cover landing

Dikejar Berondong

By irma_nur_kumala


"Hidup tidak pernah adil tapi itulah sesungguhnya makna hidup. Semua ditentukan dengan bagaimana cara kita menyikapinya."

 

 

"SERBUU SMA DARMAWANGSA. MAJUUUUUU!"

Seruan itu sontak membuat Boram refleks menutup kedua telinganya seraya melihat ke arah belakang di mana ada banyak anak-anak berseragam putih abu-abu bergerak maju menuju ke arahnya dengan benda-benda tajam di tangan. Boram bergegas minggir dan berdiri kaku di samping pot bunga tidak bisa ke mana-mana. Sekolah tempatnya mengajar berada tidak jauh di depan dan di sana juga sudah ramai dengan anak-anak yang siap bertarung. Sepertinya terlalu berisiko kalau dia bergerak, jadi dia memilih bersembunyi di balik pot bunga yang cukup besar itu sampai keadaan dirasa aman untuk segera melarikan diri.

“Ya Tuhan, tolong lindungin Boram,” bibirnya komat-kamit takut.

Boram mengkeret saat anak-anak dari sekolahnya sudah melewatinya lalu bentrok dengan sekolah lawan.

"Jangan kasih kendor. Lawan mereka semua!”  Seorang cowok berseragam yang memakai slayer menutupi mulutnya berteriak di posisi paling belakang tepat di depan Boram. Lalu tanpa sengaja tatapan mereka bertemu membuat Boram makin mengkeret. Dilihatnya cowok itu diam memperhatikannya dan akhirnya bergerak mendekat.

"Duh, Mbak Cantik kenapa bisa ada di sini." Cowok itu langsung menarik lengannya.

"Eh... eh jangan pegang-pegang, ya."

"Mbak mau ditolong nggak?"

Boram mengamati kedua mata tajam yang dihiasi alis tebal itu dengan saksama, "Kalau ditolong mau, tapi kalau diculik saya nggak mau."

"Kalau dihalalin mau nggak?"

Eh!

Boram mengerjapkan matanya. Tawa cowok itu menggema.

"Saya janda loh."

Cowok itu langsung terdiam menatapnya saksama, tidak lama kemudian terkekeh dan mengangguk. Padahal bukan itu reaksi yang diinginkan Boram.

"Mbak lucu ya. Mau ke Sekolah Darmawangsa, kan?"

"Kok tahu?"

"Feeling aja."

Cowok itu tiba-tiba langsung menarik Boram berlindung di balik badannya yang untuk ukuran anak sekolahan cukup kekar ditambah postur tubuhnya tinggi menjulang. Boram lupa kalau tidak jauh di belakangnya sedang terjadi tawuran.

Anak-anak zaman now makannya apa ya, kok kekar begini?

BUK!

"Sial!” umpatnya, menoleh ke belakang. “Woi, brengsek!" teriaknya lantang ke adu bentrok yang terjadi. "Kevin, lo ambil alih sebentar. Gue mau balik ke sekolah dulu."

"Sip." Seseorang menyahut dari belakang.

Boram mendelik seraya memeluk tas di dada saat melihat batu besar tergeletak di dekat kakinya, mengabaikan fakta kalau dia tengah dipeluk oleh sebelah lengan cowok SMA tadi sangking kagetnya. Lalu lengan itu mengurai dan ganti menarik tangannya membawanya berlari masuk ke gang tidak jauh dari sana.

"Ayo lari Mbak, yang cepat. Mereka tadi sudah ngelihat gue dan pasti sebentar lagi kita dikejar."

"Memangnya kamu siapa?" Boram dengan sepatu heels-nya berusaha menyamakan langkah berlari cowok itu.

"Gue artis, Mbak," kekehnya.

Boram sempat menatap cowok itu aneh sebelum denyutan di kakinya terasa sampai ke kepala.

"Aduhhhh, berhenti sebentar."

