cover landing

Cinta Sang Primadona

By Indonesian Writers Zone


Senja mulai merayapi Desa Candisari yang terletak di antara kaki Gunung Sumbing dan Sindoro. Semilir angin membawa udara dingin yang terasa menggigit kulit. Aroma khas tembakau menguar dari gudang penyimpanan di dekat kebun. Kabut yang awalnya tipis, kini semakin tebal menutup langit berwarna jingga. 

Azan Magrib berkumandang dari surau di tengah desa. Warga segera berbondong-bondong memenuhi panggilan untuk menunaikan salat. Setelah itu, beberapa anak duduk memenuhi serambi surau dan belajar mengaji pada salah seorang pemuka agama. Suara mereka bersahut-sahutan melantunkan ayat suci Al-Qur’an tanpa lelah hingga menjelang waktu salat berikutnya.

Biasanya, selepas salat Isya berjamaah, suasana desa akan semakin sepi. Alih-alih keluar rumah, para penduduk lebih memilih untuk bergelung di dalam selimut untuk beristirahat. 

Akan tetapi, khusus malam ini Desa Candisari masih ramai. Beberapa orang berkumpul di salah satu muka gang dengan jaket tebal. Asap-asap tipis lolos dari hidung para pria yang mengisap rokok tingwe1. Suara celoteh dan gurauan para wanita muda menambah akrab suasana. Mereka tampak saling menunggu satu sama lain. 

Beberapa rombongan yang berjalan melintas menuju bagian utara desa menyempatkan untuk menyapa. Rombongan lain menyusul di belakang mereka, hingga kemudian rombongan yang tadi berkumpul di muka gang mengekor berjalan ke arah yang sama.

Keramaian juga tampak pada sebuah rumah joglo dengan pekarangan luas. Beberapa pekerja menata kursi setelah meletakkan seperangkat gamelan di tengah pendapa. Sementara selusin wanita mondar-mandir menyiapkan sajian di meja kayu panjang. Lampu-lampu neon sengaja dipasang di beberapa titik tambahan sehingga suasana menjadi terang benderang.

Keriuhan juga terlihat pada salah satu ruangan di rumah itu. Beberapa pria sibuk mengenakan surjan lurik dan jarit batik yang ujungnya diwiru. Dua orang wanita berkebaya memoles wajah mereka dengan sedikit menor. Sedangkan satu wanita  merapikan kemban yang menutup bagian atas dadanya.

“Ajeng belum datang?” tanya seorang pria yang mengenakan blangkon dengan suara keras. Dia baru saja memasuki ruangan dan tampak resah.

Mereka yang berada di ruangan itu kompak menolehkan wajah ke arahnya dan menggelengkan kepala.

Pria setengah baya itu mengembuskan napas berat. Dia mengusap wajahnya beberapa kali dengan sapu tangan yang selalu dibawa. Matanya terus mengawasi ke arah pintu.

“Anak kesayangan Bapak mulai berulah,” cetus wanita yang sedang merapikan kemban dengan nada tak acuh. “Mentang-mentang sekarang jadi primadona di Tirta Mandala, lalu berlaku seenaknya,” katanya sambil mengalungkan roncean melati sehingga jatuh melingkari tubuhnya yang padat berisi.

“Jangan bikin keruh suasana, Run! Sebentar lagi Ajeng pasti datang,” tukas pria bertubuh tambun itu untuk sekadar menutupi kekhawatirannya.

Seruni tertawa dengan nada mengejek.

“Sebagai pimpinan Tirta Mandala, Pak Atmo seharusnya bisa tegas dan nggak pilih kasih. Coba misalnya aku, waranggana, atau pengrawit yang terlambat datang, Bapak pasti sudah marah-marah. Apalagi malam ini kita diundang oleh orang penting di Temanggung. Kalau acaranya tidak berjalan sesuai rencana, tentu akan menghancurkan reputasi Tirta Mandala!” protes wanita dengan tahi lalat di dagu itu.

“Ajeng pasti datang. Sebelumnya dia nggak pernah begini, kan?” sahut pria penabuh kendang yang duduk di ujung ruangan disambut dengan gumaman tanda setuju dari pengrawit lainnya.

