“Jadi gimana, Nin? Lo mau bantuin gue nggak?” tanya pria bertubuh jenjang itu setengah memohon kepada Nina agar mau mengajarinya materi Kimdas 1.
“Emang lo ngulang?”
“Ya iyalah … nggak mungkin gue lolos mata kuliahnya Pak Kahfi!”
Nina menggigit bibir bawahnya lembut. Sebelah tangannya menggaruk pelipis mata, sembari berpikir. “Hmm … oke, deh. Kalau besok, bisa?”
“Yah … jangan besok dong. Soalnya gue udah ada acara,” balas pria itu dengan wajah lesu. “Sabtu aja deh. Gimana?”
Pria itu Naren, cinta pertama Nina.
Kembali ke satu tahun lalu, di hari pertama ospek Universitas Dwingga. Nina dan Naren datang terlambat dan berakhir dihukum oleh kakak tingkat. Ospek yang dikenal sebagai masa pengenalan kampus berubah menjadi ajang perpeloncoan mahasiswa baru. Para senior bertingkah seperti manusia paling berkuasa, paling banyak tahu, dan paling banyak pengalaman. Datang terlambat seolah-olah menjadi kesalahan besar yang wajib diberi hukuman berat. Push up dan berkeliling lapangan basket sebanyak sepuluh kali.
Nina tidak akan pernah melupakan kejadian pagi menjelang siang pada hari itu. Hari di mana ia hampir saja pingsan karena tak sanggup lagi untuk berlari mengelilingi lapangan utama kampus.
Baru saja menyelesaikan empat putaran, Nina sudah menyerah.
“Ya udah, kamu duduk pinggir lapangan dulu. Tapi besok ke sini lagi sebelum masuk barisan, ya! Lanjutin enam putaran lapangannya!” Begitu kata kakak tingkat memperingati.
Nina bergeming, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ini sangat konyol, mana ada sih hukuman pake dicicil segala!
“Interupsi, Kak. Saya Narendra Dwi Wardhana bersedia menggantikan hukuman Shanina Putri sebanyak enam putaran lapangan!” Pria jangkung yang tingginya kira-kira lebih 180 cm itu berteriak lantang. Tubuhnya berdiri tegap, memandang lurus tanpa ada keraguan. Terlihat berani atau mungkin sok jagoan, tetapi yang dilakukannya terlihat manis di mata Nina.
Kalau ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, mungkin benar demikian. Nina telah jatuh cinta sejak kali pertama bertemu. Namun, terkadang, kenyataan tidak seindah apa yang kita bayangkan. Perasaan Nina bertepuk sebelah tangan. Naren tidak pernah punya perasaan lebih padanya, melainkan pada orang lain.
“Oh gitu. Acara keluarga, ya?” tanya Nina lagi. Wajahnya terlihat gelisah melihat jam yang melingkar di tangannya. Mata kuliah Menggambar Teknik akan segera dimulai.
Naren menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan, tapi sama Karina. Besok dia ngajakin gue nonton. Tumben banget, kan? Lo tahu sendiri kalau Karina itu super sibuk. Dan nggak mungkin gue batalin ajakannya gitu saja. Nanti susah lagi dapet waktu yang pas.”
Karina adalah cewek yang Naren sukai. Dia mahasiswa Fakultas ISIP, sekaligus teman sekolah Nina di SMA. Karina gadis yang nyaris sempurna. Cantik, baik hati, populer, berbakat akting, dan memiliki public speaking yang baik. Karina selalu menjadi pusat perhatian. Segala yang ada padanya terlihat sempurna dan apa yang ia pakai akan selalu menjadi trend banyak orang.
“Ayo dong, Nin, Please bantuin gue. Soalnya dua minggu lagi udah musim kuis. Nanti gue traktir deh. Lo tinggal sebut aja mau apa. Ya, ya, ya?”
