cover landing

Dear Kaisar

By Sayastianita


Wanita adalah sosok yang menyukai sesuatu yang teratur, bukankah begitu? Walau tak semua, namun nyatanya wanita akan pusing jika sesuatu terlihat berantakan, tak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Salah satunya termasuk aku. Aku sangat membenci sesuatu yang berantakan, termasuk susunan baju yang mulai tak beraturan. Maka kuputuskan merapikan tumpukan baju tersebut di sore hari.

Aku sibuk membereskan lemari saat kudengar suara pintu kamarku dibuka. Spontan aku menoleh, melihat sesosok pria tinggi berdiri dengan seragam yang satu persatu kancingnya mulai dia lepaskan. Aku tersenyum padanya lalu buru-buru mengambil tas dan kantong putih yang dibawanya.

“Ini apa Mas?” tanyaku ragu. Tak biasanya dia membawa sesuatu saat pulang kantor.

“Makanan.”

“Oh. Yaudah, aku bawa ke dapur ya Mas.” Aku bergegas ke arah pintu namun terhenti karena mendengar suaranya lagi.

“Nggak usah. Di sini aja. Mas mau makan berdua sama kamu.”

Entah ada angin apa Kaisar mau makan berdua denganku. Sejak menikah dengannya empat bulan yang lalu, dia tak pernah melakukan hal romantis apa pun untukku, walau setidaknya semakin hari sikapnya sedikit lebh lembut padaku. Wajar saja, kami menikah karena dijodohkan orang tua, dan bahkan hingga saat ini Kaisar masih berhubungan dengan pacarnya, Krystal.

Bagaimana mungkin seseorang yang telah memiliki pasangan masih tetap menjalin hubungan dengan wanita lain? Selingkuh? Entahlah, apakah dengan Krystal Kaisar berselingkuh, atau justru aku yang menjadi selingkuhan. Krystal dan Kaisar telah menjalin hubungan setahun lebih saat kami melangsungan pernikahan, dan aku mengetahui hubungan mereka. Kaisar menjelaskan semuanya saat semua undangan pernikahan telah disebarkan, dua minggu sebelum akad nikah.

“Diona, ini Krystal. Krystal, ini Diona, ucap Mas Kaisar.

Aku meminta Mas Kaisar membawaku menemui Krystal. Aku tahu mengapa Kaisar sulit melepaskan Krystal. Cantik, tinggi semampai dengan rambut blonde yang berkibar. Aku bahkan butuh beberapa saat untuk berkedip melihatnya, sungguh.

“Aku mengizinkan kalian menikah bukan berarti aku mau mengakhiri hubungan dengan Mas Kaisar. Pernikahan kalian hanya demi mama Mas Kaisar. Jangan pernah berharap lebih, katanya.

Saat mendengar semua itu, rasanya ingin kuakhiri perjodohan ini. Toh kami sama-sama tak saling mencintai. Mengapa tak dengan wanita ini saja Kaisar dijodohkan? Namun saat menyadari banyak hal telah kulalui demi pernikahan ini, aku memilih diam.

Bu Denna, mama Kaisar adalah salah satu pasienku di rumah sakit. Aku seorang dokter ahli jantung dengan karier yang cukup baik. Jika aku ingin sedikit membuka hati, mungkin dengan mudah kutemukan sosok yang akan kucintai kelak dan membangun rumah tangga bersama. Namun aku terlalu asyik dengan buku dan pasien hingga orang tuaku mulai resah saat usia 27 tahun aku masih betah sendiri.

Saat mengetahui Bu Denna adalah sahabat kecil bunda, perjodohan itu pun dimulai. Bu Denna mempunyai seorang anak laki-laki yang berprofesi sebagai lurah muda. Tiga puluh tahun, mapan dan rupawan, wajar saja jika Kaisar menjai incaran banyak wanita. Namun Krystal adalah pemilik hati Kaisar dan hampir semua orang tahu hal itu.

Sayangnya, orang tua Kaisar tak pernah menyetujui hubungan mereka. Walau cantik, Krystal adalah sosok wanita modern yang sedikit arogan. Sebagai model, Krystal sangat paham bagaimana hidupnya dihabiskan dengan berbagai jenis kesenangan, termasuk dunia malam. Dan Bu Denna membenci hal itu.

