cover landing

Bringing The Bodyguard to My Bed

By Mei Shin Manalu


Suara musik mengentak dan mengisi seluruh ruangan. Berisik mungkin bukanlah kata yang cukup untuk mendeskripsikan bagaimana musik itu memekikkan telinga orang-orang yang ada di sana. Ironisnya, tidak ada satu pun yang mau meninggalkan tempat itu. Mereka justru semakin terlena menari-nari di bawah pancaran sinar lampu yang sedikit remang dan berwarna-warni.

 

Alessandra Quinn datang ke tempat itu. Dengan terburu-buru, ia mencari teman-temannya di tengah lautan manusia yang berjumlah puluhan orang. Ketemu! Seru Alessandra di dalam hatinya. Akhirnya, wanita itu bisa menemukan teman-temannya.

 

“Maaf, maaf! Tadi ada pemotretan!” ucap Alessandra begitu ia menghampiri ketiga temannya. Sebelum mendapatkan protes dari orang-orang di depannya itu, Alessandra buru-buru menawarkan sesuatu sebagai bentuk permintaan maaf. “Tagihan hari ini biar aku saja yang bayar,” katanya.

 

Berhasil. Wajah teman-teman Alessandra yang tadi ibarat kumpulan macan kelaparan, berubah bak anjing-anjing yang sedang mencari perhatian tuannya. Dasar! Seberapa kaya pun mereka tetap saja suka hal-hal yang gratis. Seandainya kelakuan ini diketahui oleh wartawan, sudah pasti karier ketiga temannya itu akan tercoreng.

 

Salah satu teman Alessandra menatap wajah wanita itu penuh arti. “Pemotretan atau pemotretan?” ujarnya sarkastis.

 

Ia bernama Indira. Salah satu yang paling cerewet dalam lingkar pertemanan Alessandra. Kemampuannya mencari informasi di kalangan pesohor bisa dikatakan melebihi kemampuan para wartawan di industri hiburan. Itulah yang membuatnya tampak mengerikan sebagai seorang model.

 

“Pemotretan sialan!” Alessandra menarik kursi dan duduk di atasnya sambil meletakkan tas selempangnya yang bernilai puluhan juta rupiah dengan seenaknya di atas meja. Ia berbicara lagi, “dengan seorang pria yang viral karena makan cabai.”

 

Wanita itu masih ingat bagaimana kejadian tadi di mana ‘si pria pemakan cabai’ itu merusak mood seluruh staf usai menumpahkan segelas kopi ke atas pakaian yang harusnya mereka gunakan sebagai bahan pemotretan. Berkatnya, waktu pemotretan pun bertambah satu hari.

 

Itulah sebabnya Alessandra tidak suka bekerja sama dengan para amatiran, terlebih dengan orang-orang yang tenar mendadak di media sosial. Jika bukan karena kontrak yang sudah telanjur ditandatangani, ia tidak akan pernah mau ikut dalam pemotretan hari ini.

 

“Apa yang dia lakukan? Menciummu? Menyentuh bokongmu? Atau jangan-jangan kalian sudah—”

 

“Sudah bertengkar!” ucap Alessandra menyela perkataan Citra, temannya yang lain yang duduk tepat di depan kursinya. “Nyaris saja aku marah-marah tadi. Pekerjaanku sudah banyak dan dia malah menambahkannya dengan pekerjaan yang tidak perlu!” Alessandra tidak bisa menyembunyikan wajah kesalnya.

 

“Hati-hati, Alessandra. Jangan terlalu membencinya, atau nanti kau malah jatuh hati padanya,” ujar Indira menimpali.

 

“Basi. Aku tidak percaya hal seperti itu kecuali jika benar-benar terjadi pada pria itu.” Alessandra menerawang jauh. ‘Pria itu’ dalam kalimatnya bukan ia tujukan kepada ‘si pemakan cabai’, tapi pada seorang pria yang tidak akan pernah bisa ia sentuh meski ia sudah menunjukkan wajah cantiknya berkali-kali. “Apa ini minumanku?” tanya wanita itu setelah melihat segelas minuman yang tidak tersentuh berada di tengah-tengah meja.

 

Long island iced tea lengkap dengan racun mematikan,” canda Indira seraya meneguk minuman dari gelasnya sendiri.

