Mungkin hanya aku yang seperti ini.
Melalui semua yang tidak pasti.
Rangkaian kereta api bergerak semakin pelan begitu memasuki stasiun Tugu hingga akhirnya berhenti. Rayhan mengenakan jaket dan ranselnya, tetapi masih tetap duduk di tempatnya, menunggu hiruk-pikuk di sekitarnya mereda. Ia merasa tidak sedang tergesa, tidak juga ditunggu. Jadi, ia memiliki banyak waktu.
Rayhan memakaikan topi merah muda bergambar Minnie Mouse di kepala Kirana, gadis kecil yang masih tertidur pulas di sampingnya, kemudian perlahan ia mengangkat tubuh anak itu dan menggendongnya. Diusapnya punggung Kirana ketika anak itu mengeluarkan suara—seperti mengigau.
Saat menapakkan kaki di peron, Rayhan mengedarkan pandangannya. Sekelilingnya penuh dengan orang berlalu-lalang. Suara pemberitahuan kedatangan kereta terdengar berbaur dengan klakson dan getar rel saat rangkaian roda ular besi memasuki jalur. Sungguh, Rayhan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di kota ini. Dalam hatinya muncul perasaan gamang—tidak yakin dengan apa yang dijalaninya kini. Dunia sekitarnya menjadi terasa sempit, meninggalkan dirinya bersama anak yang tergolek di bahunya.
Di luar halaman Stasiun Tugu, udara pagi yang lembut bercampur dingin menyeruak ke pori-pori kulitnya. Rayhan melihat kendaraan umum—becak, andong, taksi—berjejer menunggu dan berebutan menawarkan jasa. Tidak mau menunggu lama, Rayhan lekas memilih taksi. Sang sopir lekas membukakan pintu untuknya.
Setelah mengatakan tujuannya ke Umbulharjo, Rayhan menyandarkan punggungnya. Pusat kota Yogyakarta mulai ramai. Tidak lama lagi pasti kemacetan menjalar. Kota ini memang berbeda dengan dulu saat ia kecil sampai ia kuliah di Jakarta—sekitar tahun 2003.
Dulu, di pagi hari Yogyakarta lowong dan sepi. Kalau ada yang bilang ‘macet’, itu hanyalah definisi antrean kendaraan di lampu merah—antreannya pun hanya empat sampai lima baris saja. Dan di malam hari, begitu memasuki pukul sembilan, jalanan utama Yogya sepi. Kalau sekarang kata ‘macet’ sepertinya hal yang lumrah terlihat di mana-mana di kota ini.
"Papa..." Kirana di sampingnya terbangun, menyandarkan kepalanya di lengan sang ayah. Matanya masih mengerjap-ngerjap dan mulut mungilnya menguap. "Kita sudah sampai, ya, Pa?"
Rayhan mengusap rambut putrinya. "Iya, Sayang." Lalu mengeluarkan sebungkus roti. "Makan dulu."
Anak itu menerima dengan tangan lemas. "Nana mau susu juga, Pa," katanya sambil membuka pembungkus roti.
Drrt.
Tangan Rayhan yang hendak membuka tas, terhenti. Dilihatnya nama ‘Ibu’ tertera di layar ponselnya. Tidak tahu kenapa ada perasaan enggan yang membuat ibu jarinya berlama-lama di tombol untuk menjawab, dan akhirnya ditekan juga.
"Ya, Bu?" Ada yang tertahan dalam perasaannya saat memulai percakapan.
"Kamu sudah sampai, Le? Kok ndak kasih tahu Ibu?" suara Ibu terdengar khawatir.
"Baru sampai, Bu. Keretanya terlambat satu setengah jam."
"Oh begitu, yo wis." Suara Ibu sedikit lebih tenang. "Apa Nana baik-baik, Le?" Rayhan memindahkan ponsel ke telinga kanannya, pandangannya menelusuri kota di luar jendela. Sekilas dilihatnya Kirana, gadis kecil yang tengah menikmati roti cokelat di sampingnya. "Iya, Bu. Dia lagi makan roti."
Merasa dirinya sedang dibicarakan, Kirana menoleh. "Eyang Uti, ya, Pa?" bisiknya. Tapi sang ayah hanya tersenyum, membuatnya kembali duduk dengan mimik penasaran.
"Jangan lupa kasih Nana vitamin. Ibu taruh di kantung depan tasnya."
Rayhan menghela napas panjang. "Iya, Bu."
