cover landing

Candid

By Idha Febriana


Prolog

Srak.... Srak....

Suara rumput terinjak membuat seorang gadis semakin gugup. Malam ini mencekam, entah mengapa gadis itu merasa tidak tenang. Jalanan menuju rumahnya memang melewati area persawahan yang minim penerangan, sementara angkutan umum hanya sampai di ujung jalan besar. Hari ini dia terpaksa pulang cukup malam karena harus menyelesaikan sebuah urusan.

Beberapa kali gadis itu tampak menoleh ke belakang. Sesosok bayangan hitam tampak menjulang di belakangnya. Gadis itu membelalak, lalu buru-buru berbalik dan melanjutkan langkah dengan cepat. Semakin lama langkahnya semakin lebar hingga nyaris berlari. Untuk alasan yang tidak dia ketahui, gadis itu merasa sosok bertudung yang berjalan agak jauh di belakang itu tengah mengikuti dirinya.

Dipicu rasa takut dan panik, gadis itu mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya. Lampu layar ponsel menyala dan menerangi wajah gadis itu samar-samar. Ada bekas air mata di pipi gadis itu. Gurat sedih bercampur dengan raut ketakutan terlihat jelas di matanya. Dengan gusar, dia menelepon kontak teratas yang ada di daftar panggilannya.

“Halo,” sapa suara di seberang, terdengar mengantuk.

“Cand, tolongin aku. Ada orang yang kayaknya ngikutin aku sejak turun dari angkot tadi.” Suara gadis itu bergetar.

Sosok di belakangnya semakin mendekat. Gadis itu baru saja akan mengatakan sesuatu di telepon saat tiba-tiba kakinya terantuk. Ponselnya terlempar entah ke mana, sementara tubuhnya jatuh terjungkal. Gadis itu meringis merasakan perih di lututnya, tapi tidak lama. Sebelum sempat dia melihat luka di lututnya dengan lebih saksama, sosok yang mengikutinya tadi tiba-tiba sudah menerjang.

“Si-siapa ka-kamu?”

Sosok itu mendesis saat melihat ekspresi ketakutan di wajah gadis itu yang tidak terlalu kentara karena minimnya pencahayaan. Tangannya dengan cekatan mengalungkan seutas tali di leher gadis yang ada di bawah kendalinya. Gadis itu meronta, tangannya berusaha mendorong sosok yang menindihnya, tapi sia-sia. Tenaganya nyaris tidak bisa dibandingkan dengan tenaga sosok bertudung itu.

Jerat tali di leher gadis itu mengencang. Si gadis ingin menjerit, tapi suaranya tertelan kembali di kerongkongan dan keluar seperti cicitan tikus. Saat tidak bisa melepaskan tali yang menjerat lehernya, tangan gadis itu menggapai-gapai berusaha melepaskan masker yang menutup wajah sosok di hadapannya. Napasnya terengah seiring semakin kencangnya jeratan, rasa panas dan perih dari lehernya mulai menjalar hingga ke wajah.

Tangannya yang terulur ke atas perlahan jatuh lemas bersamaan dengan napas yang terakhir kali diembuskan. Kaki yang tadinya berontak, seketika berhenti. Sementara sosok di atasnya belum ingin berhenti. Dia terus menjerat leher gadis yang sudah tak bernyawa itu hingga puas.

***

Mayat si gadis dibiarkan tetap pada posisinya. Sosok bertudung itu bahkan tidak melepas tali yang masih terjerat di leher si gadis. Sosok itu lantas mengelurkan beberapa benda dari tas ranselnya. Sambil menyenandungkan sebuah lagu anak-anak, sosok itu mulai mengatur benda-benda di sekeliling mayat si gadis.

“Nina Bobo, oh, Nina Bobo.... Kalau tidak bobo, nanti dibunuh.”

Sosok itu lalu terkikik geli mendengar senandungnya sendiri. Hati-hati, dia mengeluarkan kamera dari tas khusus yang juga dimasukkan ke dalam ransel. Setelah memastikan posisi mayat dan benda-benda yang mengelilinginya tepat dan fotogenic, sosok itu membidikkan kamera dan memotret mayat itu. Sinar blitz beberapa kali tampak menyala di tengah kegelapan area persawahan itu.

*


 

1

 

Gatta mendecak beberapa kali. Tangannya yang terbungkus sarung tangan dengan cekatan mengumpulkan semua barang bukti yang sepertinya memang sengaja ditinggalkan di lokasi kejadian. Sementara itu, tim forensik tengah memeriksa keadaan mayat yang tampak masih segar. Mayat seorang gadis berusia awal dua puluhan, masih mengenakan pakaian lengkap—yang bahkan sama sekali tidak terkoyak. Di tubuhnya tidak ditemukan luka bekas perlawanan. Hanya ada satu luka di leher dan kemungkinan besar itulah penyebab kematiannya.

Waktu kematiannya baru tadi malam, Gatta sudah mengonfirmasikan hal itu kepada petugas forensik yang datang bersamanya pagi tadi. Dompet, laptop, dan semua barang di dalam tasnya masih utuh. Meruntuhkan semua spekulasi Gatta bahwa gadis itu merupakan korban begal atau perampokan.

