cover landing

Dear My Overstek

By Allyn Veren


Lantunan  Angels Brought Me Here milik Guy Sebastian mengisi penuh venue outdoor Queen of The South Resort. Beberapa menit yang lalu para tamu yang didominasi keluarga serta kerabat terdekat dibuat haru juga bahagia menyaksikan bersatunya sepasang kekasih menjadi sepasang suami istri. Kini para tamu sibuk mulai membaur, menikmati hidangan juga tak lupa menyapa satu sama lain setelah sekian lama tidak bertemu.

Di balik keramaian, Allea duduk di sudut sendirian dengan tidak berminat. Allea tahu, mengasingkan diri di pesta pernikahan sepupu sekaligus rekan kerjanyaDamianadalah bentuk ketidaksopanan. Terutama jika yang ia jauhi dan hindari adalah keluarga besarnya sendiri, tapi mau bagaimana lagi?

Allea sudah cukup terusik dengan puluhan pertanyaan yang dilontarkan padanya sejak empat jam terakhir. Ia hanya bisa memajang senyum sepanjang waktu terlebih ketika, Sarah, Tantenya sekaligus ibunda Damian merecokinya dengan obrolan seputar pernikahan, anak dan keluarga yang ujung-ujungnya akan bermuara pada satu pertanyaan keramat yang mungkin menjadi pertanyaan yang paling sering ditanyakan padanya dalam beberapa tahun terakhir.

“Irvan anaknya sudah dua. Dwi juga sudah menikah akhir tahun kemarin. Nah, sekarang Damian yang nikah. Kamunya kapan nikahnya, Nduk?

Nah. Allea menarik napas sejenak lalu memajang senyum simpul sambil bergumam, “Nanti kalau sudah ada jodohnya, Tan.”

Kemudian seperti yang bisa ia prediksi, Tante Sarah memberinya wejangan-wejangan tentang keharusan wanita dalam menjalani pernikahan, tentang jodoh serta pasangan hidup dan topik-topik sejenis yang saling terkait.

Walau mungkin enam puluh persen yang dikatakan Tante Sarah adalah kebenaran, Allea masih merasakan perasaan tak nyaman. Lantas ketika Tante Sarah lenggah, Allea buru-buru menjauh dan memilih mengasingkan diri di sudut sepi agak jauh dari pusat pesta.

Sesungguhnya, Allea bukan perempuan yang kesulitan menemukan pendamping hidup. Tubuh dan wajahnya jelas tidak mengecewakan, kariernya juga sukses di usia 28 tahun sebagai Account Executive di Pros.ads, salah satu dari jajaran perusahaan periklanan terkemuka di Jakarta. Ia datang dari keluarga terhormat dan berkecukupan. Ayahnya adalah pensiunan TNI Angkatan Udara, sementara mendiang Ibunya adalah pendiri restoran yang cukup sukses pada masanya. Sekarang kakak perempuannya, Leira, yang meneruskan bisnis tersebut bersama suaminya. Dengan latar belakang seperti itu, Allea jelas akan menjadi idaman dan incaran para pria di luar sana.

Allea mengerjap, tersadarkan ketika ada sesuatu seakan bergerak menarik-narik gaunnya. Ia tersenyum menemukan seorang anak perempuan sedang mendongkak menatapnya dengan wajah polos.

“Kakak, aku mau pipis.”

Allea berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang tampak menggemaskan itu. Rambut panjangnya dikuncir dua dengan anggun, dan pipi gembulnya benar-benar menggoda tangan untuk mengelus atas mencubitnya. Usianya mungkin sekitar 5 tahun. Allea mengusap lengan anak itu, kemudian menengok ke segala arah, mencari pendamping anak itu yang mungkin sedang mencarinya.

“Mama kamu mana?”

“Mama lagi sibuk, tapi aku udah nggak tahan pengen pipis.”

“Ya udah sini kakak temenin.”

Allea lalu membawa gadis kecil yang diketahui bernama Kay itu ke toilet terdekat di sana. Ia membantu melepaskan gaun milik Kay, membantunya memakaikannya kembali ketika Kay selesai dan keduanya bergandengan tangan hendak menuju pusat pesta.

“Astaga Kay, ternyata kamu di sini.”

