cover landing

Di Balik Semesta Narulita

By Tiara Purnamasari


"Kamu sudah datang di hidupku sejak lama dan memberiku arti cinta. Namun, mengapa kini semua keindahan dunia kamu renggut dalam sekejap mata?"

-Ethan Semesta Wijaya-


Ethan mengendarai Pajero Sport hitamnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Kabar yang semalam disampaikan Galant, kakak lelaki Ethan satu-satunya membuat ia memutuskan pulang ke Bandung hari ini juga—padahal rencananya ia akan pulang dua hari lagi. Ia tak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak bertanya langsung pada keluarganya soal kabar itu.

Bayangan Narulita makin menggila mengusik pikirannya sejak Galant menyampaikan kalau dia akan menikah dengan perempuan berhijab tak terlalu lebar itu. Ethan pikir dia hanya bercanda, tetapi kemudian ia sadar kalau kakaknya itu bukan tipikal orang yang senang bercanda, terlebih dengan sesuatu yang serius seperti pernikahan.

Tidak. Ethan tidak bisa diam saja di Jakarta begitu mendengar kabar bahwa wanita yang selama ini memenuhi semestanya akan melangsungkan pernikahan dengan lelaki lain dalam waktu dekat. Itu pun dengan kakaknya sendiri. Bagaimana bisa ia hanya tenang-tenang saja di apartemennya di Jakarta sementara nasib cintanya tengah berada di ujung tanduk.


Than, kapan kamu pulang? 

Usahakan kamu pulang secepatnya.

Kakak akan menikah dengan Naru akhir bulan ini.


Bukan hanya terkejut, Ethan merasa jantungnya berhenti berdetak kala membaca deretan huruf yang dikirimkan kakaknya semalam. Dunianya berubah muram saat ia membayangkan Narulita akan dipersunting kakaknya. Status adik yang selama ini disematkan pada wanita bertubuh mungil itu akan berubah menjadi kakak ipar. Bagaimana bisa?

Begitu terus yang ada dalam benaknya sepanjang perjalanan. Tak sadar apa yang bergelut di otaknya justru memengaruhi caranya mengendarai. Bila biasanya jarak Jakarta-Bandung ditempuhnya dalam waktu sekitar empat jam kurang, kini dalam kurun waktu tiga jam ia sudah sampai di kediaman kedua orang tuanya di salah satu kompleks elit di kawasan Dago.

"Mama serius mau menikahkan Naru sama Kak Galant?" Ethan langsung menyerbu ibunya dengan pertanyaan itu begitu dirinya tiba di rumah. 

Lelaki yang memiliki tinggi hampir 180 sentimeter itu bahkan belum sempat menanggalkan tas ranselnya dan langsung menuju ruang makan tempat Mama berada saat ini. Tampak sekali ia begitu terburu ingin tahu kebenaran kabar yang disampaikan Galant semalam. Rencananya untuk liburan semester akhir di kediaman orang tuanya kini diwarnai berita besar yang membuat hatinya gusar. 

"Naru, kan, belum lulus, Ma. Lagian kenapa harus dinikahkan sama Kak Galant? Kita bertiga itu udah kayak adik kakak kandung, lo. Sejak kecil udah sama-sama." Lelaki pemilik kulit terang dengan dekik dalam di pipinya itu kembali melontarkan tanya dengan nada tak sabaran pada sang ibu yang masih berkutat dengan sajian di meja makan.

Mama langsung menghentikan kegiatannya karena kini tangan Ethan memegang lengannya. "Ethan, kebiasaan deh kamu! Bukannya salim, cium, atau peluk Mama, malah langsung memberondong Mama dengan pertanyaan-pertanyaan kamu itu. Baru juga kamu datang dari Jakarta," protes Mama dengan mata melotot.

Lelaki itu langsung membuang napas kasar. Bukannya mendapatkan jawaban yang diharapkan, ia malah harus menerima omelan sang mama yang biasa ia dengar. Sungguh dirinya sedang tak ingin mendengar ceramah, nasihat, dan omelan ibunya itu saat ini. 

"Iya, iya, maaf, Ma," ujarnya sambil duduk di salah satu kursi di sana setelah membiarkan pelayan mengambil alih tasnya. "Mama sehat? Kalian semua sehat di sini?" sambungnya kemudian.

