cover landing

Bila Takdir Ditulis Kembali

By Shella Novia


Meski diam-diam menyukai pemandangan Rex yang berdiri di belakang kompor dapur apartemenku pada pagi hari, aku tetap tak setuju kebiasaannya berkeliaran tanpa atasan yang melindungi tubuhnya seperti itu. Melihat tubuh kurus nyaris tanpa lekukan otot yang berarti itu membuatku lagi-lagi diingatkan berapa umur laki-laki itu sebenarnya. Berapa selisih usia yang membentang di antara kami.

Rex berpaling dari wajan yang menebarkan aroma gurih ketika mendengar kaki kursi yang menggerus lantai.

“Selamat pagi!” desisnya.

Aku mengedikkan bahu seadanya. Masih terlalu pagi untuk memprotes kebiasaan buruknya itu

“Aku bikin semur jamur. Enggak ada apa-apa lagi di kulkas. Kamu nggak apa-apa, kan, sarapan semur jamur?”

“Nggak apa-apa.”

Asal itu masakan Rex, maka jawabannya akan selalu tak masalah.

“Atau mau aku panggangin roti aja? Kamu ada selai, kan? Aku lupa ngecek tadi. Sebentar aku lihat dulu.” Rex melewatiku dalam langkah panjang-panjang. Menuju kulkas dua pintu di ujung ruangan dan segera merunduk di sana.

“Tolong lihatin semurnya, Sayang! Takut kekeringan.”

Kalau begitu kenapa tak ia suruh aku saja yang mencari selai di kulkas? Tapi, perhatian Rex pagi ini membuatku menelan kembali seluruh protes dan sinisme. Sesuai intruksinya, aku menghampiri kompor, mengacak-acak potongan jamur yang melemas di dalam kuah kecoklatan, wanginya membunyikan musik keroncongan di perutku.

Rex adalah jenis orang yang memanifestasikan kasih sayang ke dalam tindakan, bukannya kata-kata. Satu-satunya bahasa kasih yang dikenal Rex adalah perbuatan. Membuatkanku sarapan, memasakkan bubur ketika aku jatuh sakit, mengganti kompresku yang demam semalaman, dan tindakan-tindakan kecil sarat kasih sayang lainnya.

Satu yang menurutku paling mengagumkan, he makes it looks so easy.

Rex tak mengeluh meski aku selalu lupa menyetok bahan makanan di kulkas tiap akhir bulan. Ia akan mengambil bahan apa pun yang tersisa di sana lalu menyulapnya menjadi hidangan yang lezat. Berani taruhan, semur jamur ini pun pasti akan membuatku menambah nasi dua kali. Kalau benar-benar sudah tak ada lagi yang bisa diolah dari kulkasku, Rex akan memesan makanan dari luar, lagi-lagi tanpa keluhan, tanpa menyinggung keteledoranku sebab ia mengerti kesibukanku lebih dari siapa pun.

Rex tak pernah marah meski aku sering lupa takaran gula dalam kopinya. Ia akan mengangkat lagi cangkirnya ke pantri, menambahkan gula dan mengaduknya sendiri hingga ia mendapatkan rasa yang presisi. Ia membersihkan apartemenku, membawa mobilku ke tempat cucian, menjemput baju-bajuku dari tempat laundry ketika ia punya cukup waktu luang. Tanpa kusuruh, tanpa memintaku melakukan hal yang sama untuknya. Seolah-olah itu semua hal yang lumrah dan mudah.

Tapi, pengalaman dan serentetan kegagalan berkencan memberi tahuku bahwa itu semua tak mudah. Apalagi, bagi laki-laki yang baru akan berulang tahun ke dua puluh dua.

“Selainya udah berubah tekstur. Kita sarapan ini saja, ya?” Bisikan Rex menyapu telinga. Kedua tangannya melingkariku perutku. Bisepnya yang tak seberapa menggesek kedua bahu. Anehnya, seluruh perpaduan itu justru terasa tepat.

“Kan aku udah bilang, enggak masalah.”

Tubuh Rex makin lekat dengan punggungku. Aroma semur yang wangi ini mendadak memiliki saingan; feromon yang menguar dari tubuh Rex. Sesuatu terasa ganjil. Tubuh kami sudah tak berjarak, tetapi aku tak merasakan tonjolan yang selama ini telah begitu akrab. Bukan berarti aku mengharapkannya. Lagipula, tak akan ada waktu untuk membantu Rex dan bagian dirinya itu. Tapi, ini masih pagi dan semua lelaki seharusnya begitu.

Itu, hanya berarti satu hal.  “Ada masalah, Rex?”

Gigi seri Rex menancap di bahuku yang hanya dilindungi seuntai tali spageti. Ia tak pernah suka aku memanggilnya dengan nama. Baginya, itu hanya membawa kenangan saat-saat dulu aku memanggilnya T-rex. Nyatanya, memang sulit mengubah kebiasaan selama lebih dari dua puluh tahun dengan status baru yang masih berjalan satu tahun.

Aku nyaris mengerang.

“Kamu ada masalah, Sayang?”

Rex menahan bahuku yang hendak memutar. “Kita bicarakan setelah makan ya.”

Kuturuti kemauannya. Rex mengelap pantri dengan serbet dan mengangkat nasi dari rice cooker. Aku memindahkan semur yang telah matang ke dalam mangkuk besar. Menunggu Rex menyiapkan piring, kupindahkan beberapa peralatan kotor ke dalam sink.