Maka berakhirlah semua dengan perjodohan ini. Aku ingin menolak, sungguh. Namun kondisi Bu Denna sangat parah. Sekali saja dia mendengar kabar buruk, aku tak yakin jantungnya akan baik-baik saja. Ditambah kenyataan jika tekanan darahya mencapai angka 200, aku tak mau hal buruk terjadi padanya. Dan pembatalan pernikahan tentu menjadi hal terburuk baginya.

Dering suara HP Kaisar menyadaranku dari lamunan panjangku. Aku mengalihkan perhatianku ke piring sate yang kini kupegang, sementara Kaisar sibuk dengan HP-nya.

“Mas makan dulu yah. Nelponnya nanti aja.”

“Mas makan di mana? Sama Siapa?”

“Di kamar, sama Dio.”

“Apa? Wait. Mas harus angkat video call aku. Aku harus lihat kalian makan.”

Kaisar berbalik ke arahku. Aku mendengar percakapan mereka karena Kaisar sengaja mengeraskan suara telponnya. Aku hanya berusaha mengangguk lalu tersenyum. Selama ini aku mulai terbiasa dengan sikap protektif Krystal. Setiap malam sebelum tidur, dia akan menelpon Kaisar hingga tak ada waktu untukku dan Kaisar membahas apa pun.

Bahkan saat awal pernikahan, Krystal sering menelpon via video call, memastikan kami tak tidur seranjang. Seminggu pernikahan, Bu Denna menangkap basah aku yang tertidur dengan kasur tipis di lantai sementara Kaisar di kasurnya sendiri atas permintaan Krystal. Hampir saja aku kehilangan ibu mertua jika tak segera ditangani. Maka mulai saat itu, Bu Denna selalu mengawasi kami jika tak tidur sekasur, walau Kaisar harus berbohong pada kekasihnya.

“Krys, aku lagi capek banget. Tadi di kantor meeting seharian. Sekarang aku cuma mau makan dengan tenang, abis itu tidur. Ini aja aku makan di kamar karena udah ga sanggup naik turun tangga lagi ke dapur. Please kali ini aja, percaya sama aku, Sayang. Aku sama Dio nggak ngapa-ngapain.”

Kuhentikan makanku sejenak. Baru kali ini Kaisar menolak permintaan Krystal. Setahuku, apa pun permintaan Krystal, Kaisar selalu berusaha menuruti. Seperti saat Krystal meminta aku tak menyemprotkan pewangi apa pun ketika menyetrika baju Kaisar, Kaisar mengiyakan. Meminta Kaisar memberi tumpukan guling di antara aku dan Kaisar saat tidur pun Kaisar mengiyakan. Baru kali ini, sungguh, kulihat Kaisar menolak permintaan kekasihnya.

“Nggak. Kamu pasti mau mesra-mesraan dengan wanita itu. Kamu jahat, Mas. Udah, kamu pilih dia atau aku sekarang!”

“Sayang, aku milih kamu. Tapi aku lagi capek. Nanti aku telpon lagi yah. Bye.” Kaisar mematikan panggilan sepihak, lalu menekan tombol power di HP-nya hingga mati. Aku tak berani membuka suara hingga Kaisar menatapku, membuatku risih.

“Ada apa, Mas?”

“Aku nggak tahu kamu sesabar apa. Tapi kamu kenapa nggak marah dengan hubungan aku sama Krystal?”

“Marah? Kalau mau marah mah harusnya dari dulu Mas. Tapi yaudahlah, aku udah kebal,” jawabku asal.

“Aku nggak tahu ini bakal sampai kapan, tapi terima kasih sudah mau menjaga hubungan ini demi Mama. Kalau di luar sana kamu nemu seseorang yang kamu cintai, aku nggak papa.”

Aku terdiam, menatap dalam pada dua bola mata Kaisar. Baru kali ini arah pembicaraan kami seserius. Kami tak pernah membahas hal lain di luar pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. Mungkin Kaisar mengira aku segampang itu membuka hati. Padahal nyatanya, aku sedang berusaha membuat seseorang melihat padaku dan jatuh cinta. Namun sepertinya orang itu  sendiri tak menyadarinya.

