cover landing

Cermin Merah

By Adistia99


Pria berjas cokelat susu mengulurkan tangan kepada wanita yang sedari tadi menggigit ibu jarinya. “Jangan tegang, Nadya Maureenia. Semua akan berjalan lancar,” ucapnya, berusaha menenangkan.

Nadya menarik kedua sudut bibirnya sembari menerima uluran tangan Hushea, sahabat yang dikenalnya sejak SMA. Namun, apa yang Hushea katakan tak mampu menghentikan tangan Nadya yang masih saja bergetar. Benar kata orang, menikah itu jauh lebih gugup dari sidang skripsi dan wawancara kerja.

“Ayo, kita jalan.” Pria berkulit sawo matang itu langsung mengaitkan tangan Nadya ke lengan kekarnya, mengusap lembut punggung tangan Nadya. “Ambil napas, buang. Ulangi sampai tiga kali. Tegangnya pasti hilang, percaya deh,” perintahnya.

Nadya mengangguk, menuruti perintah sahabat yang sudah dianggapnya seperti saudara.

Hushea menatap wajah sahabat tersayangnya. Setelah Nadya resmi menjadi istri Dion, mungkin Hushea tak akan bisa lagi berdekatan seperti itu. Bahkan mungkin, mereka akan jarang bertemu karena Nadya akan lebih sibuk mengurusi keluarga kecilnya. Akhirnya apa yang dicemaskannya terjadi.

“Jangan lama-lama ngeliatin aku kaya gitu dong, nanti kamu nangis lagi,” celetuk Nadya.

Hushea terkekeh. “Enggak akan mungkin, aku malah bersyukur. Soalnya aku enggak akan direpotin lagi sama kamu,” sahut Hushea. Bibir dan hatinya bertolak belakang.

“Oh gitu, jadi selama ini—”

“Udah-udah, nanti dilanjut lagi. Kasihan Dion. Udah kurus, kepanasan, nungguin kamu lama banget bisa-bisa berubah jadi kerupuk kulit lagi,” canda Hushea, lalu tertawa kecil sembari menahan rasa sesak di dadanya.

Nadya tersenyum lebar sembari memukul pelan lengan sahabatnya.

“Gitu dong, enggak tegang kan jadinya?” ucap Hushea. Nadya mengangguk, ia pun mengeratkan pegangannya.

Nadya dan Hushea berjalan bersama-sama di atas hamparan bunga mawar yang sangat kontras dengan warna putih karpet. Sesekali Hushea dan Nadya bertukar tatap. Namun, tatapan mereka menggambarkan perasaan yang bertolak belakang. Nadya merasa sangat bahagia, sedangkan Hushea merasa sebaliknya.

Pria berambut hitam kemerahan itu menyugar rambutnya sembari menggeleng. Seharusnya Hushea ikut bahagia, walau orang yang dicintainya bahagia dengan orang lain. Itulah prinsip mencintai dengan tulus.

Sesampainya di depan panggung kecil berhias mawar merah, Dion Subagja, pria yang sudah berpacaran dengan Nadya selama lima tahun itu menuruni tangga samping sembari tersenyum lebar. Pria berwajah oriental itu terlihat gagah dan memesona dengan jas putih tulang yang membalut tubuh tinggi semampainya. Dion mengulurkan tangan, meminta Hushea untuk menyerahkan wanita yang dipilihnya sebagai partner seumur hidup.

Hati kecil Hushea tak rela melepas Nadya, wanita yang sudah mengambil banyak ruang di hatinya sejak masih berseragam putih abu-abu.

Dion mengerutkan dahi lalu menepuk bahu sahabat kekasihnya. “Sorry, kenapa, ya? Apa ada masalah?”

Nadya menepuk pelan bahu Hushea, membuatnya tersadar. Lagi-lagi dirinya menyadari bahwa perasaan itu tak boleh dibiarkan terus tumbuh.

Nadya mengusap pelan bahu sahabatnya dengan alis tertekuk. “Kenapa? Apa kamu ....”

