cover landing

Cryptid

By Andre_Lazu


Rabu, 16 September 2026: Pedalaman hutan Sekayan, Kalimantan Tengah, 14.05 WITA

Cericip burung sudah lesap semenjak setengah jam yang lalu. Tiada bebunyian yang tersisa di tengah rimbunnya pohon beringin. Hutan larangan memanglah seseram rumor yang beredar. Namun, masih ada saja orang-orang yang nekat meyeberangi batas keberanian mereka.

Suhu hari ini berkisar 25°-30°C, di saat sekelompok pemburu melangkah pelan melewati pohon-pohon rimbun. Sepatu bot mereka sebisa mungkin menghindari ranting atau sesuatu yang berpotensi menimbulkan suara. Sang Pimpinan—berdiri paling depan—menaikkan tangan, disusul para pemburu di belakangnya yang berhenti. Pria berambut ikal seleher itu menatap arloji pemindai panas di tangannya sejenak, lalu kembali menyiagakan senapan bius.

Ada setidaknya empat belas orang dalam kelompok itu. Delapan dibekali senapan bius, sisanya memegang senapan serbu tipe AN-94. Mereka tampaknya cukup terlatih untuk sebuah perburuan. Namun, agaknya ini bukan sekadar perburuan biasa.

“Hank, do you hear me?”

“Yes, Culvix.”

 “Aku ingin kau dan regumu bersiap di zona penyergapan. Kami akan memulai operasi penangkapan sesegera mungkin. Jika gagal, kami akan menggiringnya ke arah kalian.”

“Roger.”

Selepas menutup gawai transmisinya, sang pimpinan—Culvix—memberi isyarat regunya untuk bergerak maju. Begitu cermat, mata tajamnya mengawasi keadaan seraya berjalan pelan. Ia tahu kapan dan di mana pun, target yang mereka buru bisa muncul dan menyerang. Selain itu, hutan tropis berlumpur ini bukan medan yang cocok untuk aksi kejar-kejaran dengan seekor monster.

“Kita semakin dekat.” Ia mendesis kepada seseorang di belakangnya. “Makhluk itu kemungkinan ada di depan sana.”

Regu tersebut hanya berjarak lebih-kurang tiga puluh meter dari target. Mereka seharusnya bisa melihat sesuatu andai saja pepohonan beringin beserta perdu yang tebal tidak menghalangi pandangan. Maka dari itu, bergerak lebih dekat adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Meskipun itu berarti membuka celah untuk dimakan atau diremukkan hidup-hidup.

Culvix bisa mendengar bunyi gedebuk dari depan. Ia spontan menyiagakan senapan bius, disusul anggota lain di belakang. Penuh waspada, diayunkanya telunjuk sebagai isyarat untuk bersembunyi di balik batang-batang besar beringin sembari menunggu momen yang tepat untuk menyergap.

Mereka melangkah amat pelan, sampai tak menyisakan suara sedikit pun. Beberapa saat kemudian, akhirnya Culvix bisa melihat targetnya dengan jelas. Itu adalah seekor gorila merah seukuran gajah dewasa. Rambut tubuhnya kelewat lebat sampai-sampai menjuntai ke tanah. Untuk sekarang, makhluk itu kelihatannya belum menyadari kehadiran mereka.

“Batutut telah teridentifikasi. Kami akan segera memulai operasi penyergapan.” Culvix mengirimkan kabar terbaru melalui transmisi kepada regu yang menunggu di zona penyergapan.

Makhluk yang besar. Diameter jarinya nyaris menyamai tongkat bisbol, bergerak lamban, menarik-narik buah sawo dari pohon. Tatkala bergerak, kakinya meninggalkan jejak yang lebar di lumpur. Seekor babi hutan mungkin bisa berkubang di sana.

Perburuan berlanjut. Regu pemburu bergerak lebih dekat, menyelinap dari pohon ke pohon. Mereka butuh jarak yang ideal untuk membidik. Bukan untuk membunuh, melainkan untuk menumbangkan monster raksasa agar bisa diangkut dari habitat aslinya. Entah berapa mili anastesi yang diperlukan guna menidurkan makhluk seberat enam ton itu.

Regu yang terdiri dari empat belas pemburu profesional itu kian memperpendek jarak. Mereka berpencar. Sebagian ke sebelah kiri, sebagiannya lagi bersembunyi di sebelah kanan. Di sisi lain, Culvix tetap bersiaga di posisi awalnya untuk memantau sekaligus memberi isyarat dimulainya penyerbuan.