“Mas, aku dari keluarga baik-baik. Aku dari latar belakang pendidikan yang baik, dan aku istri orang. Bukan hanya karena Mama, aku di samping Mas sampai sekarang, tapi aku tak ingin Mas malu jika aku nakal di luar sana. Bagaimanapun, orang tahu akau istri sah Mas.”

Kulihat Kaisar mematung, membiarkan makanan di piringnya tanpa disentuh. Dia menatapku dalam, membuatku jadi salah tingkah. Jujur, aku mulai mencintai pria ini. Setiap hari mengurus semua kebutuhannya, menemaninya dengan tumpukan pekerjaan, berpura-pura romantis di depan keluarga hingga tidur sekasur dengannya walau tanpa interaksi lebih. Aku mulai merasa nyaman di sisinya, sepertinya, aku menikmati peranku sebagai istrinya, walau kuyakin tak kan mampu menembus hatinya.

Kontak mata kami terhenti saat kudengar HP-ku berdering kencang. Sekilas kulihat sebuah panggilan masuk. Saat membaca namanya, aku terdiam. Kaisar sepertinya tahu siapa yang menghubungiku, maka dia memintaku tak mengangkatnya. Namun deretan pesan dari Krystal membuatku mau tak mau meraih HP-ku dan membaca pesan-pesan.

“Mas, temui Krystal sekarang!” kataku panik.

Krystal mengirimkanku sebuah foto dirinya selfie dengan tali yang tergantung tepat di depan wajahnya. Krystal tipe wanita yang nekat. Dia tak kan segan melakukan sesuatu, terlebih jika itu untuk menarik perhatian Kaisar.

“Mas pergi dulu, tolong tunggu Mas pulang. Mas masih mau makan bareng kamu.”

Aku terdiam. Baru kali ini kudengar kalimat semanis ini dari Kaisar. Biasanya, jika dia akan pergi dia hanya pamit. Jika itu di depan keluarga, kami akan akting saling memeluk dan sebuah kecupan di dahi. Ini berbeda. Aku tersenyum pasti dan mengangguk.

Namun hingga pukul 23.00, Kaisar tak kunjung pulang. Piring sisa makan telah kusisihkan ke tepi kamar dan menutupnya dengan baik agar masih dapat di makan saat Kaisar kembali. Aku tak bisa menghubunginya, karena Kaisar tak membawa HP-nya. Namun kalimat Kaisar sore tadi memintaku menunggunya membuat kantuk dan lelahku hilang. Mungkin, ini awal untuk hubungan kami yang lebih baik.

Suara pesan masuk kudengar dari HP-ku. Bergegas, aku membukanya, berharap itu satu kabar dari Kaisar. Yah, ini kabar dari Kaisar, namun dikirimkan oleh kekasihnya. Kabar yang membuat semua sendiku lemah seketika, seolah merontokkan semua tulangku. Kurasakan, nyawaku seakan menghilang beberapa detik, meninggalkan tubuhku yang hancur.

Krystal mengirimkanku foto Kaisar yang tidur terlelap. Ini bukan tidur biasa, karena Krystal bersandar di dadanya. Sebuah selimut berwarna cokelat menutupi sebagian tubuh bagian atas mereka, yang bahkan mampu memperlihatkan jika mereka tak memakai baju. Krystal tampak tersenyum manis, sementara Kaisar sudah terlelap.

Pertahananku hancur. Aku tahu hubungan mereka memang bebas dan sudah jauh, namun aku tak pernah menyangka harus melihat semuanya secara langsung. Mengapa Krystal harus setega ini? Dan mengapa rasanya harus sesakit ini? Rasanya aku tak sanggup lagi berpura-pura bahagia menjalani pernikahan. Aku tahu ini akan melukai mama. Namun mungkin baiknya mama tahu bahwa pernikahan ini hanya kebohongan, lebih tepatnya menutupi kelakuan putranya.

***

Pagi hari, bergegas kutinggalkan rumah Kaisar. Aku telah menghubungi bunda, menjelaskan semuanya. Bunda satu-satunya orang yang tahu hubungan ini memang hanya kebohongan dan sempat menentang. Tapi bunda mengizinkan saat mengetahui kondisi Bu Denna, sahabatnya.

“Mau ke mana, Di?” Mama jelas kaget saat pagi hari melihatku menenteng koper.