Seruni memalingkan wajah ke arah datangnya suara dan menautkan kedua pangkal alisnya.

“Alah, kalian ini! Sama saja dengan pria di luar sana. Sudah buta mata hatinya dengan kecantikan Ajeng yang nggak seberapa!” bentak Seruni dengan mata memelotot.

“Seruni! Kamu—“

Suara pintu yang dibuka tiba-tiba dan didorong dari arah luar memutus kalimat Pak Atmo. Semua mata kini memandang ke arah pintu.

Sugeng ndalu2Pak Atmo, maaf saya terlambat,” ucap wanita yang sedari tadi ditunggu kedatangannya. Napasnya terengah-engah. Titik-titik keringat menghiasi dahinya yang mulus. Kemeja motif bunga dan rok lebar sebatas lutut yang dikenakannya tampak kusut.

Wajah Ajeng tampak panik. Dengan gugup, jemarinya menyibak beberapa helai rambut yang lepas dari kuciran dan meriap.

Pak Atmo mengembuskan napas lega dan mengucap syukur karena Ajeng telah datang. Kekhawatirannya sirna sudah. Dia tidak dapat membayangkan apa jadinya pementasan kali ini tanpa kehadiran primadona Tirta Mandala.

“Nggak usah ngomong juga semua tahu kalau kamu telat,” hardik Seruni sambil melengos.

“Aku telat karena angkutannya mogok, Run,” jelas Ajeng dengan suara parau. Napasnya belum lagi normal, tetapi sudah harus menghadapi Seruni yang menghakiminya sedemikian rupa.

“Nggak usah banyak alasan! Kamu nggak menghargai orang lain! Kami sudah di sini sejak sore. Kamu tahu nggak ini acara siapa? Jangan mentang-mentang sekarang sudah terkenal, jadi menyepelekan yang lain. Kalau nggak ada kami, mana mungkin kamu bisa terkenal!” raung Seruni dengan napas memburu. Tangannya terkepal seolah ingin memukul Ajeng yang berdiri tidak begitu jauh darinya.

Ajeng sontak menarik tubuhnya ke belakang melihat kemarahan Seruni yang tiba-tiba. Dia heran mengapa wanita yang pernah akrab dengannya itu tampak sangat meradang.

Kenapa Seruni begitu marah? Padahal aku baru sekali ini terlambat datang,’ keluh Ajeng dalam hati. Matanya terasa panas menahan air mata yang hendak menetes.

“Seruni, sudah!” ucap Pak Atmo tegas. Telinganya risih mendengar cercaan Seruni yang tidak berkesudahan.

Seruni mengerutkan dahi dan memandang Pak Atmo dengan sorot mata tidak terima karena diminta menyudahi kemarahannya.

“Tapi, Pak–”

“Berhenti kataku! Jangan buat keributan di sini!” pekik Pak Atmo sambil menunjuk wajah Seruni yang langsung memucat. Penari yang pernah menjadi idola Tirta Mandala itu kaget karena sebelumnya tidak pernah dibentak oleh Pak Atmo.

Ajeng terisak melihat keributan yang terjadi karena keterlambatannya tadi. Hatinya terasa tidak keruan melihat suasana yang menjadi tidak mengenakkan.

Pak Atmo yang mendengar isakan di sebelahnya lantas menengahi. Dia tidak ingin pertunjukkan malam ini gagal karena keributan yang baru saja terjadi.

“Sudah, Jeng. Sudah. Tidak usah nangis. Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah sampai sini. Kamu siap-siap saja, ya? Kami tunggu di luar. Sebentar lagi acara dimulai,” potong Pak Atmo menyudahi pertikaian yang terjadi antara Ajeng dan Seruni.

Ajeng menganggukkan kepala sambil menyusut air mata meski rasa bersalah tetap menggelayuti hatinya. Dia hanya bisa menunduk ketika mendapati teman-teman grupnya yang lain memandangnya dengan tatapan iba, tentu saja kecuali Seruni.

***

 1tingwe: ngelinthing dhewe, melinting sendiri, menggulung tembakau dengan membubuhkan rempah atau cengkih sendiri.

 2selamat malam