"Kami semua sehat di sini. Kuliah kamu gimana? Lancar?" Mama memandang wajah Ethan dengan serius. Lelaki itu tahu kalau Nyonya Marini ini yang tak lain adalah mamanya—juga Tuan Ardana, papanya—tak pernah ingin mendengar masalah soal perkuliahan anak-anaknya.

Ethan mengangguk dan mengedipkan kedua matanya. "Lancar, Ma." Ia tahu kepercayaan Papa Mama padanya sudah berkurang semenjak lelaki itu memutuskan untuk aktif menyalurkan hobinya di bidang musik dengan membentuk band bersama teman-temannya. Bahkan, Ethan tidak mengindahkan perintah kedua orang tuanya agar langsung melanjutkan studi S2-nya tanpa memberi jeda terlebih dulu. Ia menunda satu tahun sebelum memulai kuliah magisternya beberapa bulan lalu. 

"Jangan sampai Mama bekukan band kamu kalau kuliah kamu nggak bener," ancam sang mama sambil menyeringai. Meski begitu, Ethan paham bahwa itu bukan hanya candaan. Mama dan Papa bisa melakukan apa pun terhadapnya jika ia macam-macam kali ini.

Lagi, Ethan hanya mengangguk dan mengacungkan dua jempolnya, tak ingin berdebat dengan ibunya lebih lanjut. "Jadi, kabar pernikahan Naru sama Kak Galant gimana, Ma? Bener?" Ia malah kembali bertanya dengan rasa penasarannya yang menggebu.

Mama menarik satu kursi di sebelah Ethan sebelum mendudukinya. Wanita paruh baya yang masih terlihat menawan itu memandang putra keduanya dengan raut serius. "Galant sudah dewasa, Ethan. Usianya sudah 30 tahun sekarang. Dia sudah pantas menikah," jawabnya menggantung.

"Tapi kenapa harus sama Naru? Dia bahkan belum lulus S2-nya, kan? Kak Galant sama aku udah anggap Naru seperti adik sendiri, Ma," protes Ethan tanpa memedulikan mamanya yang menggeleng. "Emang Kak Galant nggak punya calon sendiri? Masa dia nggak punya cewek selama ini? Nggak mungkin, kan, para wanita di luar sana nggak ada yang mau sama lelaki sempurna kayak dia?”

Ethan merasa deru napasnya kian tak teratur setelah melontarkan protesnya barusan. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak meletup-letup, nyatanya sesulit itu hatinya ia kendalikan. Berita pernikahan wanita itu dengan kakaknya terus saja mengusik benaknya dari semalam hingga ia tak bisa memejamkan mata dengan benar. 

Alih-alih menjawab segala protesnya, Mama malah mengedikkan bahu lalu menggerakkan kepala ke arah ruang tengah. "Kamu tanya sendiri, deh, sama kakakmu!" suruhnya.

Ethan menoleh dan mendapati sang kakak juga ayahnya yang sedang berjalan dengan penampilan necis khas pakaian kantor, sesuatu yang tidak Ethan inginkan melekat di tubuhnya. Lelaki itu lantas berdiri saat Galant dan Papa sudah sampai di meja makan. Mereka pasti akan makan siang di rumah seperti biasanya jika tidak sedang ada urusan di luar kantor.

"Than, sehat kamu? Makin gaya aja, nih, vokalis." Galant yang hangat dan ramah menepuk-nepuk pelan bahu sang adik sambil memperhatikan penampilan Ethan yang santai dengan celana jins robek serta jaket jins belel yang menutup kaus hitam polosnya.

Ethan terkekeh pelan. "Jelas, donk. Masa vokalis pake setelan kayak Kakak gitu," sahutnya. Seolah tak ingin kembali diomeli sang ibu, lelaki berusia 25 tahun itu menghampiri sang ayah yang menuju meja. "Apa kabar, Pa? Sehat?" Ia mencium tangan papanya sambil tersenyum.

"Sehat, Than. Kamu sehat? Semuanya lancar?" Papa balik bertanya dengan tatapan serius, sama seperti yang ibunya lakukan tadi. Pasti hal yang dimaksud Papa adalah kuliahnya, dan Ethan hanya kembali mengacungkan jempolnya pada sang ayah.

Mereka lantas duduk di meja makan setelah terlebih dulu mencuci tangan. Ini pertama kalinya lagi bagi Ethan makan bersama keluarganya di ruang makan seperti ini setelah beberapa bulan belakangan ia tinggal di apartemennya di Jakarta. Sudah satu semester dirinya menempuh S2 jurusan Arsitektur di salah satu universitas swasta di sana.