“Aku ada pelatihan, Ma,  beberapa hari ini, lokasinya deket dari rumah Bunda. Jadi aku mungkin beberapa hari bakal nginep di rumah Bunda. Aku udah izin Mas Kaisar kok, Ma. Nanti Mas Kaisar nyusul kalau kerjaannya udah kelar.”

Bukankah semua itu hanya bualan? Dan hebatnya Bunda memercayai itu. Maafkan aku Bunda, aku hanya ingin pergi jauh, sejauh mungkin dari putramu.

Dan kini, tepat seminggu setelah kepergianku dari rumah Bu Denna. Bu Denna sering menelponku, namun hanya kujawab sesekali, berusaha terlihat sangat sibuk di matanya. Sudah seminggu pula Kaisar berusaha menghubungiku, namun selalu kutolak. Dia beberapa kali mengunjungiku ke rumah bunda. Beruntung, bunda tahu cara menyembunyikanku. Kaisar tak kan bisa mengunjungiku di tempat kerja, karena aku yakin, dia bahkan tak tahu jam kerjaku seperti apa. Dia bahkan tak tahu aku kerja di bagian apa di rumah sakit.

Namun entah bagaimana takdir mempertemukan kami. Kaisar menghampiriku di ruang kerja saat jam kerja sedang ramai, menarikku dalam pelukannya, membuatku serba salah di depan pasienku. Aku tak menyangka dia akan senekat ini, padahal sudah kuingatkan ke staff yang bertugas di depan ruanganku agar tak mengizinkan siapa pun masuk selain pasien.

“Pulanglah, Dek, kita bicarakan baik-baik,” bisiknya pelan, berusaha agar tak seorang pun mendengar selain kami. Aku hanya terdiam, tak membalas pelukannya. Sekelebat bayangan foto syurnya dengan Krystal mengitari otakku. Namun demi menjaga nama baik dan menghindari gosip, aku memutuskan ikut dengannya, setelah semua pekerjaanku selesai.

Malam ini kami habiskan dengan bercerita. Kaisar sibuk meminta maaf padaku. Dia mengakui kesalahannya. Aku hanya terdiam, sudah terlalu lelah mendengar kisahnya dengan kekasihnya. Namun malam ini terasa berbeda, baru kali ini Kaisar meminta maaf untuk hubungannya dengan Krystal. Entah bagaimana, malam ini berakhir dengan kami saling memaafkan dan aku terlelap dalam pelukannya, pertama kalinya sejak kami menikah.

***

“Akan ada saatnya aku memilih salah satunya. Aku tak egois, hanya saja aku tak mau satu dari kalian terluka lebih dalam. Mungkin ke depannya sikapku akan sedikit berubah.”

Ucapan Kaisar dua minggu ini sedikit terbukti. Aku tak yakin dia akan memilihku, namun sikapnya yang lebih terbuka padaku, menghabiskan lebih banyak waktu denganku, bahkan menolak video call Krystal di malam hari membuatku merasa lebih berarti di hidupnya. Memang, dia masih sering menghabiskan waktunya dengan Krystal, namun intensitasnya tak sebanyak yang dulu lagi.

Kupikir hubungan kami memang sudah lebih baik. Kaisar yang tak pernah lagi canggung mencium keningku saat berpamitan, bahkan walau tak ada mama. Yang paling kusukai adalah saat Kaisar dengan sendirinya mengajakku jalan. Aku, seperti jatuh cinta pada kisah remaja. Kami benar-benar menghabiskan waktu semaksimal mungkin, di luar waktu kerja kami yang cukup padat. Bahkan terkadang Kaisar dengan sendirinya datang ke rumah sakit tempatku bekerja dan mengajakku makan siang. Bukankah ini sungguh manis?

Namun manis yang kurasakan seolah hanya angin lalu, yang sejenak menghampiriku lalu dalam sekejap akan pergi dengan sendirinya, menyisakan jejak. Andai jejak yang disisakan hanyalah sebuah jejak, mungkin aku akan baik-baik saja. Namun lebih dari sekadar jejak, angin lalu itu justru menyisakan perih yang teramat dalam.