“Ma-Maaf. Mungkin karena lagi banyak kerjaan, terus kurang tidur juga, jadi enggak fokus. Sekali lagi maaf, ya,” elaknya, berdusta. Hushea segera menyerahkan tangan Nadya sembari menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas. “Kudoakan semua berjalan dengan lancar.”

“Amin,” balas Nadya dan Dion bersamaan.

“Makasih, Hushea,” lanjut Nadya sembari tersenyum lebar.

“Tolong jaga dan bahagiain Nadya ya, Bro,” ucap Hushea dengan mata mulai berkaca-kaca.

“Pasti,” sahut Dion, lalu memandang wajah Nadya. “Aku akan selalu menjaga dan memberikannya kebahagiaan, karena dia satu-satunya wanita yang paling berharga dalam hidup aku,” lanjutnya sembari melempar senyum sangat lebar kepada Hushea.

Nadya menatap wajah Hushea, ia jadi tak tega melihat kesenduan yang terbingkai di mata sahabat baiknya, yang jarang dilihatnya. Wanita berkulit eksotis itu mengusap punggung Hushea dengan sangat lembut.

“Jangan sedih gitu dong, Hushea. Aku kan cuma mau nikah, bukan mau pergi jauh atau menghilang dari ....”

Utss, jangan ngomong gitu. Pamali atuh. Di hari bahagia itu kamu harus ngomong yang baik-baik. Supaya kebahagiaan terus menyelimuti rumah tangga kalian,” potong Hushea sembari melepaskan tangan Nadya. Hatinya memberontak, logikanya meronta ingin mengungkapkan perasaan yang sudah dipendamnya selama sepuluh tahun. Bisikkan-bisikkan setan terus menggodanya, tetapi tak ingin keegoisannya menghancurkan persahabatan yang sudah terbangun sangat lama.

Hushea langsung menyatukan tangan Nadya dengan Dion. “Cepatlah kalian naik, nanti yang nikahin keburu dicomot “kucing tetangga” lagi,” candanya, berusaha menutupi apa yang tengah dirasakannya.

Nadya terkekeh dengan candaan receh Hushea. “Terima kasih banyak, Sahabatku tersayang.” Ia mengecup singkat pipi kanan Hushea, lalu mengangkat sedikit ekor gaun putih tulangnya, dan naik ke altar bersama Dion.

Hushea tersenyum kecil, menyembunyikan dadanya yang semakin terhimpit. Ia menyeka sudut matanya yang mulai basah. Mencintai itu amat mudah, namun merelakannya sungguh tak mudah.

Nadya dan Dion saling berhadapan, lalu bertatapan. Rona kebahagiaan bercampur limpahan cinta dan kasih sayang itu terpancar jelas di wajah keduanya. Nadya dan Dion tampak serasi, seperti putri dan pangeran. Di hadapan pastor, mereka mengikrarkan janji sehidup semati.

Sekuat-kuatnya Hushea menahan, akhirnya ia memilih untuk mencari angin segar di luar hotel. Berpura-pura baik-baik saja itu ternyata tidak dapat menutupi rasa sakit yang amat luar biasa di dadanya. Malah ia merasa semakin terluka. Benar kata orang-orang, luka perih yang tak berdarah, tapi sangat menyakitkan itu adalah patah hati.

Saat berjalan menuju pintu keluar hotel, tanpa sengaja pria berkuncir satu menyenggol dan menumpahkan minuman ke jas Hushea.

“Maaf, maaf. Biar saya bersihkan.” Pria berkuncir satu itu langsung mengeluarkan saputangan sutra merahnya dari saku celana.

Hushea segera mengambil saputangan itu, lalu membersihkan jasnya. Ia melirik botol plastik yang berada di tangan sang pemuda, sepertinya orang yang berdiri di hadapannya itu telah menumpahkan minuman manis, di mana nodanya bisa meninggalkan bekas di jas pemberian Nadya kalau tidak cepat-cepat dibersihkan. Tak ingin jas pemberian orang tersayangnya rusak, Hushea segera pergi ke toilet untuk membersihkannya. Namun, langkahnya terhenti saat lengan kekarnya di tahan pria itu.