Lagi pula, keadaan TKP terlalu rapi untuk sebuah kasus perampokan. Seutas kabel telepon masih melingkar di leher gadis itu. Beberapa barang bukti juga ditata rapi di sekelilingnya. Sementara, ekspresi terkejut, ketakutan, dan kesakitan masih jelas tergambar di wajah pucat dengan mata membelalak dan mulut sedikit membuka. Sampai petugas forensik memindahkan mayat itu ke dalam kantong untuk dibawa ke rumah sakit dan diautopsi, Gatta masih tak habis pikir. Apa sebenarnya motif pembunuhan itu? Kenapa sang pembunuh seperti sengaja meninggalkan semua bukti di TKP? Satu hal lagi yang membuat Gatta mengernyitkan dahi.

Sebuah foto yang terselip di genggaman tangan korban.

Foto itu merupakan foto korban dengan salah seorang gadis kenalan Gatta. Oh, bukan kenalan lebih tepatnya. Gatta mengenal ayah gadis itu. AKP Tito Sadewo, atasannya di satuan. Dari Tito, Gatta mengenal gadis itu. Namanya Alivea Matahari. Nama yang hangat, meski setiap kali berhadapan dengan Gatta, gadis itu selalu tak acuh dan membuang muka.

“Kami menemukan ponsel!”

Seruan tim pencari membuat Gatta tergeragap. Lelaki itu tertegun, sejak kapan dia melamun? Buru-buru dia bangkit dan menghampiri tim pencari yang memutuskan untuk turun ke sawah demi menemukan lebih banyak barang bukti.

“Sayang sekali, ponselnya mati,” ujar Pak Harno, ketua tim pencari, sembari mengelap ponsel dengan sebuah kain untuk membersihkan lumpur yang menempel. Lelaki paruh baya itu lantas menyerahkan ponsel yang sudah bersih kepada Gatta.

Gatta menerimanya dengan sigap. Sambil memasukkan ponsel itu ke dalam kantong barang bukti, dia menanggapi ucapan Pak Harno, “Nggak apa-apa, Pak. Nanti bisa minta tolong tim cyber buat memindai kartunya.”

Pak Harno melepas sarung tangannya yang berlumpur, lalu menepuk pundak Gatta. “Sing sabar, Le*.” Tangan lelaki itu kemudian merangkul pundak Gatta dan mengajaknya beranjak dari pinggir sawah. (*Yang sabar, Nak.)

Gatta tidak mengerti apa maksud Pak Harno menyuruhnya bersabar. Dia ingin bertanya, tapi gengsi. Masa iya, lulusan terbaik akademi kepolisian tidak bisa mengerti bahasa kode seperti itu? Eh, Gatta meralat pemikirannya, itu bukan bahasa kode. Pak Harno bukan orang yang suka berbicara menggunakan bahasa kode seperti AKP Tito. Itu semacam... kalimat penenang? Pak Harno tahu kasus ini bakal panjang? Karena itu dia menyuruh Gatta bersabar? Gatta tak begitu yakin dengan pemikirannya kali ini.

“Kasus ini nggak akan mudah, kamu pasti ngerti.” Seperti membaca kegelisahan di wajah Gatta, Pak Harno memutuskan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. “Apalagi melibatkan anak Komandan. Kita nggak tahu apa Komandan mengizinkan anaknya diperiksa sebagai saksi terkait barang bukti foto itu atau tidak. Kalau nggak ya, sudah. Wassalam.”

Sejak awal sebenarnya Gatta sudah curiga. Kenapa kasus pembunuhan serumit ini diberikan kepada Inspektur Dua sepertinya. Para senior memilih berada di belakangnya, membantu mem-back up jika ada masalah. Alasan terlalu banyak kasus yang belum selesai sebenarnya tidak cukup masuk akal untuk Gatta. Dia justru merasa, karena para senior tahu kasus ini akan berhubungan dengan anak AKP Tito, jadi dirinya yang terpilih untuk menjalankan tugas investigasi.

Karena dia memang terkenal dekat dengan AKP Tito.

Pasti menurut mereka, dia akan dengan mudah membuat AKP Tito mengizinkan Alive diperiksa sebagai saksi. Padahal Gatta sendiri sangsi. Urusan izin tentu mudah saja, tapi urusan berhadapan dengan Alive yang sulit.

Lebih dari dua kali pertemuan tidak sengajanya dengan gadis itu, selalu berakhir tidak mengenakkan. Pertemuan pertama: Gatta menyapa Alive karena merasa perlu berbasa-basi dengan anak atasannya. Hasilnya: Alive sama sekali tidak mengacuhkan dirinya. Yang kedua, dia sengaja tidak menyapa Alive lebih dulu. Eh, malah gadis itu mengadu pada ayahnya kalau Gatta sudah berlaku tidak sopan. Yang terakhir, Gatta berusaha ramah, tidak menganggap serius semua omongan Alive, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun. Namun, gadis itu malah menyebutnya sebagai penjilat.