Siang itu, kutemui Kaisar di kantornya, karena dia yang memintaku datang untuk menemaninya makan siang. Beberapa hari ini Kaisar sedikit lebih manja dibanding sebelumnya. Dia takkan segan memintaku ke kantornya saat makan siang, sementara dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Namun aku sangat menikmati setiap detik yang membuat jantungku berdetak karena hubungan kami yang semakin manis. Sepertinya, aku kini jatuh cinta pada suamiku sendiri.

Jika Kaisar telah sibuk dengan laptopnya, mengerjakan seribu satu laporan yang melihatnya saja membuatku jengah, maka aku akan menyuapinya agar waktu makan siangnya tak terlewatkan. Kaisar tipe workaholic, maka wajar saja jika dia sering melewatkan jam makan siangnya.

Suara berisik di luar ruangan Kaisar membuat perhatian kami sedikit teralihkan. Bersamaan, tatap mata kami tertuju pada pintu yang dibuka paksa oleh seseorang, seseorang yang membuatku dan Kaisar mematung.

Krystal berdiri dengan tatap mata penuh amarah. Aku tak menyangka Krystal lebih nekat dari yang kuperkirakan. Entah mengapa, situasi ini justru membuatku seolah merasa jika Krystal-lah istri sah yang memergoki suaminya dengan wanita lain. Sementara di belakangnya, puluhan tatap mata pegawai lainnya mengamati kegaduhan di ruangan ini.

“Mas, kamu bilang cuma sementara mau baik dengan dia dan mengakhiri pernikahan kalian. Kamu bilang ini cuma sebentar. Terus sekarang, kenapa kalian malah makin mesra?”

“Krys, ini di kantor.”

“Bodo amat! Aku udah nggak tahan lagi yah Mas lihat kamu makin mesra sama wanita ini. Kamu bilang cuma pura-pura. Mau sampai kapan? Sampai kamu keenakan kayak gini terus lupain aku? Pokoknya aku mau kamu ceraikan dia sekarang. Titik.”

Aku membeku, duniaku runtuh. Jadi, manis yang selama ini kurasakan dari sikap Kaisar hanyalah akting agar bisa mengakhiri hubungan kami baik-baik? Aku berusaha mencerna kembali perdebatan mereka, yang justru membuatku seakan semakin nyata sebagai perebut pasangan orang lain.  Berarti, bukan aku yang kelak akan Kaisar pilih, namun justru aku yang akan dicampakkan?

“Mas…” Hanya kata itu yang mampu kuucapkan. Leherku seolah tercekik oleh kenyataan. Kaisar meraih tanganku, menggenggamnya erat di balik meja.

“Jika Mas nggak mau ceraiin wanita sampah ini sekarang, jangan harap Mas bisa lihat aku lagi di dunia.”

“KRYSTAL!” Pertama kalinya kudengar suara bentakan Kai, membuatku bergetar. Amarah jelas terlihat dari kedua bola matanya.

“Oh, jadi sekarang Mas berani bentak aku karena wanita sampah ini? Kurang ajar!”

Secepat kilat, tanpa mampu kuhindari, Krystal menarik tubuhku dan membenturkannya ke sudut lemari Kaisar. Peganganku di tangan Kai seketika terlepas, membuat tubuhku dengan mudahnya terbentur. Aku jatuh terduduk. Kudengar teriakan dari luar ruangan Kaisar, yang mungkin adalah suara dari pegawai lain yang menyaksikan drama kami. Aku tak peduli lagi. Yang kini kurasakan hanya kaku sepanjang tubuh, terutama dibagian perutku. Aku tak menyimak pembahasan Krystal dan Kaisar yang masih sibuk berdebat. Beberapa saat, kulihat Kaisar menarik tangan Krystal menjauh, menerobos kerumunan penonton dadakan dan menghilang. Tanpa menolongku, mungkinkah Kaisar lebih memilih Krystal? Bahkan tanpa menolong bayi di perutku? Kurasakan air mata mengalir di sudut mataku bersamaan dengan pandanganku yang seketika gelap.

***

Kubuka mataku perlahan dan menghirup aroma yang sangat kukenal, aroma kamarku dan Kaisar. Kuedarkan pandanganku, melihat satu per satu orang berdiri di tepi Kasur. Kaisar tepat di sebelah kananku, dengan tangan yang memegang erat tangan kananku.

