cover landing

Cabik: The Story of Nightmare

By hitamcemani


Oleh: Reza Agustin

cw // kekerasan, pembunuhan

Saya mengingat betul mimpi itu seolah sudah tertanam di otak secara permanen. Tentang seseorang—yang tidak saya ketahui laki-laki atau perempuan—bertubuh cukup gempal. Figurnya masih sedikit buram, tapi bukan sosok itu yang menarik perhatian. Melainkan segumpal daging yang dientas dari kuali besar lantas dicincang hingga halus menggunakan pisau daging besar.

Daging yang masih berasap itu dipotong kecil-kecil, lalu dari potongan kecil-kecil itu kembali dipotong kecil-kecil lagi, hingga berubah menjadi cacahan daging yang lembut. Pisau dagingnya yang masih berjejak sisa-sisa daging menggeser cacahan itu ke baskom besar. Lalu proses mengentas, mencincang, dan memindahkan daging terus berulang.

Seonggok daging, cincang, geser, seonggok, daging, cincang, geser, jari-jari manusia, cincang, geser, lalu bunyi yang tercipta dari pisau yang beradu dengan telenan kayu itu berhenti. Untuk sesaat, saya tidak dapat menarik napas. Mata sosok gempal itu mencuri seluruh napas saya. Tatapannya dalam, bengis, dan berhasrat ingin menjadikan saya bagian dari kuali yang tengah mengepul itu.

Ketika pisau dagingnya dilempar ke arah saya, saat itulah saya terbangun di atas kasur tipis. Tubuh lengket karena keringat dan napas yang satu-satu. Lalu bunyi pisau dan telenan itu kembali terdengar. Pertanda saya terjaga di pukul tiga dini hari.

Mengintip dari jendela kosan yang agak buram, saya dapati sepasang suami istri penjual soto sedang bersiap mengatur dagangan mereka. Warung soto kaki lima mereka berdiri di sebuah gang sempit, berjejelan dengan rumah warga. Orang-orang memanggil mereka dengan sebutan Pak Sup dan Bu Sup. Entah nama si suami itu Supri atau Supar, yang jelas orang-orang di gang sempit ini telah memanggil mereka demikian sejak belasan tahun lalu.

Semangkuk soto sederhana yang dilengkapi dengan berbagai macam gorengan dan sate jeroan adalah satu-satunya menu andalan pasangan suami istri tersebut. Biar pun didirikan di atas lahan yang tidak strategis dan sering kali menimbulkan banyak kemacetan, tapi tidak satu pun orang dapat mengusir warung soto kaki lima Pak Sup dan Bu Sup.

Rasa sotonya khas, kuah yang kuning ,tetapi segar. Tidak meninggalkan rasa berat di lidah seperti kebanyakan soto kuah kuning di luar gang sana. Pak Sup dan Bu Sup juga tidak pelit-pelit memberikan daging. Bahkan bisa dibilang, taburan dagingnya yang selalu ekstra dan segar menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Saya sering menyaksikan beberapa stasiun televisi meliput, juga para pembuat konten video digital yang memberikan ulasan tentang soto tersebut di laman media sosial saya.

Biarpun begitu, saya tidak pernah mencicipi sotonya sekali pun. Entah karena saya yang pilih-pilih makanan atau karena terlalu berhemat agar uang saku bertahan sampai akhir bulan. Orang-orang sering meledek saya karena tidak pernah mencicipi soto mereka. Harga per porsinya murah, keterlaluan kalau saya tidak pernah beli. Itu kata mereka, tapi saya berpuas diri dengan makan nasi sekali sehari dan sisanya makan kerupuk atau roti kering.

***

Siang itu ketika saya dalam perjalanan pulang dari kampus, seorang wanita tua mencegat langkah saya. Ditunjukkannya selembar selebaran orang hilang. Tentu saya tidak pernah melihatnya. Hari-hari saya dilalui seputaran kampus dan kamar indekos yang pengap.

“Ini anak laki-laki saya. Udah hilang dua minggu, orangnya agak linglung. Kalah pas nyaleg, kalau ketemu tolong kabari saya, ya. Tolong saya, Nduk.”

Di selebaran itu, tercetak foto pria kisaran usia empat puluh, berkepala plontos, dan mengenakan kaus warna merah berlogo salah satu partai politik. Terkalung di lehernya, seutas benang berbandul tulang hewan yang saya yakini sebuah jimat—yang tidak memenangkannya di pemilihan legislatif tentunya. Saya abai. Kertas selebaran itu masuk ke ransel, akan saya pakai untuk coret-coretan di indekos saja.

