itu tidak berhenti menatapnya. “Nanti lo naksir.”

Seketika Nisaka memelotot. Terkejut mendengar kesimpulan yang meskipun konyol tetapi sangat tepat sasaran itu. Ini adalah rahasianya seorang diri, bahwa dia menyukai sahabatnya itu sejak lama. Mungkin sejak laki-laki itu memilih duduk bersamanya di sudut kelas. Mungkin juga sejak Nakula selalu membelanya di depan teman-teman mereka yang bersikap jahat padanya. Atau karena pelan-pelan, mereka berbagai kisah dan obrolan yang tak pernah putus.

“Impian lo sebenarnya apa sih, La?” bisik Nisaka. Mengalihkan pembicaraan sekaligus menutupi rasa gugup yang tiba-tiba hadir melingkupinya.

Mendengar itu Nakula malah mendengkus, seolah pertanyaan itu sangatlah konyol. Masalah impian satu sama lain, mereka sudah lama saling mengetahui. Hanya saja Nisaka ingin kembali diyakinkan, bahwa pilihannya untuk melepaskan sahabatnya pergi jauh melintasi benua bukanlah kesalahan.

“Dengar baik-baik ya, Nisaka Pramesti, karena gue nggak mau mengulangi ini untuk kesekian kalinya.”

Nisaka mengangguk pelan.

Tahu-tahu saja Nakula menerawang jauh. Sorot mata yang berkobar menunjukkan betapa kuat keinginannya. Mengabaikan rintangan yang akan mengadang laki-laki itu di masa depan. Berani, tapi juga gila karena memilih menghadapi misteri takdir seorang diri. “Kuliah di luar negeri, Sa. Pake beasiswa lebih tepatnya. Gue mau belajar mandiri, jauh dari orang tua gue. Lulus dengan nilai bagus. Kerja di sana. Pas gue balik ke Indonesia, ortu gue bangga karena gue pulang bawa gelar dan kerjaan yang menjanjikan. Itu keinginan gue dan nggak muluk sama sekali.”

Nisaka mengangguk cepat. Impian yang masih sama seperti yang Nakula katakan padanya setahun lalu. “Lo udah maju selangkah, La. Besok … lo berangkat.”

“Ya ….” Nakula memamerkan senyum cemerlangnya sementara matanya lagi-lagi mengunci tatapan Nisaka. “Lo sendiri, impian lo masih sama, Sa?”

“Masih,” ucap Nisaka sembari terkekeh kecil. Impiannya tidak sebesar Nakula, tapi menurutnya cukup. “Punya keluarga kecil yang utuh, gue dan suami gue, anak-anak kami. Menurut lo, konyol nggak, sih?”

“Nggak, Sa.” Nakula menggeleng.

Impian Nisaka memang terdengar biasa, tetapi baginya akan luar biasa jika itu menjadi nyata. Sejak usianya tujuh tahun, dia tak lagi mengenal orang tuanya. Ibu-bapaknya meninggal karena kecelakaan tragis. Dia dan kakaknya berakhir diasuh oleh Kakek dan Nenek yang kemudian tiada saat Nisaka di bangku sekolah menengah. Materi memang tidak pernah kekurangan, tapi kasih sayang keluargalah yang dia butuhkan. Terlebih saat Manika, kakaknya yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya itu terasa semakin jauh karena bekerja banting tulang menghidupi mereka berdua.

Kalau bukan karena Nakula, mungkin Nisaka sama sekali tidak punya teman. Atau bertemu dengan papa-mama sahabatnya yang sangat menyayanginya juga. Berkat Nakula pula, keinginannya untuk memiliki keluarga semakin kuat. Dia tidak mungkin meminta orang tuanya bangkit dari kematian untuk merasakan kehangatan dan keutuhan sebuah keluarga. Dialah yang harus berusaha untuk membuat keluarga versinya sendiri.

“Sa.”

Panggilan Nakula menyentak Nisaka dari lamunan.

Nakula mendadak bangkit dari duduknya, menyeret tas di sisinya untuk berpindah duduk di samping Nisaka. Mereka saling menatap sejenak. Lalu, sahabatnya itu membuka ritsleting tas. Sebuah botol besar dengan cairan bening menyembul dari dalam.

“Apa itu?” tanya Nisaka bingung.

Dengan suara rendah, Nakula menjelaskan, “Vodka, Sa. Mumpung lo nginep di sini dan nyokap-bokap gue udah tidur. Ayo kita pesta pelepasan dengan cara … berbeda.”