“Berapa usianya sekarang? Mengapa tak mengatakan jika kamu hamil, Dek?”

“Awalnya ingin kukatakan setelah makan siang tadi. Tapi, setelah semuanya, untuk apa kukatakan? Toh tak kan ada yang berubah.”

“Dio…” Kaisar meremas tanganku, matanya berair namun dia menahannya. Aku tak peduli lagi tatapan yang lain saat ini, karena aku yakin, mereka sudah tahu semuanya.

“Kupikir awalnya pernikahan ini akan baik-baik saja. Dua minggu sebelum pernikahan Mas jujur jika tak bisa meninggalkan kekasih Mas. Maka pernikahan ini tetap jalan hanya karena tak ingin Mama sakit. Sekian lama, hari demi hari aku berusaha jadi istri di mata Mas. Semua aku kerjakan demi Mas, hanya demi dianggap ada di mata Mas.”

“Saat Krystal mengirim foto kalian tidur bersama, kupikir itu akhir semuanya. Tapi Mas datang, minta maaf baik-baik dan memulai semuanya dengan manis. Aku jatuh cinta Mas, sunggguh. Walau awalnya aku ragu, tapi sekarang aku jatuh cinta. Mas bilang akan memilih satu dari kami. Dan bodohnya, kupikir pilihan itu adalah aku. Ternyata, seperti kata Krystal, akulah sampah di hubungan kalian. Anggap saja hanya aku yang tahu kehamilan ini, silakan Mas talak aku sekarang. Setidaknya aku kembali baik-baik ke orang tuaku.”

Secepat kilat, kulihat Cahyo meraih tubuh adiknya, Kaisar, menghajarnya tanpa ampun. Bu Denna terduduk lemah di sisi kiriku, membuatku terbangun dan memeluknya. Ayah menahan amarahnya dan memeluk bunda yang kuyakini sedari tadi menangis dengan melihat mata bengkaknya.

“Papa, Mama, terima kasih sudah menerima Diona sebagai menantu Papa dan Mama. Diona bersyukur pernah punya orang tua sebaik kalian. Maaf, Diona selama ini bohong. Tolong setelah ini jangan putuskan tali silaturahmi kita. Diona masih mau kok rawat Mama.” Kupeluk erat tubuh Bu Denna. Aku sungguh berat meninggalkan wanita sebaik dia, terlebih pergi dengan luka yang dalam seperti ini.

“Pak Baskoro, Bu Denna, izinkan saya membawa pulang putri saya.” Kudengar suara ayah bergetar. Aku tahu dia sangat terluka. Namun dia menyembunyikanya.

Sudut mataku menangkap Kaisar yang memeluk kaki ayah, membuatku melepas pelukan mama dan menatap Kaisar yang telah babak belur oleh kakaknya sendiri.

“Tolong jangan ambil Diona dari saya. Saya minta maaf sudah melukai hati Diona. Tapi tolong jangan pisahkan saya dari Diona. Terserah Ayah mau apakan saya, saya terima. Diona mengandung anak kami, izinkan saya menjaga Diona dan anak kami.”

Hatiku terenyuh. Seolah semua luka yang telah Kaisar berikan hilang seketika mendengar Kaisar menyebut bayi yang baru seminggu lebih kukandung dengan kata anak kami. Kulihat Kaisar bersujud di kaki ayah dan bunda, menangis terisak. Aku luluh, sungguh.

“Tapi Krystal bagaimana, Nak Kaisar?” Suara serak Bunda diiringi tangisan terdengar.

“Tidak ada wanita lain Bunda, sungguh. Hanya ada Diona. Tolong Bunda, izinkan saya membahagiakan Diona dan anak kami. Tolong, jangan pisahkan saya dengan anak saya, saya mungkin akan gila.”

Aku berdiri pelan, menghampiri tubuh Kaisar yang masih bersujud di kaki Ayah dan Bunda. Kutegakkan tubuh itu, kulihat air mata tak henti keluar dari matanya. Baru kali ini kulihat dia sehancur ini. Kuraih tubuhnya dan kupeluk erat. Semua lukaku telah kuhapus dan kuberi semua maafku untuk pria yang kini sangat kucintai.

“Mas, temani aku rawat anak kita.”

Mungkin memang benar, anak kamilah yang menyatukan kami.

***