"Kamu ndak lupa jaket dan selimutnya Nana, to? Inget, Nana itu kalau kena udara dingin gampang flu."
"Iya, Bu." Rayhan tidak mendengar jelas apa yang baru saja dikatakan ibunya, pikirannya terlalu penuh untuk ditambahkan memori-memori baru.
"Kamu itu, Le, dari tadi iya, iya saja jawabnya." Ibu mendesah kesal. "Le, jujur Ibu masih bingung lho, buat apa kamu jauh-jauh ke Yogya? Di sana sudah ndak ada siapa-siapa. Kalau mau cari kerja, di Jakarta banyak, to?"
Rayhan memijit kepalanya yang mulai terasa pening. Bingung harus menjelaskan bagaimana lagi pada sang ibu mengenai kondisinya. Sekilas, diliriknya lagi Kirana yang masih duduk tenang dengan rotinya sembari melihat keluar jendela.
Mendengar tak ada sahutan dari putranya, Ibu melanjutkan. “Le, dinginkan kepalamu. Jangan terbawa amarah, ndak baik. Hidup yang bahagia itu, ya kalau kamu bisa melepaskan perasaan-perasaan buruk yang kamu buat sendiri.”
Rayhan mengerjapkan mata, menahan gemuruh batinnya. "Bu, sudah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi."
"Yo wis, kamu jaga kesehatan ya? Jaga Nana. Kalau ada apa-apa, cepat telepon. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Rayhan meletakkan ponselnya, kembali menghela napas. Terasa berat. Sangat berat. Persis jalan hidupnya yang harus dilaluinya kini.
“Papa nggak mau?” Kirana menyodorkan rotinya.
Rayhan melihat putrinya dan tersenyum. “Papa udah kenyang. Nana abisin aja.”
Kirana mengangguk-anggukkan kepalanya, melanjutkan makannya dengan tenang. "Papa, kapan kita pulang? Nana kangen Eyang Uti."
Rayhan hanya tersenyum. Ia mengusap rambut putrinya. Kita sudah pulang, Nak. Tapi, ia tahu Kirana tidak akan mengerti mengapa mereka harus ke sini. Dan ia sendiri juga tidak tahu berapa lama mereka akan di sini. Setahun, dua tahun, atau mungkin... selamanya.
*
"Assalamualaikum."
Amira yang tengah merapikan berkas tugas anak-anak didiknya di ruang guru, langsung menoleh ke arah pintu. Seorang lelaki berdiri di sana. Tubuhnya cukup gagah walaupun agak kurus dan tidak terlalu tinggi. Kulitnya sedikit gelap, rambutnya berpotongan cepak, dan wajah lonjongnya tampak pas dengan kumis tipisnya. Sebuah kacamata membingkai sepasang matanya.
"Galih!" pekik Amira riang, menyambut lelaki itu.
Galih adalah teman SD Amira. Mereka bertemu kembali setahun lalu dalam sebuah reuni. Lelaki itu adalah seorang duda. Tiga tahun lalu, istrinya meninggal dalam kecelakaan saat sedang mengandung anak mereka. Sejak pertemuan itu, mereka dekat hingga sekarang.
Galih menjulurkan tangan, menyerahkan kantong plastik merah kepada Amira. "Ini ada nasi uduk komplit dari Ibu. Mau sarapan bareng?"
Amira tersenyum dan mengangguk. "Boleh. Mumpung Bu Sukma belum datang. Eh, tapi kamu nanti nggak terlambat ke kantor?" Ia tahu benar Galih, yang seorang PNS, benar-benar disiplin soal waktu.
"Nggak apa-apa. Aku sudah izin datang lebih siang," sahut Galih.
"Ya udah kalau begitu." Amira pun melangkah kembali ke mejanya, diikuti Galih di belakangnya.
"Kamu lagi ngapain?" Galih menarik kursi di sebelah meja Amira.
"Biasalah kalau mau pembagian rapor, bikin penilaian ini-itu." Amira mengeluarkan tiga piring melanin dan tiga sendok dari dalam laci mejanya. "Bilang makasih sama Ibu, ya, Lih."
"Iya, nanti aku sampein ke Ibu." Galih tersenyum. "Ibu mau masak nasi uduk komplit begini cuma buat calon menantunya lho!"
Mendengar kata calon menantu, Amira menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona. Ia menyiapkan nasi uduk untuk Galih dan dirinya sendiri tanpa berani menatap lelaki di dekatnya.