Gatta sudah tak ingin berjumpa lagi dengan gadis itu. Dia nyaris bersumpah dalam hati. Sekarang, saat dia harus melakukan investigasi yang melibatkan Alive di dalamnya, Gatta bersyukur belum mengucapkan sumpah itu.

***

Seperti yang sudah Gatta perkirakan, meminta izin Tito untuk memeriksa Alive terkait bukti foto yang ditemukan di TKP adalah perkara gampang. Setelah memeriksa semua bukti yang disodorkan, Tito segera saja memerintahkan sekretaris divisi untuk mengeluarkan surat pemanggilan saksi ditujukan untuk Alive.

“Komandan yakin Alive mau datang?” tanya Gatta gamang.

Tito tersenyum tipis. “Mau taruhan?”

“Tolonglah, Ndan. Ini kasus berat, jangan sampai pangkat saya diturunkan karena tidak becus melakukan investigasi.” Gatta memelas. Yang sebenarnya, dia sebal sekali dengan atasannya itu. Pria di hadapannya adalah tipe orang yang paling tidak bisa serius bahkan dalam situasi genting. Padahal Gatta sudah ingin menyelesaikan semua urusannya hari ini lalu pulang dan makan malam di rumah dengan tenang. Nyatanya, dia tetap harus makan malam di kantor dengan sebungkus nasi Padang dari restoran seberang kantor.

“Dia pasti datang. Aku yang akan kasihkan suratnya, kon tenang ae*. Urusan Alive itu urusanku.” Tito terkekeh. (*Kamu tenang aja.)

Gatta mendecak. “Ya sudah kalau Komandan yang njamin. Saya serahkan urusan Alive ke Komandan.” Lelaki itu menyerah. Dia lalu menghempaskan tubuh lelahnya di kursi kayu yang berhadapan dengan Tito.

Di kepalanya berseliweran berbagai macam spekulasi. Pertanyaan-pertanyaan yang tadi diajukan Tito saat mereka berdiskusi ikut berjejalan masuk. Semua pertanyaan itu mengerucut pada satu pertanyaan besar.

Kalau memang korban adalah teman dekat Alive, mungkinkah pembunuhnya juga berada di dekat mereka? Apa motifnya?

“Gimana kalau ternyata yang diincar si pembunuh ini Alive?”

Satu kalimat yang meluncur dari mulut Tito membuat mata Gatta yang tadinya terpejam seketika membuka. Di hadapannya, Tito tengah menunduk menatap foto dalam kantong barang bukti itu lekat-lekat. Ekspresi Alive dalam foto itu tampak sangat bahagia, begitu juga dengan gadis di sampingnya. Gatta tahu nama gadis itu, karena kartu identitasnya juga ditemukan di TKP. Namun, untuk menyebut namanya, Gatta ragu. Dia juga merasa tidak etis.

“Sangat mungkin kalau sasaran sebenarnya adalah Alive. Motifnya bisa macam-macam. Bisa jadi orang yang benci sama aku.”

“Ndan, tolong jangan berpikir macam-macam di tengah situasi seperti ini.” Gatta buru-buru menyela sebelum Tito kembali melanjutkan kalimatnya yang melantur. “Kita tidak boleh lengah dan melibatkan perasaan pribadi.”

Tito mengerjap, lalu tertawa. “Kon koyo wong tuwek ae, Ta.*” (*Kamu kayak orangtua aja,Ta.)

Gatta meringis sambil menyentuh tengkuk dengan tangan kirinya. Tito sedang bersiap-siap saat Pak Beta—sekretaris divisi—menyerahkan surat pemanggilan saksi untuk Alive. Sambil mengucapkan terima kasih, Tito menerima surat itu kemudian memeriksanya sejenak. Setelah memastikan semua komponen surat itu benar dan sesuai, komandan polisi itu lantas melipat kertas surat tersebut menjadi tiga bagian.

Tanpa diminta, Gatta mengambilkan sebuah amplop cokelat panjang yang terletak di tumpukan dekat dengan dirinya. Tito hanya tersenyum saat menerima amplop itu dari tangan Gatta. Tidak mudah menyembunyikan gelisah, Gatta mengerti itu saat melihat ekspresi gusar yang tersirat dalam pancaran mata atasannya. Tentu komandannya itu merasa khawatir. Putri semata wayangnya akan dipanggil untuk diperiksa di kantor polisi. Kendati hanya sebagai saksi, tak lantas meluruhkan kekhawatiran seorang ayah.

Maka, ketika melihat Tito memasukkan amplop itu ke dalam tas kerjanya, Gatta berdiri. “Kalau memang Komandan nggak yakin bisa ngasihin surat itu ke Alive, biar saya aja yang ngantar, Ndan.”

Tawarannya itu hanya berbalas senyum tipis. “Kalau kamu yang ngantar, yakin Alive mau nerima?”

Gatta ingin menjawab, tapi kemudian sadar, dia tak memiliki jawaban positif untuk pertanyaan itu.

***