cover landing

Correct Me If I'm Wrong

By Tasyayouth


Devil, Demon, De ….

 

"Setiap orang akan berubah, kecuali waktu berhenti."

 

 

"Mbak Mi, kemarin saya nyoba bikin fren-fren ...."

"Fried chicken."

"Ah, iya itu. Frenresh ciken. Ih, apa ya, namanya? Ayam goreng, deh. Pokoknya saya masak ayam goreng pake resep yang ada di YouTube Mbak. Bener-bener enak. Suami saya sampai nambah tiga kali …"

Yumi terkikik geli mendengar penuturan Mbok Yul, tetangga sebelah. Wanita paruh baya itu tampak bahagia bercerita bagaimana suaminya menikmati makanan buatannya.

" ... kata Bapak, saya harus sering-sering belajar masak dari Mbak Mi. Soalnya yang udah saya coba rasanya enak-enak semua."

"Terharu sama Mbok Yul. Tapi jangan panggil saya ‘Mbak Mi’, dong. Berasa dipanggil bakmi. Saya, kan, jadi laper," cengir Yumi dengan ungkapan jujur. Benar saja, perutnya mulai keroncongan. Pokoknya setelah belanja sayur, ia akan masak bakmi. Entah kenapa Mbok Yul suka memanggilnya ‘Mbak Mi’ atau ‘Mbak Yumi’, padahal dulu suka memanggilnya ‘Nak Yumi’.

"Duh, Mbak Yumi. Jangan makan mulu dipikirin, atuh. Anak muda jaman sekarang pada peduli sama bentuk tubuh. Coba diet, Mbak. Lelaki sekarang suka sama bentuk tubuh kayak gitar spidol—“

"Spanyol, Mbok."

"Ya, itu."

Yumi tersenyum kecil. Ia tahu Mbok Yul tidak berniat body shamming, wanita itu cukup peduli padanya. Sejak ibu Yumi meninggal, wanita itu sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Toh, sebenarnya tubuh Yumi dulunya tidak gemuk seperti ini. Jika mau, Yumi bisa saja menurunkan berat badan dalam waktu singkat, tetapi ia tidak pernah berniat diet sedikit pun.

"Jodoh gak akan ke mana, Mbok Yul. Kalau lelaki lebih mementingkan bentuk tubuh, berarti dia bukan lelaki yang baik. Gimana kalau suatu saat nanti, bentuk tubuh istri yang dulunya langsing jadi gemuk karena efek melahirkan? Dia bakal ninggalin dan cari wanita lain?"

"Bener juga, sih. Saya juga dulunya kurus, tetapi sekarang melar karena udah tua. Tapi untungnya Bapak masih setia sama saya."

Yumi tersenyum lagi. "Begitupun saya, Mbok. Saya udah nyaman sama bentuk tubuh gini. Lihat, deh, pipi saya? Gembul bikin gemes, kan? Lagian saya mau cari suami yang mau nerima saya apa adanya."

"Iya, ya. Tipe suami Mbak Yumi gimana?"

"Gemuk, muka pas-pasan, dan tak perlu kaya asalkan tidak sampai melarat."

Mendengar ucapan Yumi, Mbok Yul melebarkan matanya kaget.

"Saya dong, Mbak," ucap seseorang yang hampir dilupakan keberadaannya.

Yumi dan Mbok Yul memandang ke arah Mang Ujang-lelaki yang saat ini tengah menyengir sembari mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat.

"Ingat anak-istri, Mang," sindir Mbok Yul dengan sinis. Mang Ujang tertawa.

"Saya becanda, Mbok. Lagian kenapa Mbak Yumi punya tipe suami kayak gitu? Saya aja kadang insekyur sama istri. Suka heran, kenapa Marni yang cantik bisa jatuh hati sama saya."

Yumi tertawa kecil.

"Iya, nih. Mbok aja dulunya punya tipe idaman yang ganteng dan mapan. Walaupun dapat jodoh gak kayak impian, Mbok tetap bersyukur."

"Saya punya kenangan buruk tentang lelaki ganteng dan kaya, Mbok. Lagian saya mau pasangan yang cocok bersanding sama saya. Daripada nanti punya suami tampan tapi makan hati karena banyak yang lirik, saya juga yang kesulitan. Intinya, lelaki kayak gitu ribet."

Mbok Yul hanya manggut-manggut, mungkin sepemikiran. Tahu bahwa percakapan tak perlu dilanjut, Yumi segera memilih sayuran yang akan dibelinya. Saat hendak membayar, tiba-tiba Mbok Yul menahan tangannya. Yumi menoleh dengan alis bertautan.

"Tapi, bukannya dulu Mbak Yumi punya pacar yang kaya dan ganteng. Siapa, sih, namanya?"

Tanpa sadar, Yumi meremas uang berwarna biru dengan kuat. Tampak amarah tertahan di wajahnya.

"Mbak Yumi! Mbak! Uangnya buat saya aja daripada digituin," ucap Mang Ujang membuat Yumi tersadar. Ia pun tersenyum tipis dan segera membayar sayuran yang dibelinya.

Sementara Yumi dongkol, Mbok Yul tampak antusias mengingat nama pacar Yumi. Pacar? Yang benar saja. Setelah mendapat kembalian, Yumi segera melangkah pergi dari sana, sebelum Mbok Yul menyebutkan nama yang membuatnya alergi itu.

