cover landing

Buku Nikah

By Pikadita


“Mas Praya ayo kita nikah!” ucap Vey dengan nada tinggi dan emosional, di hari pernikahan Adit—adik biologisnya.

Kalimat itu terucap usai foto bersama keluarga Natawiharja di atas pelaminan. Orang-orang yang mendengar perkataan Vey pun menghentikan aktivitasnya secara tiba-tiba. Jika tidak cekatan, Budhe Saski pasti sudah terjungkal akibat berhenti mendadak saat menuruni tangga pelaminan. Kedua orang tua Vey mematung dalam keadaan sedang bersalaman dengan salah seorang kerabat di tempatnya. Sang fotografer yang barusan mengarahkan gaya pun melongo. Ia lupa pada tugas utamanya, yaitu mengabadikan momen sakral sekali seumur hidup. Tak hanya fotografer, Sang MC yang baru saja dibisiki rekannya mengenai kejadian tersebut pun ikut-ikutan syok. Ia memberikan kode tak jelas kepada pengiring musik. Entah untuk mengganti lagu atau malah menghentikan lagu? Pengiring musik celingukan.

Awalnya Praya sebagai objek utama hanya mematung. Sepersekian detik kemudian ia menatap Vey dengan tatapan tajamnya. Vey mengulangi pertanyaannya, kali ini agak berbisik. “Mau, Mas?”

Setelah itu Praya mengangguk dan berkata, “Oke. Kapan?” Sang MC mengangkat tinggi-tinggi tangannya ke arah pengiring musik agar berhenti sejenak dan mengganti ke lagu yang lebih lembut. MC hampir kehilangan arah. Untungnya dia adalah seorang MC profesional. Ia pun bertanya pada ayah Vey. “Bagaimana Pak Brata? Anak sulungnya mau sekalian dinikahkan aja enggak nih?” seloroh sang MC.

Budhe Saski sambil menyincing jarik yang membebat bagian bawah tubuhnya pun langsung menghampiri Vey tergopoh-gopoh. Ia menggenggam lengan gadis mungil itu sambil berbisik di telinganya. “Kamu ngomong apa barusan?” Lalu tatapannya berpindah pada Praya yang berdiri tepat di sebelah Vey. “Terus kamu Praya ... bukannya bulan depan kamu mau nikah sama pacar kamu yang baru kamu kenalin ke budhe bulan lalu?” Budhe Saski memelotot. Bibir merahnya mengerucut. Kini Vey dan Praya mencuri perhatian para tamu undangan. Mereka ingin tahu kelanjutan lamaran kilat yang dilakukan para cicit Almarhum Kakek Natawiharja.

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Perbuatan Vey barusan juga karena tersulut omongan Budhe Saski. Wanita itu terkenal dengan ketajaman kata-katanya. Siapa yang tahan dengan nyinyiran-nya yang membuat telinga panas? Beberapa saat yang lalu, Budhe Saski mulai menyalakan api itu. “Vey, Adit saja udah nikah. Kok kamu mau dilangkahin sama adik laki-laki. Emangnya sesusah itu ya cari calon suami, Vey? Kamu itu cantik loh. Jangan terlalu pilih-pilih lah. Udah 30 tahun, tar keburu keriput,” cerocos Budhe Saski sebelum naik ke pelaminan untuk foto bersama dengan pengantin. Sebenarnya omongan seperti itu tidak hanya tercetus dari mulut Budhe Saski. Tapi wanita itu yang paling greget menyindir Vey.

“Nanti keburu expired, Vey.” Budhe Saski mempertegas perkataannya sebelum Vey sempat melontarkan kalimat balasan. Gadis itu hanya bisa merasakan peredaran darah di tubuhnya berdesir kencang. Saking kencangnya, pasti sudah terjadi kebocoran di mana-mana hingga telapak tangannya mengepal kuat. Ditambah lagi para kerabat mendukung statement Budhe Saski dengan caranya masing-masing. Ada yang mengangguk, ada yang mengiakan, ada yang menunjuk-nunjuk ke arah Vey, ada yang mengangguk sambil tersedak es dawet asli Banjarnegara, ada yang kipas-kipas, bahkan ada yang tidak tahu apa-apa dipaksa setuju dengan Budhe Saski—kalau yang ini sih keponakan Vey yang baru lima tahun. Kejam kan Budhe Saski?

“Gimana Vey? Kamu harus cepat-cepat ngenalin seseorang ke budhe? Biar nyusul adikmu itu loh,” desak Budhe Saski lagi sambil mengunyah siomay saus kacang yang masih tersisa di mulut. Vey hanya bisa tersenyum menghadapi ujian kesabaran itu sambil melonggarkan kepalan tangannya. Exhale, inhale. Meskipun didiamkan, Budhe Saski tetap semakin jadi. Kalau ditanggapi apalagi. Jadi lebih baik diam, bertahan jadi bulan-bulanan.

Lalu tiba saat MC memanggil keluarga besar Natawiharja untuk berfoto dengan pengantin. Budhe Saski langsung menggamit lengan Vey sambil berjalan menuju pelaminan. “Lihat tuh Papih sama Mamih kamu.” Budhe Saski menunjuk orang tuanya yang sedang menyalami beberapa tamu undangan. “Senyum mereka belum genap kalau kamu belum nikah.” Vey hampir memuntahkan nasi gudeg yang ia makan tadi. Tahan ... tahan sehari ini saja, batinnya.

Setelah selesai berfoto dengan pengantin, Budhe Saski berulah lagi. “Ayo Vey, aku kenalin sama cowok di kantor budhe ya? Ganteng, mapan—”

Boom!!! Vey gelap mata. Secara acak ia pun melamar orang yang berdiri di sebelahnya. Entah inisiatif macam apa itu. Kebetulan orangnya adalah Praya, sepupu jauhnya. Lelaki dewasa baik hati yang punya banyak stok sabar. Kalau lelaki itu bicara, perempuan mana pun yang mendengar suaranya akan langsung merasa aman dan nyaman. Postur tubuhnya tinggi dengan berat ideal, kulit kuning langsat, rajin mencukur wajah, Praya adalah definisi pria yang makin tua makin hot. Normalnya ia jadi idaman para wanita. Namun, selama ini Vey hanya menganggapnya sepupu, saudara, atau yang paling dekat seperti kakak sendiri. Tidak pernah lebih.

Setelah mengajukan lamaran random itu, semua mata tertuju pada Vey dan Praya.

“Vey ... kamu ngomong opo tho, Nduk?” Mamih sudah berdiri di depan anak perempuan kesayangannya itu sambil menggenggam kedua tangan Vey.

Budhe Saski merangkul Vey dan Praya untuk meninggalkan pelaminan agar orang yang sedang mengantre untuk berfoto bisa naik ke panggung. “Udah ... udah kita ngomong di bawah aja, yuk,” usul Budhe Saski. Setelah itu ia menghadap kedua orang tua Vey. “Biar Saski yang handle,” ucapnya penuh percaya diri.

Wanita itu pun setengah menyeret Vey turun dari panggung. Namun, Vey menolak. Ia menyerobot mikrofon yang dipegang MC profesional dan berkata, “Pih, Mih, Mas Praya bilang mau nikah sama aku!” Tatapan mata Vey beralih dari kedua orang tuanya ke Praya yang terus memperhatikannya dengan tatapan heran. Vey menyengir sambil memastikan hal itu pada, Praya. “Iya kan, Mas?”

Sang pengantin diam-diam bertepuk tangan menyaksikan kegilaan yang kakaknya timbulkan.