 

Alessandra tertawa menyeringai. Ia mengambil gelas kaca yang berisi koktail dengan perpaduan vodka, rum, gin dan beberapa bahan lainnya itu. “Aku suka hal-hal berbahaya dan menantang,” balasnya. Alessandra mendekatkan gelas ke bibirnya, kemudian meneguknya hingga minuman keras itu tandas. “Ah, segar sekali. Terima kasih, racunnya membuat tenggorokanku menjadi lebih baik.”

 

“Bagaimana kalau kita bermain? Seperti biasa, truth or dare,” usul Litani. Berbeda dengan kedua teman Alessandra yang lain, Litani ini termasuk model yang baru debut lima tahun lalu, tetapi sudah sudah memiliki banyak sekali penggemar. Maklum, wajahnya yang polos dan imut itu sering sekali menipu para lelaki yang menjadi penggemarnya.

 

“Ayo, pakai botol ini saja.” Tangan lentik Alessandra mengambil botol minuman kosong yang ada di atas meja. Ia tidak peduli botol tandas itu milik siapa. “Aku mulai!”

 

“Wow! Hari ini kau benar-benar sedang kesal rupanya!” sahut Citra. Menurutnya, perbuatan Alessandra hari ini cukup aneh. Karena biasanya, wanita itu tidak suka bermain permainan yang mengharuskan pemainnya memilih antara kejujuran atau tantangan tersebut.

 

Bukan tanpa sebab Alessandra sering menolak bermain. Bagi orang lain, permainan ini mungkin terbilang biasa, namun bagi Alessandra, permainan ini adalah permainan setan. Ia paling benci jika mulut botol mengarah padanya hingga ia harus memilih mengungkapkan kehidupan pribadinya atau melakukan tantangan yang diberikan oleh teman-temannya.

 

Perlu diingat, dalam lingkar pertemanan mereka, meskipun hanya permainan, tidak boleh ada satu orang pun yang mengutarakan kebohongan. Jika ketahuan berbohong, perkumpulan mereka akan bubar. Orang yang berbohong itu akan dikeluarkan secara paksa dari hubungan pertemanan mereka dan mendapatkan konsekuensi yang sangat mengerikan.

 

Dan memilih tantangan juga bukanlah hal yang mudah. Keempatnya dikenal sebagai orang-orang yang gila jika memberikan tantangan. Mulai dari menghabiskan bergelas-gelas alkohol dalam satu malam, bahkan sampai mengambil ikat pinggang seorang pelayan laki-laki sudah pernah mereka lakukan.  Terlebih saat dalam keadaan mabuk yang membuat level tantangan mereka semakin tak terkendali.

 

Akan tetapi, sekarang, ketakutan-ketakutan itu tidak muncul di benak Alessandra. Dengan berani, ia memutar botol yang ada di tangannya. “Mulai!” serunya antusias.

 

Botol tersebut berputar kencang, kemudian perlahan-lahan melambat. Berulang kali mulut botol mengarah ke Alessandra lalu melewatinya, membuat jantung wanita itu berdebar tidak karuan. Ini gila! Dibandingkan menunggu pengumuman lolos sebagai model belasan tahun lalu, permainan ini jauh lebih mendebarkan. Mungkin karena ia tidak berharap mulut botol itu mengarah padanya yang membuatnya harus melakukan hal-hal konyol.

 

Sialnya, putaran botol itu berhenti dan moncongnya menghadap ke arah Alessandra hingga wanita itu tidak bisa mengelak. Ia hanya bisa meneguk minuman kerasnya yang baru beberapa detik terisi sebelum menghadapi kenyataan.

 

Truth!” ujar Alessandra sembari meletakkan gelasnya dengan kasar di atas meja. “Katakan, apa yang harus aku ungkapkan malam ini?”

 

“Mudah sekali. Kau hanya perlu jujur pada kami. Kau tidak punya pacar ‘kan?” tanya Indira memastikan. Kemampuan jurnalistik gosipnya tiba-tiba bekerja sekarang.

 

Pacar? Lagi? Kenapa hampir setiap saat Alessandra mengambil pilihan truth selalu saja masalah itu yang diungkit oleh teman-temannya? Hanya karena mereka sudah memiliki kekasih dari kalangan pengusaha kaya raya, apa sekarang mereka menganggapnya tidak bisa mendapatkan hal yang sama? Konyol sekali!

 

 “Aku punya!” jawab Alessandra dengan lantang.

 

Litani yang merasa tertarik, menimpali ucapan Alessandra. “Benarkah? Siapa?” Tatapan matanya begitu tajam seolah tidak percaya ucapan Alessandra.