Pemegang senapan bius mulai mengisi amunisi, begitu pun pemburu yang dibekali AN-94. Sesuai rencana, mereka yang memegang AN-94 harus memastikan rekan-rekannya selamat ketika terjadi hal yang tidak diinginkan. Biasanya antisipasi tersebut berupa tindakan melumpuhkan target, atau bahkan membunuhnya.

Mata Culvix membulat sesaat target mereka membiarkan titik lemahnya terbuka. Pria berambut pirang itu sontak mengangkat tangan. Seluruh pemburu pun dengan sigap mulai membidik. Leher merupakan area penuh pembuluh darah, bagian tubuh yang cocok untuk peluru-peluru bius. Akan tetapi, ada satu hal yang menjadi kendala. Mereka tidak pernah tahu berapa persisnya dosis yang tepat. Kelebihan dosis dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada target ketika sadar. Oleh karenanya, percobaan pertama selalu saja penuh dengan risiko.

“Tahan.” Culvix mengepalkan tangan. “Tembak!”

Peluru bius meluncur dari mulut senapan, tepat bersarang di leher target. Sang monster seketika bereaksi. Ia mendengking, melibas pepohonan sawo di depannya, lalu mengentak tanah sebelum ambruk sedikit demi sedikit. Betapa beruntungnya misi kali ini! Cukup dua peluru, dan mereka bisa pulang ke markas dengan bayaran besar.

Seluruh pemburu keluar dari persembunyian untuk memeriksa kondisi batutut yang tergeletak lemah. Para pemegang AN-94 tetap menyiagakan senjata, sedangkan Culvix mulai menyenggol-nyenggol tubuh gorila besar itu dengan kakinya. Tiada reaksi sama sekali. Selain itu, pernapasannya juga teratur.

“Periksa matanya!” perintah Culvix.

Seorang pemburu bergegas mendekati wajah sang monster. Sial baginya, sebab rupa batutut ditimbun oleh rambut kemerahan yang cukup tebal. Jemarinya terseok-seok, berusaha menyibak rambut makhluk itu. Manakala tangannya nyaris mencapai lapisan paling dasar, si pemburu seketika terperanjat. Ia mendapati mata makhluk itu masih mencalang. Mata buas yang sarat akan murka.

“MATANYA TERBUKA!”

BRUAKK!

Sang monster bangkit dan langsung melibas orang-orang di sekitarnya. Seorang pemburu bersikeras membidik dengan tangan gemetar tetapi, targetnya lebih dulu menyerang. Batutut mencengkeram lelaki malang itu, lalu melemparnya berpuluh-puluh kaki ke udara.

Beberapa pemburu lain juga kesulitan membidik karena target yang bergerak liar. Makhluk itu kadang berguling, menerkam, lalu melompat secara acak. Nyaris setengah anggota regu menjadi korban. Mereka lari kalang-kabut, termasuk Culvix yang berhasil menyelamatkan diri.

"Hold on! Don’t shoot!" Ia meneriaki pemegang AN-94 yang hendak menembak. "Giring dia ke zona penyergapan. Hurry! "

Mereka pun terpaksa lari menjauh sambil memastikan batutut tidak pergi atau menjauh ke arah lain. Ini persis seperti pedang bermata dua. Jika mereka tetap di sana, maka mereka mati. Jika lari mereka terlalu cepat, maka target seharga miliaran rupiah itu bisa raib. Dengan memposisikan diri di tengah-tengah kedua risiko tersebut, regu pemburu Culvix harus siap menerima fakta kalau sekarang sang monster mengejar mereka—meraung dan menerabas semua pohon yang menghalangi jalannya.

"Hank! Kami membawanya ke arah kalian!” Culvix bicara melalui alat transmisi.

"R-roger!"

Para pemburu rela menerjang belukar demi menyelamatkan diri dari kejaran gorila raksasa. Mereka pikir ini akan berlalu cepat. Kenyataannya, itu hanyalah pengharapan kosong. Batutut menarik pohon palem dari tanah, lalu melemparnya puluhan meter ke depan. Culvix dapat dengan jelas melihat batang pohon itu melintasi kepalanya, dan menimpa rombongan pemburu di depan. Derak rusuk mereka terdengar suram.

"To-tolong!" Satu pemburu jatuh akibat terpeleset.

"Bangun! C’mon!" seru Culvix.

"Ti-tidak bisa!" Si pemburu menunjukkan kaki kirinya yang terkilir parah.

"Shit!” umpat Culvix. “Oh, noShit! Shit!" Ia langsung kabur setelah menengadah.

Batutut yang mendatanginya mendengking dan menginjak pemburu yang terkilir sampai darahnya menciprat. Culvix hanya bisa diam sambil menguatkan pijakan kakinya yang mulai lunglai. Pelarian masih berlanjut. Hanya tujuh orang yang tersisa, sementara zona penyergapan masih beberapa meter lagi.