“La!” Nisaka panik, takut ketahuan dan kena marah orang tua Nakula. “Kalau papa-mama lo tau, gimana?”

“Tenang.” Nakula tiba-tiba membuka botol. Menuangkan cairan bening tersebut ke dua gelas kosong di meja depan mereka. “Papa-Mama udah tidur, paling besok bangun kesiangan juga. Ketika mereka bangun, semuanya sudah bersih dan nggak ada yang tau kalau kita … minum. Ayolah, Sa, sebelum gue pergi, gue mau kita bersenang-senang dengan cara gue.”

Kali ini Nisaka tak lagi bisa menolak. Terlalu menyayangi seseorang terkadang bisa melumpuhkan logikanya, hingga dia mau menuruti apa saja yang diperintahkan oleh orang yang dia sukai. Dengan enggan Nisaka pun meraih gelasnya. Mendentingkan benda tersebut dengan gelas Nakula, kemudian menenggaknya lambat-lambat. Cairan itu pahit, tapi ada rasa manis yang khas di akhir. Rasa panas langsung merambati sekujur tubuhnya. Otaknya yang tadinya penuh pelan-pelan terasa kosong. Sensasi berbeda yang belum pernah dia dapatkan ini cukup dia sukai.

“Lagi, Sa?” tawar Nakula yang hanya dibalas Nisaka dengan anggukan lemah.

Lagi dan lagi mereka menenggak vodka yang Nakula bawa. Hingga hanya setengah botol saja yang tersisa. Nisaka yang memang tidak pernah minum, bicaranya mulai melantur. “La!” bisiknya seraya menarik ujung kaus Nakula. Sambil menggeleng-geleng dia berkata, “Jerman jauh banget sih, La? Gue nggak mau lo pergi, La. Nanti gue kesepian, terus siapa yang jagain gue dari orang-orang jahat yang nge-bully gue? Nakula, tinggal!”

Isakan lirih Nisaka terdengar. Sentuhan lembut pada kedua pipinya kemudian menghentikan air matanya. Tanpa sadar dia menatap manik gelap milik Nakula. “La ….”

Entah siapa yang memulai lebih dulu, tahu-tahu saja jarak wajah mereka sudah begitu dekat. Belum sempat Nisaka merespons dengan sisa kesadarannya, bibirnya menyentuh sesuatu yang hangat dan basah. Refleks, dia memejamkan mata. Mencecap rasa yang selama ini menjadi tanda tanya dalam benaknya. Awalnya, ciuman itu begitu lembut dan lambat. Semakin lama, menuntut tanpa keraguan bahwa bisa saja hubungan persahabatan mereka dipertaruhkan setelah kejadian tidak terduga ini.

Namun, Nisaka tidak peduli. Dia menyukai Nakula. Waktu kebersamaan mereka akan segera habis. Jadi, jika ada kesempatan yang bagus untuk memiliki sahabatnya dalam semalam, dia akan melakukannya. Segila apa pun itu.

***

Kecanggungan yang kental menyelimuti ruang tunggu bandara sore ini. Memori semalam berputar di kepala Nakula seperti potongan cepat trailer film panas. Mereka melakukannya di kamarnya. Ciuman demi ciuman, sentuhan demi sentuhan, meskipun ingatan itu samar, tapi sangatlah nyata.

Ada rasa ngeri dan juga bersalah dalam diri Nakula. Terlebih saat menemukan Nisaka memeluknya erat dan tanpa busana di ranjangnya. Sahabatnya itu juga sempat menangis pagi tadi, walau harus segera disudahi karena mereka harus membereskan kekacauan sebelum orang tuanya terbangun. Meski semua sudah terjadi, sebagai pria, dia tetap saja sangat menyayangkan sikap sembrononya.

“La.”

Panggilan Nisaka berhasil mengembalikannya ke dunia nyata. Nakula menoleh. Sebuah kode dengan lirikan mata tertuju pada papan pengumuman menandakan bahwa waktu kebersamaan mereka akan segera berakhir.

Boarding,” lanjut Nisaka.

Nakula mengangguk singkat. Bergegas dia berjalan menuju restoran tempat orang tuanya menunggu. Mamanya, Bunga, langsung menoleh saat mendapati Nakula mendekat. Spontan, Nakula pun memeluk Bunga erat. Berbisik meminta izin untuk berangkat mengejar impiannya.