 

Siapa? Alessandra tidak tahu. Ia memang sempat mempunyai kekasih, namun bukan kekasih sesungguhnya. Hanya seorang pria yang merengek padanya agar diberikan status sebagai kekasih. Itu pun sudah lama sekali, sekitar dua tahun yang lalu.

 

Dasar mulut sialan! Alessandra menyesalinya. Kenapa ia berbohong? Bukankah lebih mudah mengatakan kalau ia tidak punya kekasih? Sayangnya, Alessandra tidak bisa menarik ucapannya kembali atau ia akan diejek sebagai penipu oleh teman-temannya. Itu bukan sekadar perundungan biasa di kalangan para model, tapi perundungan yang bisa membahayakan kariernya.

 

Sekali lagi, Alessandra meneguk minuman keras yang ada di atas meja, hal yang biasa ia lakukan saat gugup. “Dia ... iya, pria itu!” kata Alessandra sambil menunjuk sembarang. “Kalian tahu, kami bahkan akan menikah sebentar lagi,” imbuhnya tanpa tahu jari telunjuk berhias cincin permata itu sedang mengarah ke mana.

 

“Kau akan menikah dengannya? Dengan dia? Apa kau bercanda? Bukankah itu Romi, yang sering bersama Pak Oliver itu ‘kan?”

 

“Iya benar,” celetuk Alessandra membenarkan ucapan Indira. “Aku akan segera menikah dengannya. Iya, aku akan menikah dengan … APA? ROMI?”

 

Wanita itu terbelalak bukan main. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah jari telunjuknya. Itu memang Romi Leaman. Berkali-kali pun ia berusaha untuk mengusap-usap matanya agar pandangannya jernih, ia tetap melihat sosok Romi sedang duduk beberapa belas meter darinya. Apa yang dilakukan laki-laki itu di tempat seperti ini?

 

“Kau bohong ‘kan? Tidak mungkin Romi tiba-tiba mau menjadi suamimu!” tantang Citra yang paling berani di antara mereka.

 

Alessandra sebenarnya sedikit panik karena takut ketahuan berbohong, tapi ia tidak bisa mundur lagi. “Aku tidak bohong! Akan aku buktikan kalau Romi itu adalah calon suamiku!” balas Alessandra.

 

Pria itu tidak sendirian. Tepat di sebelahnya ada pria lain yang sedang menikmati minuman kerasnya. Namun, Alessandra tidak menyerah, bahkan saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata Romi, ia tak gentar. Alessandra meneguk lagi minumannya sebelum bangkit dari kursi. Saat ia berjalan, pemandangan sekitarnya masih sama seperti pertama ia tiba di kelab itu. Yang berubah hanyalah tempo musik yang kian cepat. Mungkin untuk memanaskan orang-orang yang ada di lantai dansa.

 

Alessandra merasakan tatapan Romi yang begitu tajam seperti seekor singa yang sedang mengintai buruannya. Begitu mengintimidasi. Romi benar-benar membuat kepala Alessandra sakit. Padahal wanita itu baru meneguk tiga gelas minuman kerasnya, tidak lebih seperti yang biasa ia lakukan saat berada di kelab malam.

 

Detik demi detik berlalu dan Alessandra kini sudah berada di samping Romi.  Awalnya ia berbisik, menyampaikan beberapa kalimat seperti sebuah racauan. Lalu, ia menarik kerah Romi dan menekankan bibirnya ke bibir pria itu.

 

Kesadaran Alessandra berada di ambang batas. Ini begitu memabukkan. Bukan hanya karena tubuh Romi berbau enak, tapi juga karena bibir pria itu yang terasa panas di bibirnya. Ciuman itu mengalir ke seluruh tubuhnya seperti sebuah sengatan listrik.

 

Alessandra tidak ingat bahwa ini ia lakukan untuk membuktikan hubungannya dengan Romi sehingga ia harus segera menghentikannya. Sayangnya, bibir Romi terlalu nikmat untuk dilepaskan. Saat pria itu membuka mulut untuk memprotes, Alessandra cepat-cepat menyusupkan lidahnya ke dalam hingga ia bisa merasakan wiski yang baru saja diteguk oleh pria itu.

 

Aroma alkohol yang bercampur dengan wangi musk dari tubuh Romi mengirimkan sensasi menyenangkan bagi Alessandra, meski tanpa mendapatkan balasan apa pun dari Romi. Respons pasif Romi tidak membuat Alessandra menyerah, ia terus memagut bibir pria itu dengan gerakan yang lebih sensual.