cover landing

Dangerous Love

By R Adrianii


Peperangan selalu dimulai dengan kebencian membabi buta sebelum akhirnya waktu yang terlalu lama membuat satu sama lain lupa sebab apa mereka menebarkan duka ....

**

"Sudah kubilang, kau tidak boleh menangis ...."

Anna menggeleng, tangannya menekan luka di perut Julian, tepat pada bagian di mana pria itu ditusuk pisau. Anna bisa merasakan darah keluar dengan deras dan merangsek dari sela jari tangannya. Tangan kiri Julian terangkat, mengusap lelehan air mata yang jatuh di pipi Anna. Namun, ia lupa kalau tangannya juga penuh dengan darah, sehingga wajah Anna kini ikut ternodai dengan cairan merah tersebut.

"Kalau harus mati, aku akan mati di tanahku sendiri. Kau tidak perlu menyesalinya, aku menerima konsekuensi dari keputusan yang telah aku buat."

Anna menggeleng. Sekuat tenaga ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan sakit yang menohok di jantungnya. Rasanya begitu nyeri, dan Anna tidak tahu bagaimana membuang sakitnya. "Aku tidak ..." Anna tersedu hingga kesulitan melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak bisa menerimanya ...."

Julian mendesis merasakan ngilu dan perih dalam lukanya. Matanya sudah dipenuhi bulir dalam pelupuk, tetapi ia masih bisa melihat wajah Anna dengan jelas. Air mata gadis itu lebih dulu jatuh.

"Ann ... kau tidak boleh lemah di depan musuhmu. Kau lupa kalau aku juga salah satunya."

***

Enam bulan sebelumnya ....

Anna mengendarai mobil sedan hitam miliknya memasuki sebuah pangkalan militer yang dijaga ketat di pintu masuk. Ia menunjukkan tanda pengenal setiap kali petugas menghadang mobilnya. Anna tahu ada berapa pos yang harus ia lewati dengan mekanisme menjengkelkan yang sama. Gadis berambut maroon itu tersenyum sinis. Padahal ini bukan kali pertama ia datang ke sana, tetapi mereka tetap saja meminta Anna menunjukkan tanda pengenal yang sama.

"Begini." Anna menjulurkan kepalanya keluar setelah ia mendapat izin. Seperti biasa, kedua tangannya berlipat di atas pintu mobil yang kacanya terbuka dan rambutnya mengkilap terkena pantulan matahari. "Apa kalian melakukannya hanya untuk formalitas? Kalau begitu, anggaplah aku pengecualian karena ini merepotkan, sungguh."

Pria yang tadi memeriksa tanda pengenal Anna menurunkan pandangannya pada wajah gadis berusia 25 tahun itu. Muka Anna merengut, dan itu terlihat seperti godaan bagi siapa pun pria yang menatapnya. Hari ini Anna membiarkan rambut panjangnya tergerai, dan pria itu tidak bisa memungkiri bahwa ia menyukai tugasnya untuk memeriksa mereka yang masuk. Anna adalah salah satu yang istimewa.

"Ini perintah." Pria itu berusaha untuk tidak terpesona pada Anna, meski sebenarnya Anna tidak berusaha untuk membuatnya terpesona juga.

Anna memicingkan mata bulatnya dan membaca nama yang tertera pada dada sebelah kanan pria itu. Ia menarik kembali kepalanya masuk ke dalam dengan tangan yang kini menggenggam kemudi. "Terserah kau saja, Luke."

Mobil Anna melewati portal yang kini terangkat naik meninggalkan pria bernama Luke yang senang karena akhirnya Anna tahu namanya. Pintu mobil terbuka disusul dengan kaki kanan yang keluar lebih dulu dan menginjak tanah berpasir yang hampir menutupi seluruh area tersebut. kemudian, ketika kedua tumitnya sudah berdiri tegak di atas hak sepatu boots yang ia gunakan, Anna mendorong pintu mobilnya tertutup dengan suara yang cukup kencang. Gadis itu mengikat rambutnya tinggi dalam satu gerakan sederhana lalu merapikan kaos yang terangkat naik hingga perut rampingnya terlihat ketika Anna mengikat rambut.

Untuk ketiga kalinya dua orang tentara menghadang Anna di pintu masuk gedung. Seolah sudah menjadi kebiasaan, gadis itu mengeluarkan tanda pengenal dari jarak dua meter hingga kedua tentara itu dapat membacanya. Anna pun melenggang begitu saja ketika mereka menyingkir.

"Ck, ck, ck mereka harus mengubah sistem semacam ini."