Keduanya menjeling ke asal suara, mendapati sosok tegap berbalut jas abu-abu menghampiri keduanya. Di balik jas ada kemeja putih sebagai dalamannya, dua kancing atasnya dibuka, dipadukan dengan celana kain berwarna senada. Melihatnya, Kay lekas berlari dan pria itu menyambutnya dengan pelukan.

“Tadi Kay pipis, trus ditemenin sama tante itu.” Anak itu menunjuk Allea dengan senyum lebar. Pria itu ikut menengok ke arah Allea dan keduanya saling membalas senyum.

“Makasih yah, saya nyariin Kay dari tadi.”

“Sama-sama.”

Allea tersenyum tulus melihat betapa manis pasangan ayah dan anak di depannya. Melihat pria dengan anak kecil dalam pelukan serta merta membuat sudut hati Allea menghangat. Rasanya ia bisa melihat sosok sang ayah dan dirinya di masa lalu, dengan tawa bahagia di tengah keluarga kecil mereka. Walau tidak mengenal mereka secara pribadi, tapi Allea yakin Kay dan Ibunya beruntung punya sosok seperti ini di keluarga mereka.

“Kamu masih mau di sini? Soalnya saya sama Kay harus ke dalam.” Allea mempersilahkan dengan gesture lembutnya, lalu keduanya perlahan melangkah menjauh.

Tentu saja, ia senang melihat gambaran keluarga bahagia itu. Apalagi sosok laki-laki seperti tadi adalah sosok yang ia inginkan hadir menemaninya dalam kehidupan pernikahan. Mereka akan menjadi partner yang hebat dalam hal membesarkan anak. Seperti pasangan mendiang Ibu dan Ayahnya. Mereka adalah favorite person Allea sampai kapanpun. Walau ibunya tidak berumur panjang untuk melihat kesuksesan dan pencapaian Allea, namun nilai-nilai kehidupan dan pengajarannya selalu menjadi panutan bagi Allea. Begitupun Ayahnya yang hanya nampak sangar dan menakutkan di luar, terlebih dalam balutan seragam loreng kebanggaanya. Ia di segani di dunia militer, tapi sosok yang hangat dan ramah dalam keluarga. Sosok-sosok itulah yang berperan sangat besar pada pembentukan karakternya.

Di masa depan pun, ia ingin membangun keluarga dan menjadi Ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak.

***

“Gue jamin yang ini bagus buat lo!”

Allea merotasi matanya agak malas sementara satu tangannya ia gunakan untuk menggoyang gelas kaca berisi minuman bersoda, terlihat tanpa minat. Sekembalinya ke pusat pesta, tempat itu sudah berubah menjadi lantai dansa dengan lagu jazz romantis yang mengiringi setiap pasangan untuk berlenggang di sana. Menahan para tamu untuk pulang lebih awal. Damian bahkan sudah menyelesaikan dansanya dengan Dea, istrinya, sebelum duduk menghampiri Allea yang bosan sendiri walau jelas-jelas ada beberapa pria yang berani mengajaknya ikut melenggang di lantai dansa, atau beberapa yang hanya sebatas meliriknya tanpa keberanian lebih. Semua itu tentu saja ditolak Allea. Tidak, terima kasih. Ia lebih memilih duduk sampai saatnya ia kembali ke kamar dan mendekam di sana.

“Lo nggak percaya sama gue? Gue serius, Al.”

“Gue lupa ngitung berapa kali lo dan orang-orang ngomong gitu waktu mau ngenalin cowok ke gue.” Allea lalu merubah suaranya pada kalimat berikutnya yang berbunyi, “Yang ini pasti bagus, yang ini cocok, atau lo nggak bakal nyesel deh, Al. Tapi sama aja semuanya.”

Allea bahkan masih ingat dua minggu yang lalu dalam keadaan terpaksa ia harus makan malam bersama salah satu kenalan dari kakak iparnya. Namun, dalam tiga menit pertemuan pertama mereka, Allea menyatakan niatnya untuk tidak lagi menemui pria sombong yang sudah menggempar-gemporkan gaji, jabatan dan pendapatannya dalam pekerjaannya tersebut.

Damian berdecak gemas saat ekspresi wajah Allea benar-benar menunjukkan ketidaktertarikannya pada obrolan kali ini. Damian tahu, betapa sepupunya lelah dijodoh-jodohkan entah olehnya, oleh saudaranya yang lain, atau bahkan oleh Ibunya sendiri, tapi kali ini berbeda. Ada keyakinan besar yang Damian rasakan. Ia yakin ini akan berhasil.