“Tenang, Mas. Biar saya langsung bersihkan di toilet, sendirian aja. Jadi ....”

“Tapi bukan itu yang saya maksud. Saya hanya ingin bertanya. Acara pernikahan Dion Subagja di mana, ya?”

Dahi Hushea mengerut, ia memperhatikan lawan bicaranya dari kepala sampai kaki. Dahinya mengerut dengan alis tertaut, ia tak bisa melihat jelas wajahnya karena tertutup masker hitam.

Pria itu mengencangkan maskernya.

“Memang kamu siapanya Dion?” tanya Hushea, sangat penasaran.

“Saya teman sekolahnya, saya di undang ke acara pernikahannya.”

Bibir Hushea membulat. “Acaranya di taman paling ujung, langsung ke sana aja.”

Pria berpakaian serba hitam itu mengangguk. “Sekali lagi saya minta maaf, dan terima kasih. Saya permisi.” Ia berjalan menuju tempat acara pernikahan sang target, sesaat ia menoleh—memperhatikan Hushea yang berjalan berlawanan arah dengan terburu-buru. Pria berkuncir satu itu langsung mengeluarkan ponsel, mengirim pesan singkat pada kliennya.

 

***

 

Setelah semua proses berjalan dengan lancar dan khidmat, tamu undangan dipersilakan untuk memberikan ucapan selamat kepada Nadya dan Dion yang sudah sah menjadi suami-istri.

Pria gempal yang wajahnya bagai pinang di belah dua dengan Dion itu mendekat. “Selamat ya, akhirnya kalian resmi juga. Kakak senang sekali melihat kalian seperti ini, semoga sampai maut memisahkan, ya,” doa Deyhan dengan mata berkaca-kaca. Kakak kandung Dion itu segera memeluk sang adik, sesekali jari-jari gempalnya menyeka sudut mata yang basah.

Dion menepuk-nepuk pundak Deyhan, menenangkan sang kakak agar tidak terlalu terbawa suasana. Nadya menyodorkan tisu, tetapi kakak iparnya itu terlalu gengsi karena ketahuan menangis. Deyhan menengadah, menghapus cairan sebening kristal yang terus membasahi pipi tembemnya itu dengan jari. “Ini hanya kelilipan, biasa kalau outdoor tuh suka banyak angin kaya gini.”

Nadya melipat bibir, menahan tawa. Dion tersenyum sembari menggeleng.

“Ini hari bahagia aku, kak. Jadi enggak boleh sedih, oke,” pinta Dion sembari menepuk-nepuk pelan bahu anggota keluarga satu-satunya.

Deyhan menoleh lalu memegang tangan wanita yang sekarang sudah sah menjadi adik iparnya. “Nadya, jaga adik kesayanganku ini ya. Tolong rawat dia baik-baik, pokoknya kamu harus jaga dia. Aku enggak mau adikku ini kenapa-napa, ya.”

Dion terkekeh. “Kakak bicara apa sih? Kesannya kaya aku nanti akan kenapa-napa?” sahut Dion. Deyhan tak menyahuti, ia memandang wajah adik kecilnya yang kini sudah dewasa. Lalu kembali memeluknya dengan sangat erat, hingga Dion terbatuk-batuk. Memang benar kata orang, hal tersedih di dunia ini selain ditinggalkan orang tua adalah ditinggal saudara menikah. Rasanya seperti kehilangan separuh napas.

Wanita berkulit eksotis yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin model duyung itu melengkungkan bibirnya seindah mawar merekah. “Pasti, Kak Deyhan. Aku sama Dion akan selalu bersama, dan kita akan saling menjaga,” balas Nadya sembari menatap wajah suami tercintanya.

Deyhan menepuk pundak Dion lalu turun, kembali berbaur dengan tamu undangan yang sedang asik berswafoto dan mengobrol.

“Aku jadi iri sama kamu,” celetuk Nadya sembari mengerucutkan bibir.