"Kenapa?"

Mereka berhenti berlari. Boram merunduk dan memijit tumitnya. Cowok itu berjongkok di samping kakinya memperhatikan.

"Saya jago lari, tapi kalau pakai heels sakit."

"Lepas aja kalau gitu. Nanti mereka keburu datang. Atau mau gue gendong?" ucapnya seraya mengangkat pandangan.

Boram menggeleng kencang, berniat melepas heels-nya saat tangan cowok itu menahannya. "Jangan dilepas, deh. Kakinya nanti kotor. Gue nggak mau kaki Mbak nanti kena kutu air. Jalanan lagi becek."

"Lah terus?"

Cowok itu berdiri, melepas kedua sepatu conversa putih yang kelihatan sekali mahalannya lalu meletakkannya di depan kaki Boram.

"Pakai ini aja."

"Nggak ah, nanti kakiku bau."

Cowok itu tertawa, "Nanti kakinya Mbak, gue semprot parfum deh kalau bau."

"Woi, itu Samudra. Cepat kejar!” Teriakan itu menggema jauh dari belakang.

"Tuh kan, kita ketahuan.”

Cowok itu dengan sigap langsung memasangkan sepatunya ke kaki Boram yang cuma bisa bengong dan berpegangan di bahunya agar seimbang.

"Kalau kita tertangkap bisa jadi perkedel. Kalau gue aja sih nggak apa-apa, tapi kalau sampai Mbak kenapa-kenapa, saya nggak mau."

Boram hanya bisa mengerutkan alis, bingung.

"Nah beres. Yuk kita lari!"

"Lari ke mana?"

Cowok itu berdiri, masih dengan tatapannya yang berkilat jahil seraya tertawa, "Lari menyongsong masa depan kita berdua, Mbak."

Boram bengong maksimal.

Cowok itu mengambil sepatu heels Boram, menentengnya di tangan kanan sedangkan tangan yang lain menggenggam tangan wanita itu dan menariknya berlari semakin menjauh ke dalam dengan lima orang cowok yang mengejar di belakang.

"Berhenti woi, Samudra!” Teriakan-teriakan menggema.

Boram merasa sedang berada dalam adegan FTV yang sering ditontonnya.

Boram memperhatikan cowok di depannya yang berlari tanpa alas kaki di jalanan becek dan berbatu. Dia terkejut saat melihat bagian punggung cowok itu menampakkan warna darah yang tercetak di seragam sekolahnya.

"Nah, sampai. Tapi harus dibuka dari dalam."

Boram tidak sadar kalau mereka sudah sampai di depan pintu cokelat yang di sekelilingnya terdapat tembok bata putih.

"Ini belakang sekolah?"

Cowok itu mundur ke belakang menjauh dari dinding menyerahkan sepatunya seraya menjawab, "Iyalah, Mbak. Memangnya Mbak kira mau dibawa langsung ke KUA? Sabar ya mbak. Mungkin nanti."

Boram mendengus, "Ya nggak gitu juga. Memangnya siapa yang mau nikah sama situ?"

"Banyak. Nanti saya kasih lihat wujudnya yang ngantri mau jadi pacar saya, Mbak."

"Ihh, males."

Tidak lama terdengar suara berisik yang semakin mendekat. Cowok itu mengambil ancang-ancang, "Mbak minggir dulu."

"Kamu mau ngapain?"

"Mau membuat Mbak terkesima."

Boram mengerjapkan mata saat cowok itu berlari ke depan dengan langkah lebar, loncat dan merayap di dinding yang memang tidak seberapa tinggi itu dengan tangkas. Sampai dia berhasil mendarat di atas sana dengan gagahnya.

"Keren nggak, Mbak?"

Boram tidak menjawab tapi gantinya langsung bertepuk tangan. Cowok itu terkekeh kemudian menghilang turun ke balik tembok yang lain.