“Jaga diri Mama baik-baik,” kata Nakula. Pelukannya segera berpindah pada sang papa, Andre. “Papa juga jaga diri baik-baik di sini.”

Perlahan dia melepaskan pelukannya. Ditatapnya bergantian orang tuanya sembari menggenggam erat tangan mereka.

“Nisaka udah janji buat sering datang ke rumah. Dia juga janji bakal gantiin tugasku jagain Papa-Mama.” Suara Nakula tersekat saat mengatakan itu. Lagi-lagi rasa bersalah menghantamnya. Egois jika dia melarang sahabatnya mengunjungi papa dan mamanya, mengingat betapa sayangnya Nisaka pada orang tuanya.

“Iya, iya, La.” Mama mengusap pundak putranya penuh kasih. “Kebalik kayaknya, kita yang malah bakal jagain Nisaka karena kamu nggak ada buat dia.”

Nakula meringis. Tugasnya sejak dulu memang melindungi Nisaka, tapi sekarang akan sulit dia lakukan. Sahabatnya harus bertumbuh dengan kuat seperti yang selalu dia ajarkan. Mandiri juga seperti yang akan dia lakukan sebentar lagi. Mereka tidak bisa selamanya terikat dan saling bergantung pada satu sama lain. Umur mereka masih terlalu muda untuk tidak mengambil risiko seperti berjalan di persimpangan jalan yang berbeda untuk meraih impian masing-masing.

Sebelum boarding, Nakula kembali pada Nisaka. Gadis itu menunggunya di depan restoran. Matanya memerah dengan air mata yang terus bercucuran. Hal terberat yang membuatnya dilema saat beasiswanya disetujui adalah meninggalkan Nisaka sendirian. Sahabatnya akan kembali kesepian dan Nakula tidak menyukai fakta itu. Namun, sekali lagi, logika memaksanya untuk belajar dewasa dan mempertahankan keyakinannya untuk tetap pergi.

“Sa,” panggil Nakula seraya menyentuh lengan gadis itu. Diremasnya cekalan tangannya seraya menatap lekat Nisaka. “Jaga diri lo baik-baik.”

Nisaka mengangguk cepat. Tanpa bisa dicegah, sahabatnya itu langsung melemparkan diri ke dalam pelukannya. Sulit untuk tidak menangisi perpisahan ini, sebab mata Nakula langsung berkaca-kaca. Dia juga sudah memaafkan kebejatannya semalam.

“Maafin gue, Sa. Semalam … gue bejat banget,” ucap Nakula rendah, takut terdengar papa-mamanya yang kini berdiri beberapa meter di dekat mereka.

“Nakula Adhitama, gue maafin karena kita sama-sama nggak sadar. Lo juga jaga diri baik-baik. Jangan sakit. Jangan makan kepiting sembarangan. Nggak boleh ngobat, apalagi mabuk di tempat nggak aman. Jangan lupa sering-sering telepon gue dari sana. Gue bakal kangen berat sama lo, La.” Nisaka terisak pelan, bahkan pelukannya semakin mengerat.

Sayangnya, suara pengumuman yang menyatakan bahwa penumpang harus segera boarding memaksa Nakula melepaskan pelukan mereka. Matanya memburam, terlebih saat melihat sosok rapuh Nisaka di depannya.

“Gue juga bakal kangen sama lo, Sa. Inget, lo harus bersosialisasi. Jangan lemah, apalagi diem aja kalau ditindas. Gue lagi nggak bisa belain lo, jadi lo harus bela diri lo sendiri.” Nakula terdiam sejenak. Menarik napasnya dalam-dalam. “Tapi, gue tetap minta maaf atas kesalahan-kesalahan gue, Sa. Gue … berangkat.”

Nisaka mengangguk lemah. Ketika akhirnya cekalannya terlepas, sesuatu yang kosong dan salah langsung terasa. Susah payah Nakula melangkah memasuki ruang check-in bandara. Berusaha keras untuk tidak berbalik menatap orang tuanya, terlebih sang sahabat yang terisak semakin kencang.

Ketika akhirnya dia sendiri di dalam pesawat, menatap nanar hamparan lajur bandara yang luas dan kosong, Nakula tidak bisa kembali lagi. Tekadnya bulat untuk meninggalkan negaranya, Nisaka, dan kesalahannya malam tadi. Nakula hanya berharap, sahabatnya baik-baik saja di sini dan bahagia dengan apa pun yang dia pilih.