Dion mengernyit. “Kenapa?

Nadya menyentuh kedua pipi Dion dengan sangat lembut. “Kamu punya kakak yang sayang banget sama kamu. Aku jadi ....” Perkataan Nadya terhenti saat benda kenyal berwarna merah milik Dion membungkamnya.

Nadya langsung memegang bibirnya dengan pipi bersemu. “Dion, kamu ....”

Dion mendekatkan wajahnya, lalu berbisik, “Kamu enggak perlu iri, mulai sekarang dan seterusnya aku akan memberikan banyak cinta dan kasih sayang untuk kamu. Hanya untuk kamu, Nyonya Dion Subagja.” Ia pun memeluk lalu mengecup puncak kepala sang istri.

Canda tawa menghiasi suasana pernikahan Nadya dan Dion yang sederhana, namun terasa intim dan hangat.

Satu per satu tamu menyalami Nadya dan Dion. Mereka memberikan ucapan selamat dan doa untuk pasangan pengantin baru itu. Nadya menoleh ke kanan lalu kiri, ia mencari keberadaan Hushea, yang sedari tadi tak terlihat. Namun, saat Nadya ingin mencari sahabatnya, Dion menahan langkahnya karena pria berdasi kupu-kupu sudah berdiri di tengah panggung dengan tangan memegang microphone.

“Untuk acara selanjutnya, pelemparan buket bunga oleh pengantin wanita. Kami persilakan untuk maju, lalu berdiri membelakangi tamu undangan. Setelah itu lemparkan buket bunganya, ya,” ucap sang MC.

“Kita selesaikan acara ini dulu, baru kita cari Hushea,” bisik Dion. Nadya mengangguk setuju.

Beberapa wanita serta pria lajang saling berebut posisi, mereka ingin berada di barisan terdepan. Berharap saat Nadya melempar, mereka akan langsung menangkap buket cantik yang didominasi mawar merah, bunga favorit Nadya.

Suara nyaring penuh semangat sang MC memberi tanda para tamu undangan untuk bersiap-siap.

Nadya melempar buket bunga ke arah tamu yang terlihat sangat antusias untuk berebut, saking antusiasnya mereka seperti anak kecil. Tak peduli lagi penampilan, yang terpenting bisa mendapatkan buket bunga pengantin yang dipercaya bisa membuat mereka cepat menyusul seperti Nadya dan Dion.

“Aku dapat bunganya!” teriak kegirangan wanita bertubuh mungil, yang terlihat sangat seksi dengan dress maroon di atas lutut. Tangannya mengacung-acungkan buket bunga yang sedikit rusak akibat perebutan sengit dengan tamu lainnya.

MC ikut bertepuk tangan, dan bersorak-sorai. “Selamat kepada ....”

“Rosena!” sambar wanita bertubuh mungil sembari menyugar rambut kuning jagung yang sedikit berantakan.

“Selamat kepada, Mbak Rosena. Semoga bisa langsung menyusul seperti Mbak Nadya dan Mas Dion, kita tunggu undangan pernikahannya, Mbak. Jangan lupa calling-calling saya ya buat MC, hehehe,” canda pembawa acara agar mencairkan suasana yang tegang sehabis perebutan sengit itu.

Perkataan sang MC disahuti dengan tepuk tangan, dan lirikan kesal beberapa wanita lajang yang mengharapkan buket bunga Nadya.

Rosena mengacungkan buket bunga ke seluruh tamu, lalu ke hadapan Dion sembari menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.

Mata Dion melebar saat sosok yang tak ingin dilihatnya malah datang dan mendapatkan buket bunga pengantin. Ia melonggarkan dasi sembari mengalihkan pandangannya ke tamu lain. Lalu meneguk air kemasan saat pelayan berompi lewat di hadapannya.

Rosena kembali duduk dengan santai, mengambil gelas berisi sirup yang baru dibawakan pelayan. Ia memandangi buket bunga yang berada di tangan kiri.

 

Tersenyumlah, selagi kamu bisa, ucap Rosena dalam hati.

 

***