Lorong panjang yang Anna lewati sudah berkali-kali ia datangi. Anna hafal tanpa perlu pemandu yang membawanya sampai pada pintu kayu tebal dan tinggi yang menjadi satu-satunya ujung dari lorong tersebut. Jemari lentik Anna mengetuk pintu di hadapannya. Bukan untuk meminta persetujuan, ia melakukannya untuk memberi tahu bahwa ia sudah datang. Tanpa menunggu izin, Anna langsung mendorong pintu itu.

Sorot mata yang tajam dan kelam menyambut Anna ketika ia masuk ke dalam. Matanya memicing mengidentifikasi sosok yang baru saja masuk tanpa persetujuan darinya. Pria tua itu tidak suka diganggu tanpa izin seperti ini. Namun, ketika ia menyadari yang datang adalah Anna, bokongnya langsung terangkat naik dan senyumnya seketika merekah.

"Ann!" Pria itu berjalan menuju Anna. Ada perasaan lega dalam sorot mata dengan pupil yang kini membesar tersebut.

"Kau baik-baik saja, Tuan Arthur?" Anna ikut tersenyum sembari merentangkan tangan untuk memeluk pria beruban itu.

"Oh, ayolah! Jangan memanggilku dengan cara seperti itu." Arthur terkekeh.

"Kalau begitu, Paman Arthur?" Kini Anna yang tertawa setelah melepaskan pelukan keduanya.

Arthur mempersilakan Anna untuk duduk pada sofa berbahan kain beludru warna cokelat di tengah ruangan dengan meja kaca dan vas kecil di atasnya.

"Kau pulang lebih cepat?" Arthur mengambil cangkir kecil dan menyalakan poci untuk menyeduh sesuatu pada meja di sudut ruangan.

"Aku beruntung." Anna tersenyum getir. Rekannya tertangkap dalam misi yang ia jalankan kemarin, tetapi Anna bisa pulang dengan selamat.

Arthur menggeleng, ia menuangkan teh hangat dalam poci untuk Anna. "Chamomile," jelas Arthur singkat. "Kau tidak perlu khawatir. Kita akan bernegosiasi dan menyelamatkannya, meski kau tahu kalau itu tidak akan mudah, bukan?"

Anna tersenyum senang. Kedatangannya menemui Arthur memang untuk meminta bantuan, dan pria itu sudah paham tanpa perlu Anna jelaskan lebih jauh.

"Aku harus membalas budi kepadamu."

Arthur adalah salah satu orang terdekat Anna. Pria itu sudah lama menjadi orang kepercayaan ayahnya. Ia bahkan masih terus membantu Anna meski ayahnya kini sudah tidak ada.

"Tentu saja, aku akan menagihnya nanti." Arthur tertawa sambil menatap Anna. Keduanya berbicara sebentar tentang satu dan lain hal hingga Anna berpamitan untuk pulang.

"Teresia bilang kau tidak berkunjung selama aku pergi." Anna berbalik menatap Arthur yang berjalan selangkah di belakangnya.

Arthur melipat tangannya di belakang punggung dengan jari yang saling bertaut, menatap Anna dengan kedua alisnya yang terangkat. "Aku bukan pengangguran, kau tahu sendiri, Ann. Lagi pula, Teresia selalu berpura-pura sibuk setiap kali aku datang."

Anna mengangguk. Ia tahu betapa sibuknya seorang Jenderal, tetapi Arthur biasanya mengunjungi Teresia setiap minggu untuk melihat keadaannya—meski Teresia mengabaikan Arthur sekalipun. Semua tahu bahwa sikap Teresia itu murni karena Anna. Teresia tidak mau Arthur membawa Anna pergi dengan alasan misi atau pekerjaan.

"Aku akan datang lusa. Kau belum pergi lagi, kan?"

Anna berhenti tepat di depan pintu gerbang, ketika mobilnya sudah terlihat. Ia menarik napas sambil memikirkan sesuatu dengan matanya yang mendelik ke atas.

"Hmm ... kurasa belum." Anna masih menganggur untuk waktu yang tidak bisa ia prediksi, pekerjaannya biasa datang dengan tiba-tiba.

"Baiklah. Jaga dirimu, Ann." Arthur menepuk bahu Anna dan membiarkan gadis itu pergi. Anna pun masuk ke dalam mobilnya lalu melambaikan tangan ke arah Arthur. Kemudian, dengan cepat mobilnya pergi menghilang dari pandangan pria tua tersebut.

Pria berambut putih itu mengeluarkan ponsel dalam saku celananya. Ia menghubungi seseorang dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku.

"Bagaimana situasinya?" tanya Arthur gusar.

"Sulit, Tuan. Tapi jika kita mau menyelamatkan Robert, Anda bisa—"

"Bunuh dia!"

"Y-ya?"

"Bunuh dia sebelum mulutnya terbuka dan membongkar semuanya!"

Panggilan dimatikan. Arthur menghela napas sambil menggenggam ponselnya erat sebelum berjalan kembali menuju ruangannya.