“Iya … ya udah, deh,” jawab Nina setengah hati. Sebenarnya ia jadi merasa bersalah pada adiknya, Liam. Memasuki semester tiga, kegiatan perkuliahan dan organisasi membuat waktunya banyak tersita. Nina lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada di rumah. Bahkan kadang di hari Sabtu dan Minggu ia masih harus ke kampus untuk mengerjakan laporan praktikum atau latihan padus.
“Thank you, Nin!” Naren tersenyum lebar.
“Sama-sama. Eh, tapi lo cuma ngulang Kimdas aja, kan?”
Naren mengangguk pelan. “Iya … mata kuliah yang lain aman kok. Cuma mata kuliah Pak Kahfi aja gue dapet D. Ya … lo tau sendirilah kalau gue paling nggak bisa Kimia?”
“Nah … ini sih yang masih jadi misteri sampai sekarang. Lo nggak bisa Kimia, tapi kenapa milih masuk jurusan Teknik Kimia yang jelas-jelas pasti ada Kimia-nya coba?”
Belum sempat menjawab, mobil sedan berwarna hitam masuk ke dalam parkiran Fakultas Teknik Kimia. Mobil itu melewati Nina dan Naren yang sedang mengobrol. Meskipun tempat parkiran masih luas, pengemudi sedan itu memarkirkan mobilnya di samping mereka.
Ekspresi wajah Naren langsung berubah datar. Sudut mata tajamnya melirik Dhio yang baru saja keluar dari mobil sedan hitam itu. Sementara Dhio keluar dengan wajah yang tak kalah datar. Dia terus berjalan masuk ke arah gedung fakultas tanpa menghiraukan keberadaan Nina dan Naren yang masih memperhatikannya. Jangankan menyapa, melirik saja tidak.
Meskipun hubungan mereka kakak-adik, keduanya terlihat sebagai orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Mungkin kalau wajah mereka tidak pernah berada di televisi, semua orang tidak akan pernah tahu bahwa mereka bersaudara.
Dhio dan Naren adalah anak dari pengusaha terkenal asal Indonesia bernama Arya Wardhana. Perusahaan beliau bergerak di bidang konstruksi dan tambang. Istrinya merupakan ketua yayasan pendidikan yang sering melakukan kegiatan amal. Pemberitaan kedua pasangan itu yang selalu positif di media, menjadikan mereka role model masyarakat tanah air.
“Ya udah ... kalau gitu fix hari Sabtu, ya!”
“Oke!” Nina mengangkat jempol tangannya. “Eh, udah dulu, ya, Ren. Gue mau masuk kelas dulu. Tiga menit lagi mau mulai.”
“Eh, iya. Sori, sori. Gih sana buruan lari, keburu telat masuk kelas nanti.”
Nina mengangguk, lalu berlari masuk ke gedung fakultas. Hari ini kelas Menggambar Teknik berada di Gedung C. Jaraknya lumayan jauh, dekat taman jejeran pohon besar yang berhadapan dengan sekre unit.
Kisah mistis seolah-olah sudah menjadi budaya masyarakat kita. Saat malam terakhir ospek jurusan, kakak tingkat menceritakan kejadian horor di sekitaran kampus. Mereka bilang bahwa setiap ruangan memiliki penghuninya sendiri. Sebagai makhluk yang eksistensinya kasatmata, mereka juga punya pusat kerajaan. Pusat kerajaan mahluk halus penunggu kampus diyakini berada di jejeran pohon besar depan sekre unit, yang berarti bersebelahan dengan Gedung C yang akan ia kunjungi.
Sebenarnya Nina percaya tidak percaya dengan hal gaib, tetapi cerita-cerita seram itu selalu menghantui pikirannya. Sampai-sampai bulu kuduknya merinding.
Melewati Gedung B yang merupakan tempat praktikum, pikirannya mulai tenang. Lumayan banyak mahasiswa yang berkerumun untuk sekadar mengobrol atau berdiskusi, apalagi di dekat sana terdapat taman belajar yang menghadap air mancur.