"Pak! Kita harus menembaknya!" teriak seorang pemburu.

"Jangan!” bantah Culvix. “Keep running!"

Tanah berdebam keras manakala kaki sang monster beradu dengan langkah kecil gerombolan mangsanya. Napas Culvix memburu, begitu pun yang lain. Mereka berada di ambang kematian.

Gerung nyaring bergema, bersambut jeritan sumbang seorang pemburu di ujung belakang. Monster itu berhasil menjangkau tubuhnya. Lagi dan lagi, suara gemertak tulang manusia pecah saat tangan hitam nan besar itu mencengkeram mangsanya.

"Oh, God! Shit! Shit!" Culvix tak bisa berhenti meracau seiring kian dekatnya ia dengan sang mesin pembunuh. "Shoot! Tembak kakinya!"

Satu-satunya pemegang AN-94 yang tersisa sontak berbalik dan menembaki kaki sang monster. Lima kali, timah panas harus menembus perisai rambut tebal sebelum sukses membuat targetnya menggilas tanah. Lumpur pun menjeprat ke mana-mana. Untungnya Culvix sempat melompat ke depan sesaat kera besar itu nyaris menimpa dirinya. Ia selamat!

"ShootShoot!" komando Hank, pimpinan regu lain yang anggotanya sudah bersiap di kanan-kiri zona penyergapan.

Peluru bius segera diluncurkan. Jumlahnya lebih dari enam, berguguran di punggung dan tengkuk batutut. Seharusnya mereka sudah berhasil melumpuhkan target dengan bius sebanyak itu. Namun, karena kejadian sebelumnya, mereka jadi paranoid dadakan.

"Siagakan senjata kalian!" seru Hank. “Cepat periksa makhluk itu!”

Beberapa pemburu segera melaksanakan perintah. Mereka memeriksa tubuh, pernapasan, hingga pupil batutut dalam penjagaan ketat. Sepertinya kali ini monster itu tak kuasa melawan lagi. Ia terkapar, mati rasa.

"Target sudah dalam pengaruh anastesi, Pak."

"Bagus. Kalau begitu panggil helikopter. Semuanya!” perintah Hank.

"Siap!"

Tidak banyak yang bisa dibanggakan dalam perburuan kali ini. Culvix yang berlumur lumpur membilas wajah pucatnya dengan air mineral. Pelipisnya berdarah, begitu pun pipi dan lengannya. Akan tetapi, rasa sakit itu tak sebanding dengan para prajurit yang mati hari ini.

"Dia pasti akan menurunkan harganya." Hank, si pria botak berkulit gelap itu menghampirinya.

"Aku tahu. Lebih baik mendapatkan setengah harga daripada harus mati di tangan monster sialan itu." Culvix menyahut, agak jengkel.

"Jadi, apa yang harus kita katakan nanti? Kau tahu, kan? Dia seorang kapitalis yang tak pernah peduli nyawa manusia."

"Mau bilang apa lagi? Kita tinggal katakan yang sebenarnya. Lagi pula, sebentar lagi kontraknya habis." Culvix menjawab sehabis mengucek matanya. Mata yang telah melihat banyak kematian.

"Andai saja alat itu tidak dipasangi peretas, kita pasti bisa langsung membawanya kabur. Jujur saja, aku sudah tidak sabar melihat pria tua itu menangisi pulaunya." Hank tersenyum pahit.

Watch your mouth, Buddy! Untuk sekarang, dia masih bos kita.”

“Untuk sekarang, tentu saja,” katanya seraya terkekeh ringan.

Berselang setengah jam, desing helikopter pun terdengar. Culvix bangkit bersama mitra setianya, Hank. Mereka menyaksikan dua helikopter menurunkan alat pengangkut untuk membawa sang monster pergi. Selanjutnya, dua helikopter lagi menyusul. Para tentara yang terluka parah diungsikan lebih dulu.

"Bantu aku mengevakuasi seluruh jasad," pinta Culvix.

"Ayo!" Hank menambahi.

"Siap, Pak!" Pemburu yang tersisa serentak menyahut.

Perburuan telah berakhir. Kini, para pemburu beruntung yang masih bernyawa harus bergelut dengan jasad rekan-rekan mereka di sepanjang kawasan hutan. Seandainya bisa, mereka tentu akan menangis sambil memohon agar dibebaskan dari pekerjaan ini. Menyaksikan bagaimana temanmu tewas diinjak atau ditimpa dengan pohon tidaklah seseru menonton kartun di hari Minggu. Namun, orang-orang itu tidak bisa. Mereka sudah dibayar, dan bayaranya tidaklah sedikit. 

***