“Ya kan kalau mau ngenalin orang kudu ngeyakininnya begitu,” belanya. “Tapi ini beneran, dengerin gue yah,”

Ia merogok saku celananya lalu mengeluarkan ponselnya dari sana. Allea tak banyak memperhatikan. Ia hanya meneguk soda terakhir di gelasnya hingga tandas, lalu meletakkan gelas itu di meja.

“Liat dulu nih.”

Allea melirik pada ponsel Damian yang pria itu sodorkan padanya. Ada foto seorang pria di layar ponselnya yang tampak tidak begitu jelas. Fotonya low quality sementara sosok yang seharusnya menjadi objek utama dalam foto itu nampak agak jauh. Yang Allea bisa lihat dengan jelas hanya topi atau semacam helm, mungkin? Berwarna kuning di kepalanya. Sementara tempat di foto itu hanya dihiasi tanah coklat keruh tanpa rumput, besi-besi silver, pipa, dan entah benda apalagi yang ada di sana.

“Ini Jordan. Umurnya tiga satu, matang banget kalau lo mau langsung nikah,” Damian terkekeh kecil, “Dia temen kosan gue dulu waktu kuliah. Orangnya nice, cute, good people kayak tipe idaman lo. Laki banget walau kadang agak pemalu kalau pertama kali kenal. Dia dewasa dan pasti bisa menyeimbangi lo dalam segala jenis obrolan. Gue yakin kalian bakal nyambung, trus­­—"

“Ini fotonya lo ambil di mana sih? Kok bad quality banget.”

Facebook. Udah tunggu bentar, lo liat sambil dengerin gue dulu. Nanti kalau mau nanya belakangan.” Damian tidak menghiraukan Allea lagi dan kembali sibuk dengan penjelasannya, “Sekarang kerjanya di proyek gitu, jadi supervisor kontraktor yang nggak perlu lo raguin lagi berapa penghasilannya sebulan. Pokoknya gue yakin kalian bakal cocok deh.”

“Udah?” Allea mendorong ponsel Damian kearah pemiliknya. Tampak tidak terpengaruh dengan penjelasan Damian yang panjang lebar.

Damian mengangkat wajahnya dengan ekspresi yang dibuat-buat. “Satu lagi, gue yakin seratus persen dia setia. Suer.”

“Terserah.”

“Nah jadi gimana? Mau ketemu langsung aja? Mumpung orangnya ada di sini lho.”

Allea melebarkan bola matanya, menatap Damian tak percaya.

“Nggak ah nggak usah, males gue.”

“Lah, kenapa? Ini udah yang paling berpotensial sebagai pendamping hidup lo, Al.”

“Fotonya aja blur gitu, malas ah.”

Damian berdecak tak puas, mendadak gemas dengan tingkah sepupunya. Well, sejak kapan memangnya Allea menilai pria dari tampilan fisiknya? Biasanya wanita itu akan lebih mempertimbangkan sikap dan pembawaan daripada apa yang dapat dipandang mata.

“Gue jamin cakep, baik, alim, udah tipe lu banget deh. Soal foto, itu emang buru-buru gue nyarinya. Wajarlah, Al. Nanti kalo lo ketemu langsung gue yakin lo nggak bakal nyesel. Tunggu di sini yah.”

Damian tampak menghubungi pria yang dimaksud sementara Allea tidak bisa mencegah rencana sepupu kurang ajarnya itu. Kenapa juga Damian harus sibuk mengenalkan Allea dengan temannya padahal seharusnya laki-laki itu menemani sang istri di hari bahagia mereka. Omong-omong, Dea sedang makan di meja khusus pengantin. Tampak kelaparan karena harus terlihat menawan seharian.

“Nah, itu tuh orangnya. Ganteng kan?”

Allea menyipitkan matanya, hendak meneliti siapa pria yang sedang berjalan kearah mereka. Tapi, tunggu. Tubuh tegap dalam balutan jas abu-abu itu nampak cukup familier. Lalu dua detik kemudian, Allea benar-benar terkejut mendapati sosok pria yang dimaksud Damian adalah ayah dari gadis kecil tadi!

“Gila. Lo mau comblangin gue sama laki orang?!”