Saya berpapasan dengan Pak Sup dan Bu Sup di perjalanan pulang, mereka tengah mendorong gerobaknya. Keduanya tersenyum ramah. Namun, saya urung membalas, karena mendapati seutas benang berbandul tulang hewan terlilit di tangan Bu Sup. Serta kain lusuh warna merah yang terselip di celana Pak Sup sebagai kaus politik yang saya lihat di selebaran.

Karena perjumpaan singkat tersebut, intensitas mimpi aneh saya menjadi berlipat. Di sela-sela jam kuliah yang membosankan, bersujud di rakaat terakhir, terkadang ketika menantikan bus, saya bisa tidur di waktu-waktu itu. Umumnya saya tidak mudah ketiduran, sehingga saya merasakan hal yang tidak beres ketika mimpi aneh itu berubah. Durasinya lebih lama, latarnya berkembang, dan banyak potongan cerita baru yang mengejutkan.

Awalnya pisau daging itu terlempar ke arah saya, tapi pisau itu hanya melewati tubuh transparan saya dan berakhir menancap pada sebuah kepala. Pria yang hilang dalam selebaran itu. Tidak hanya di sana, saya dibawa ke sebuah gang-gang yang lebih sempit dan kumuh. Aroma yang menguar di selokannya lebih menyengat.

Dinding-dinding seng di kanan kiri dihiasi selebaran orang hilang. Lalu bunyi decitan roda yang seret dan napas berat melewati tubuh saya. Itu Pak Sup yang baru saja belanja. Sekantung besar daging diletakkan di gerobak. Ada sisa-sisa darah yang menempel di plastik. Juga sepasang mata yang mengintip dari celah-celah sobekannya.

Mata berhiaskan tahi lalat besar di sudutnya, persis dengan poster wanita hilang yang terpasang di seng-seng di sana. Pak Sup berhenti sebentar ketika mendapati wajah wanita yang berada dalam plastiknya ternyata juga tertempel di selebaran orang hilang. Ia tersenyum lebar setelah menyilang poster itu menggunakan darah yang tercecer dari plastik.

Sebuah bunyi gebrakan keras terdengar dari belakang, lalu seorang waria menjerit-jerit dengan suara laki-lakinya ketika Bu Sup mendaratkan sebuah kapak di perutnya. Bu Sup seperti kehilangan dirinya ketika berkali-kali menggepuk tubuh jangkung itu menggunakan palu. Pak Sup di belakangnya tidak banyak bereaksi, justru mengebulkan asap rokok.

“Tahu gitu, biar tadi orangnya tak pake dulu, Bu.”

“Cangkemmu (mulutmu) itu! Orang-orang pasti jijik kalo makan soto ada bekas persetubuhannya!”

Mimpi-mimpi itu meneror saya tiap malam, selalu tiap bangun tidur, tidak sengaja ketiduran, sehabis salat, ketika bosan, dan muncul tiba-tiba. Karena mimpi itu terus-terusan menghantui, banyak hal yang terlewatkan. Tugas-tugas saya, lingkaran pertemanan saya, bahkan untuk makan saja pun tidak bisa. Mual hebat akan datang jika teringat mimpi-mimpi buruk itu.

Apalagi, saya masih sering mendapati pasangan suami istri penjual soto gila itu di depan indekos setiap hari. Suara rebusan kuah yang mendidih, memotong daging atau tomat di atas telenan, suara rakus pelanggan yang tidak sadar dijadikan kanibal. Suara-suara itu memaksa saya memuntahkan isi perut yang tidak seberapa.

Saya sudah tidak tahan lagi! Malam ini saya berpamitan dengan ibu indekos saya, lalu mengemasi beberapa barang penting untuk dibawa pergi. Ada teman baik yang menawarkan kamarnya dipakai sebentar. Ada juga beberapa yang menawarkan pekerjaan paruh waktu di gerai, sehingga ketika tutup tokonya bisa dipakai tidur.

Ini jalan terbaik, saya dapat terhindar dari mimpi-mimpi buruk itu dan pasangan suami istri psikopat. Sembari melipat pakaian, saya bersenandung, lalu kantuk itu datang. Ketika membuka mata, mimpi menyebalkan itu kembali datang. Tapi kali ini latarnya telah berubah, di kamar indekos saya, dan semuanya terasa begitu nyata.

Pisau daging itu terlempar ke arah saya.