Memasuki Gedung C, Nina terus berjalan melewati koridor demi koridor. Ia berjalan makin cepat agar tidak terlambat. Namun, makin jauh ke belakang, suasana koridor makin sepi. Tidak terlihat satu orang pun yang lewat sini.
Gedung C memang sepi karena letaknya paling ujung. Para Dosen juga lebih suka mengajar di Gedung A karena bangunannya baru selesai di renovasi dan dekat dengan parkiran. Bahkan para mahasiswa yang ikut UKM pun lebih memilih lewat dari belakang gerbang daripada harus melewati gedung Tekkim.
Kisah penghuni kampus kembali terngiang di kepala, membuat langkah kaki Nina makin lebar dan makin cepat. Sampai suatu ketika, suara bersin yang lumayan keras membuat pundaknya kaget dan langkahnya terbirit.
Bug!
Sebuah benda hitam baru saja melayang dan menghantam tembok. Kamera Sony PXW warna hitam milik seseorang itu melayang, lalu membentur tembok dengan kencang hingga menimbulkan suara lumayan kencang.
Bentuk kamera itu masih utuh. Tidak ada serpihan badan kamera yang hancur atau patah. Namun, Nina tidak yakin di dalamnya baik-baik saja.
Mampus gue! rutuk Nina pada dirinya sendiri. Ini semua karena ketakutan berlebihan. Ia jadi tidak hati-hati. Merasa bersalah, Nina pun menoleh pada pria yang tidak sengaja ditabraknya untuk meminta maaf.
Menyadari sosok yang ia tabrak adalah Dhio, bola mata Nina refleks membulat kaget sekaligus berkaca-kaca. Tubuhnya membeku, menelan ludah saja rasanya sulit. Bodoh banget sih, gue!
Dhio menatap Nina dengan wajah datar, lalu kembali memberikan atensinya pada kamera yang ia pegang. Raut wajah Dhio tidak terlihat marah, tetapi juga tidak terlihat baik-baik saja.
Dengan langkah gemetar, Nina menghampiri Dhio sambil berkata, “Kak, maafin saya, Kak.” Suaranya bergetar seperti ingin menangis. Ia bahkan sudah tidak peduli kalau terlambat masuk kelas dan dihukum.
Dhio masih fokus memperhatikan kamera tanpa menjawab permintaan maaf Nina. Tangannya dengan cekatan mengotak-atik tombol serta mengusap bagian layar kamera.
“Sekali lagi Maaf, Kak. Apa ada yang lecet … atau rusak?” Nina masih terus mengoceh, berharap pria itu membalasnya. Jika memang rusak, gadis itu siap mengganti segala kerugian, meskipun harus merendahkan harga dirinya di hadapan ibunya untuk meminta uang. Harga kamera itu pasti tidak murah. Menjual ponsel dan laptopnya saja mungkin dananya masih kurang.
“Nggak apa-apa kok.”
“Hah?” Mata Nina membulat kaget. Di sisi lain, ia juga bersyukur kalau kamera itu tidak rusak.
“Iya, kameranya nggak apa-apa kok,” jawab Dhio yang masih menatap layar kamera depan miliknya. Kemudian tersenyum pendek mendapati wajah Nina yang sudah pucat pasi.
“Be-beneran nggak apa-apa, Kak?”
Dhio mengangguk pelan. “Iya. Beneran.”
"Syukurlah!” Nina menghela napas lega sembari memegang dadanya yang lemas.
“Hmm … ya udah. Gih sana masuk kelas. Nanti telat lho masuk Gamteknya.”
“Hah?”
Kak Dhio tekekeh pelan ketika mendapati ekspresi Nina yang tidak bisa. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan menuju arah sekre unit, meninggalkan Nina yang masih bengong mematung di belokan koridor Gedung C. Kok dia tahu, ya?