Suara berisik itu semakin terdengar. Boram gigit jari seraya mendekat ke pintu cokelat di depannya dan mengetukkan tangannya ke sana.

"Duh, cepetan dong dibuka."

Apes sekali di hari pertamanya bekerja malah terlibat insiden seperti ini. Lama tidak dibuka Boram semakin ketar-ketir. Apa dia ditinggalkan oleh anak SMA tadi? Boram panik. Lalu kelebatan kelima cowok itu tampak bersamaan dengan pintu yang akhirnya terbuka dan tarikan di lengannya membawanya masuk. Boram terjerembap ke dalam pelukan seseorang setelah pintu cokelat itu kembali tertutup.

Boram mengerjapkan mata menatap sosok di hadapannya.

Boram terpesona.

Cowok itu sudah melepaskan slayer yang menutupi sebagian wajahnya tadi dan Boram bisa melihat jelas ketampanan yang tadi tersembunyi di baliknya.

"Welcome to my kingdom, lady." Ucap cowok itu dengan senyuman lebar. 

***

"Samudra."

Boram mengerjapkan mata, bertanya dengan tampang kebingungan, "Hah?”

Boram yang semula memperhatikan mata hitam itu lekat, perlahan menurunkan pandangan ke sudut bibir yang tertarik membentuk senyuman manis. Membuatnya salah fokus bergeser beberapa inci ke bibir tipis yang bergerak mengucapkan nama yang sejak tadi dia ulang.

"Nama gue Samudra, Mbak."

"Oh."

Masih dalam dekapan cowok itu, Boram mengangguk. Entah dia keenakan dipeluk atau lupa dengan posisi mereka. Boram memeluk tasnya di depan dada dengan telapak tangan kanannya menyetuh dada cowok itu tepat di area jantung. Rasa-rasanya, Boram seperti bisa merasakan dentuman bertalu-talu dari dalam sana.

"Bibir gue jangan dilihatin terus seperti itu, Mbak. Bahaya."

Boram kelabakan. Ketahuan memperhatikan bibir itu lebih lama. Wajar saja sebenarnya, karena tepat berada di depan wajahnya. Boram tersadar dan langsung melepaskan diri dengan salah tingkah.

"Sori," ucapnya pelan.

Cowok itu terkekeh pelan, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, bersandar nyaman di dinding bata memperhatikan setiap gerakan Boram yang merapikan blus juga rambutnya.

Boram tersenyum tulus, "Makasih banyak ya, Dek."

Samudra mendelik, berdiri tegak menjulang tampak tidak terima dengan panggilan itu. "Samudra, Mbak. Bukan Dek."

"Itu panggilan yang normal karena kamu lebih muda dari saya. Apanya yang salah?”

Samudra menggeleng cepat, "Nggak! Gue nggak terima dianggap adek. Gila aja, macho gini masa dikira dedek gemes. Ogah!"

Boram bengong. Samudra membungkuk untuk mengambil alih sepatu heels di tangannya seraya bergumam, "Jadi ya Mbak, gue nggak suka dipanggil begitu. Nama gue Samudra Arkana. Titik. Tapi kalau Mbak punya panggilan sayang yang lain, nggak apa-apa sih asal jangan dek," Ucapnya arogan saat kembali menegakkan punggung menatap intens Boram yang hanya bisa terdiam.

Samudra mendekat sejengkal, menyeringai tengil. Tanpa melepaskan tatapan mereka, Samudra perlahan turun membuat Boram otomatis ikut menurunkan pandangan sampai dia berjongkok di depan kakinya, mengambil telapak tangan Boram dan meletakkannya di pundaknya. Boram mengerjapkan mata. Samudra tersenyum.

Boram memperhatikan Samudra yang menundukkan kepala mulai membuka ikatan kedua sepatu miliknya dan melepasnya perlahan hingga Boram harus berpegangan pada pundak itu mencoba menyeimbangkan diri sampai kedua sepatu heels hitamnya terpasang sempurna di kakinya tanpa bersentuhan dengan tanah sedikit pun.