"Kak Galant serius mau nikah sama Naru?" Ethan tak bisa diam saja dan menunggu proses makan siang—yang bahkan belum dimulai itu—selesai. 

Lelaki yang duduk di kursi seberang ibunya itu terkekeh pelan, seolah yang ditanyakan Ethan adalah pertanyaan lucu. Namun, tidak tampak raut bahagia dari wajah kakaknya itu. "Kamu pikir Kakak bercanda?" serunya sambil meneguk air putih yang disajikan pelayan rumah.

"Sama Naru? Kakak serius? Memangnya Kakak nggak punya calon istri lain apa?" Ethan mencoba bertanya dengan nada biasa dan wajar, tetapi ia tak tahu bagaimana ketiga orang yang ada di meja makan itu mendengarnya. Mereka bertiga menatapnya bergantian. "Maksud aku, ya kirain Kakak anggap Naru kayak adik Kakak sendiri selama ini," koreksinya.

Papa berdeham sebelum Galant menjawab pertanyaan Ethan. "Ethan, kakakmu dan Naru sudah cocok dan mereka menyetujui pernikahan ini. Lagi pula ini lebih baik karena kita sudah tahu dengan jelas siapa calonnya, daripada kakakmu menikahi wanita tak jelas di luar sana," timpalnya dengan suara tegas dan lugas.

Hati Ethan sungguh bergejolak mendengar penjelasan Papa barusan. Bukankah itu terdengar seperti perjodohan yang memang direncanakan antara kakaknya dengan perempuan itu? Sungguh ia tak habis pikir dengan pemikiran semuanya. "Tapi, Pa, memangnya Naru setuju—"

"Aku setuju, kok," sahut suara dari arah ruang depan diiringi bunyi langkah kaki bersepatu mendekat ke arah ruang makan tempat mereka semua duduk bersama. Pandangan Ethan, Galant, dan kedua orang tuanya langsung menoleh ke arah sumber suara. Narulita. Ethan memanggil perempuan berjilbab biru itu dalam hatinya. 

Ethan langsung mengambil air minum di hadapannya dan meneguknya hingga tandas. Rasa dahaga yang ia rasakan begitu melihat pujaan hatinya berjalan dengan anggun dalam balutan dress biru putihnya membuat kerongkongan Ethan terasa kering dan sesak. Apa yang ia rindukan belakangan ini tengah menyunggingkan bibir ke arahnya dan semua orang.

"Kak Ethan baru nyampe, ya? Sehat, Kak?" Gadis itu menyapanya dengan ceria. Kedua bibir mungil Narulita membentuk busur dan membuat Ethan seketika ikut menarik kedua ujung bibirnya. "Kak Ethan dapat kabar dari Kak Galant, ya, soal rencana pernikahan kami?" sambungnya setelah dia duduk di kursi sebelah Galant, tepat di hadapan Ethan.

Lelaki pemilik lesung pipi itu menyadari darahnya bergejolak hebat kala melihat kedua orang di hadapannya saling menyunggingkan bibir dengan ekspresi ... malu-malu, mungkin? Belum apa-apa hatinya sudah sedemikian patah membayangkan hal lebih mesra dari itu. Rasanya Ethan tak akan  mampu menyaksikan Narulita bersanding dengan kakaknya di pelaminan nanti. Bagaimana bisa?

"Kalian serius bakalan nikah?" tanya Ethan pada akhirnya. Ia berusaha menahan nada suaranya agar tidak bergetar. Ethan menatap kakaknya dan gadis itu bergantian.

Namun, bukan Galant ataupun Narulita yang menjawab, mamanyalah yang kini bersuara. "Ethan, apa maksud kamu terus menanyakan itu? Kakakmu dan Naru sudah setuju. Mama dan Papa juga nggak ada masalah. Kamu ini kenapa sebenarnya? Coba kamu tanya Naru, apa dia menerima kakakmu sebagai calon suaminya?" 

Setelah beberapa detik terdiam sambil mencerna perkataan sang mama, Ethan lantas memandang Narulita dengan tatapan penuh permohonan. Ia berharap wanita yang begitu anggun dengan jilbabnya itu bisa memahami apa yang dirasakannya.