"Oya, Mir..." Galih berdeham. "Ibu pengin aku diskusiin tentang rencana pertunangan kita."
"Pertunangan?" Amira menghentikan gerakan tangannya. Ia terkejut.
Galih mengangguk. "Kamu kapan mau aku lamar?"
Sejenak Amira memperhatikan Galih. Lelaki itu memenuhi semua persyaratannya sebagai calon suami. Soal pekerjaan, Galih bisa dibilang sudah mapan-sudah punya rumah dan mobil. Tampangnya lumayan. Amira suka sifatnya yang mudah dekat dengan anak-anak, begitu klop dengan profesinya sebagai guru TK. Dan, mereka sama-sama menerima status sebagai seorang duda dan janda. Sama sekali tidak ada alasan untuk menolak lelaki ini.
Galih melemparkan tatapan bertanya. Ia menunggu.
Amira mencoba tersenyum meski agak gelagapan. "Eh..., apa? Memangnya kapan mau didiskusikan?"
Galih membalas senyumannya. "Ya, hari ini, dong, Mira. Mumpung aku sudah izin datang siangan ke kantor."
"Ya..., ya..." Amira menyelipkan rambut ke belakang telinganya, gugup.
"Jadi, kapan kamu mau aku lamar, Mira?" Galih mengulang pertanyaannya.
Amira menelan ludah, baru menyadari kalau ia belum pernah menyampaikan niatan Galih kepada keluarganya. Ayah dan Ibu Amira sudah tiada sehingga hanya Mbak Saskia, kakaknya, dan Bude Wulan, adik ibunya, yang perlu diberi tahu. Bude Wulan sudah dua atau tiga kali bertemu Galih dan terlihat menerima dengan tangan terbuka. "Bagaimana kalau... akhir tahun?" Amira berusaha meyakinkan Galih dan dirinya sendiri.
"Akhir tahun?" Galih tampak berpikir. "Berarti tujuh bulan dari sekarang, ya? Hmm..., nggak bisa lebih cepat, ya?"
"Aku harus atur waktu buat ngomong sama Bude Wulan dan Mbak Saskia, Lih. Dan..., aku juga perlu waktu mempersiapkan semuanya." Amira berusaha bersikap tenang.
"Oke, oke. Nggak masalah." Galih mengangguk. Ia tersenyum, menatap Amira penuh pengertian.
Amira selalu mengagumi kesabaran Galih, yang selalu bisa berpikir dengan tenang dan tidak mengedepankan ego. Itu jugalah yang membuat Amira enggan memikirkan kemungkinan memilih lelaki lain selain Galih. Ia merasa mereka sudah ditakdirkan bersama.
"Assalamualaikum, Pak Galih, Bu Amira.” Terdengar suara seorang perempuan memasuki ruang guru.
“Waalaikumsalam.” Amira dan Galih menyahuti berbarengan sambil mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ajeng, rekan sesama guru sekaligus sahabat Amira, muncul di sana.
Ajeng tersenyum lebar kepada keduanya. "Wah, kalian sedang makan apa?”
Galih yang sedang makan, menyahuti. "Sini, Bu Ajeng, ikut sarapan nasi uduk buatan ibuku."
Ajeng memajukan kepalanya, melihat deretan makanan di meja. “Memangnya cukup? Nanti kurang buat kalian.” Ia merasa tak enak.
"Tenang, masih banyak, kok." Amira menyendokkan nasi beserta lauk, lalu menyodorkan piring berisi nasi uduk dan segelas air putih.
"Iya, tadi aku bawa banyakan, kok," timpal Galih.
Ajeng langsung menyuap nasi uduk yang disodorkan Amira dengan lahap. “Ini enak banget lho.”
“Ibuku masak spesial buat Amira.” Galih menyahuti.
“Udah jadi calon mantu kesayangan yo, Mir,” gurau Ajeng.
Wajah Amira langsung bersemu merah.
Ajeng melirik Amira dan Galih bergantian. “Kalian kapan mau meresmikan hubungan?”
“Akhir tahun, insya Allah. Iya, kan, Mira?”Galih menatap Amira.
Perempuan itu mengangguk. “Insya Allah.”
"Masya Allah. Seneng banget aku.” Wajah Ajeng tampak berbinar bahagia.
Amira tertawa kecil. Semua akan berjalan sebagaimana mestinya. Ia yakin Galih tidak akan membuatnya kecewa, apalagi terluka.
"Ya sudah, yuk habiskan sarapannya," kata Galih.