Agak lebih romantis dari saat memasangnya tadi yang terkesan terburu-buru.

Samudra berdiri, Boram sudah salah tingkah dengan wajah bersemu merah. Cowok itu memakai lagi sepatunya dan menoleh ke arah sekolah yang sepi karena masih jam pelajaran sekolah.

"Jadi…” Samudra kembali menatapnya. "Nama gue Samudra ya, Mbak. Harus diingat. Kalau lupa harus diingat lagi sampai ingat."

"Kok maksa?"

"Biar aja. Gue memang suka memaksakan kehendak untuk sesuatu yang gue sukai."

"Hah!" Boram tidak mengerti.

"Mbak masuk aja sana duluan. Gue harus balik ke pasukan gue lagi." Samudra berjalan mendekati pintu cokelat itu.

"Ehh… kamu mau ke mana?"

Langkah Samudra terhenti di depan pintu dan menoleh, "Tawuran lagi dong, Mbak. Nanggung. Atau Mbak lebih suka gue temani jalan-jalan di dalam?”

"Eh, bukan gitu. Astaga, kamu nih. Tawuran itu kan bahaya."

Samudra terkekeh geli, "Cie perhatian cie. Makasih ya Tuhan, ada yang merhatiin Samudra."

Boram mendengus, "Ngarep banget kamu. Saya kan cuma mengingatkan."

"Iya iya Mbak, jangan cemberut gitu dong."

"Kamu ngomong apa sih, saya nggak ngerti."

"Dadah Mbak Cantik. Sampai ketemu lagi nanti." Samudra melambaikan tangannya dan mengedip sekali membuat Boram langsung mendelik melihatnya.

"Eh Samudra—" Boram kembali memanggil dan Samudra kembali berbalik.

“Apa Mbak?"

"Makasih ya."

Samudra tersenyum lebar, mata hitamnya tampak bercahaya membuat silau. Boram hanya bisa terpaku.

"Sama-sama Mbak…," Samudra cengengesan dan berucap pelan, "ku."

Setelah mengatakan itu Samudra langsung keluar dan menutup pintunya dengan gerakan cepat. Boram tampak berpikir sebentar mengingat apa yang terakhir tadi dikatakan Samudra, tetapi dia menyerah bingung dan bergerak mendekati pintu karena penasaran. Dibukanya sedikit dan melihat Samudra berlari mendekati lima cowok yang ternyata menunggu tidak jauh dari dinding sekolahan seraya berteriak.

"Sini lo semua lawan gue!! tantangnya.

Boram ternganga dan terdiam saat menyaksikan Samudra berkelahi dengan kelima cowok itu. Hormon remaja benar-benar berbahaya. Mereka berani mengambil risiko meskipun tahu kalau berkelahi itu menawarkan hal yang tidak main-main, nyawa, hanya agar dicap jagoan.

Boram jadi ingat Kang Mas Kelana.

Boram berjengit kaget saat merasakan tepukan pelan di pundaknya. Dia menutup pintu dan menoleh lalu terkesima saat melihat lelaki yang berdiri menjulang di belakangnya.

"Boram Arenda Rais?"

Boram menelan salivanya "Ya?"

Lelaki itu tersenyum maskulin, otot kekarnya tercetak sempurna di balik kaus ketat warna putih yang di dadanya terjuntai pluit merah yang dikalungkan ke lehernya.

"Mari ikut saya. Anda sudah ditunggu kepala sekolah."

Boram mengerjapkan mata dan mengangguk lalu menyamakan langkah di samping lelaki itu masuk lebih dalam ke area sekolah. Saat akan masuk ke dalam ruangan, lelaki itu berdiri menghalangi pintu membuat Boram bingung.

“Nama saya Reihan, Bu. Selamat datang di sekolah Darmawangsa.”

***