"Ah, Mbak Yumi. Mbok ingat namanya. De ... De .... Eh, apa tadi, ya?" Mbok Yul lupa lagi.

Dengan kesal, Yumi menoleh dan berkata, "Devil!"

"Ah iya, Devil! Eh, masa? Bukannya De—"

"Demon!" seru Yumi lagi sebelum tubuhnya menghilang dari balik pagar.

Ya, lelaki itu adalah iblis.

***

Tak! Tak! Tak!

Itu adalah suara gesekan antara talenan dengan pisau daging. Yumi tampak begitu semangat mencincang daging segar. Tentunya ada niat terselubung di sana. Ia mengerahkan tenaganya untuk melepaskan kekesalan. Itu semua karena Mbok Yul menyebutkan sesuatu tentang lelaki iblis itu.

"Devil! Demon! Lelaki iblis!" ucap Yumi dengan menambah kekuatannya mencincang daging.

"Yumi?"

Seketika kegiatan Yumi terhenti. Wanita itu menoleh pada seorang lelaki di kursi roda yang saat ini berada di hadapannya. Dengan segera ia meletakkan pisau daging dan berjalan menghampiri lelaki itu.

"Ayah ngapain di sini? Gak istirahat?" tanya Yumi sembari bertekuk lutut di depan sang ayah. Ingin menyentuh tangan ayahnya, tetapi ia sadar tangannya sendiri dalam keadaan kotor. Jadi ia hanya bisa tersenyum menatap lelaki yang merupakan cinta pertamanya itu.

"Ayah denger suara ribut di dapur. Kamu gak biasanya gitu."

Yumi menyengir. Ia terlalu terbawa suasana hingga lupa bahwa ada ayahnya yang butuh ketenangan dalam beristirahat.

"Yumi ganggu, ya? Maaf," ucap Yumi seraya menggembungkan pipinya.

Tangan sang ayah terulur mencubit pipi anaknya yang gembul itu. Sudah menjadi favoritnya, sehingga ini adalah salah satu alasan Yumi tetap mempertahankan kegemukannya. Ia ingin menjadi putri ayahnya yang menggemaskan.

"Enggak, kok. Kebetulan ayah lagi baca koran di taman belakang. Oh iya, tadi telepon Yumi tinggal di dekat kursi. Kamu kebiasaan!"

Sang ayah menyodorkan benda pipih yang beberapa waktu lalu sempat menjadi objek makian Yumi karena ia tidak tahu di mana keberadaannya. Ternyata akibat kecerobohannya sendiri. Yumi menyodorkan kantong di apronnya dan dalam sekejap benda pipih itu masuk ke sana.

"Karena Ayah di sini, mau nunggu Yumi selesai masak?" tanya Yumi yang dibalas anggukan. Segera Yumi berjalan ke tempat tempurnya kembali.

"Kamu punya pacar?"

Yumi menghentikan langkah dan menoleh dengan kernyitan di dahi. "Pacar?" beonya.

"Iya. Tadi ada cowok yang nelepon kamu dan katanya dia pacar kamu."

Alih-alih menjawab, Yumi tertawa. Namun, setelahnya ia berkata, "Gak mungkinlah. Kalau Yumi punya pacar, pasti Yumi kenalin ke Ayah. Lagian Yumi yakin itu penipuan berkedok pacar. Ntar disuruh bayar utangnya lagi."

"Ah, iya juga. Sebelumnya pacar kamu, kan, cuma De—“

"Stop, Yah! Tolong jangan sebutin nama dia lagi. Yumi bisa gatal-gatal karena nama itu," gerutu Yumi memotong.

Ia tidak tahu mengapa hari ini begitu sial karena nama iblis itu hampir saja terdengar oleh telinganya. Namun, yang pasti ia sangat kesal.

"Udah beberapa tahun, tapi kamu belum maafin dia? Yumi, ayah gak tahu apa yang terjadi sama kalian, tapi ayah yakin itu kesalahpahaman. Apalagi saat itu—"

"Ayah, itu udah lama. Yumi gak mau bahas itu lagi. Sekarang, Yumi udah gak ada hubungannya lagi dengan dia," ujar Yumi serius. Ia menghela napas panjang dan kembali ke aktivitas dapurnya.

Tampaknya sang ayah juga tidak mau membahas hal itu lagi. Lelaki itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi hingga Yumi harus putus dengan anak lelaki yang ayahnya sukai. Menurut sang ayah, mantan Yumi itu orang baik dan sangat cocok menjadi menantunya. Sudah lama sekali, lima tahun lalu, tepatnya bersamaan dengan kejadian kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa ibu Yumi.

Sementara itu, Yumi memasak dengan suasana hati yang buruk. Sesekali ia melirik sang ayah yang menatapnya penuh kasih sayang. Sungguh disayangkan, ayahnya harus lumpuh setahun yang lalu sebelum keinginan untuk berlarian bersama cucu tercapai.

Cucu? Yumi adalah anak pertama dan sampai saat ini ia belum memberikan sang ayah seorang bayi kecil. Ia belum bisa menjadikan ayahnya seorang kakek. Andai saja mendapatkan suami semudah memasak. Tunggu, memasak?

"Yumi? Kok bau gosong?"

"Kyaaa!"

***