Kami makan dalam diam, selalu dalam diam. Sebab, Rex lahir dan tumbuh dari keluarga jawa yang masih terafiliasi—aku yakin ada istilah lain yang lebih tepat—dengan keluarga Kesultanan. Maka, dengan nilai-nilai kejawen juga lah Rex dibesarkan. Dengan mata kelabu yang menghanyutkan dan tinggi seratus delapan puluh senti itu, orang-orang barangkali akan terkecoh. Mereka-reka Rex sebagai anak dari pasangan blasteran yang tumbuh dalam pengasuhan penuh kebebasan.

Rex memang lahir dari seorang Ibu asli suku Jawa dan seorang ayah berkewarganegaraan Polandia. Kukira, gen suku Jawa dan Kaukasian berbagi ruang sama rata di dalam tubuh Rex. Sebab Rex tidak tinggi besar—hanya tinggi, cenderung kurus. Matanya kelabu, tetapi rambutnya hitam legam dengan ikal yang selalu melawan arah ke mana ia disisir. Kulitnya putih, tetapi tidak pucat dan akan segera menggelap di bawah terik matahari.

Sejak kami masih tinggal bersebelahan dan menjalankan peran sebagai tetangga untuk satu sama lain dulu, aku tahu Rex terbiasa menyalimi orang tuanya saat pulang dan pergi dari rumah. Ia makan dalam diam, dalam gerak yang pelan baik saat menyuap maupun mengunyah, hampir-hampir tak menimbulkan suara apa pun. Itu membuatnya terlihat anggun. Anggun yang memukau. Anggun yang tampan.

Awal-awal berkencan dulu. Ini terasa sulit. Bagaimana aku harus menahan dongkol sebab pertanyaanku sering kali hanya dijawab seadanya ketika kami makan malam bersama. Bagaimana ia tak pernah menunjukkan gestur-gestur manis seperti menyuapi atau mengelap noda di ujung bibirku.

“Boleh aku minta sesuatu dari kamu, Raras? Satu kesepakatan aja. Aku enggak suka diganggu—termasuk diajak ngobrol, waktu makan.”

“Terus apa bedanya sama kita makan sendiri-sendiri kalau gitu?” protesku kala itu.

Namun, lambat laun aku mengerti bahwa segala sesuatu ada harganya. Kurasa menyaksikan Rex yang makan dengan anggun, mendapatkan limpahan perhatian yang sangat banyak sampai-sampai aku tak tahu bagaimana harus mengembalikannya dengan setara, merupakan harga yang sepadan dengan permintaan Rex. Maka aku sepakat dengan satu syarat; aku boleh menyuapinya saat ingin.

Rex mendorong piringnya yang telah licin tandas. “Ibuku nyuruh nikah, Yang.”

Aku tersedak air yang kuteguk dan terpatah-patah menyahuti. “Sama aku? Ibu kamu tahu soal hubungan kita? Kok bisa?”

Aku sudah melompat turun dari kursi tanpa sandaran ini. Berjalan mondar-mandir di tengah dapur seperti tiap kali aku sedang panik.

Rex menjangkau sebelah lenganku. “Bukan gitu. Sini, duduk dulu.”

“Ibuku enggak tahu soal hubungan kita. Enggak ada yang tahu, kayak yang kamu minta.”

Rex terdengar lelah dan aku tak suka caranya menatapku. “Sebentar lagi aku dua puluh dua. Ibu takut hal yang terjadi sama Mbak Kinara di umurnya yang ke-22 akan terjadi juga sama aku.”

Tanpa sadar nada bicaraku melengking. “Kamu kan nggak bisa hamil kayak Kinara, Rex.”

“Tapi aku bisa ngehamilin anak orang, dan itu yang Ibu takutkan. Dia nggak mau menanggung malu yang sama untuk kedua kali.”

Aku mendorong bahu Rex main-main. “Kan kita selalu main aman, Rex. Ibu kamu nggak perlu khawatir.”

“Serius, Yang? Kamu mau aku bilang ke ibuku untuk tenang karena anaknya ini selalu melakukannya pake pengaman?” Kedua tangan Rex terkepal di atas pantri. “Yang, ibuku taunya aku masih perjaka!”

Rex terdengar marah. Bibirnya yang merah pucat sampai bergetar. Lantas untuk siapa kemarahannya itu? Untukku? Memangnya salahku kalau dia tidak perjaka lagi? Aku juga tak suka dengan kalimatnya yang terakhir. Itu, terdengar seolah-olah bersamaku lah ia mengakhiri keperjakaannya. Padahal, kuberi tahu, ketika pertama kali Rex memanjat ke ranjangku, ia sudah terlalu serba tahu sampai-sampai aku mengira ia bukan Rex yang kukenal sebelumnya.

Namun, tak tega memprovokasi Rex saat kepalanya jatuh melunglai seperti itu. Maka, kususupkan jemari di antara ikalnya yang belum tersentuh sisir pagi ini.

“Jadi, kamu maunya kita gimana?”

“Kita tetap harus lanjut. Tapi, enggak mungkin juga kita nikah. Seenggaknya, kita harus kasih sesuatu yang bisa menenangkan Ibu. Aku harus ngenalim pacarku ke Ibu, pacar yang punya persona anak kalem, anak baik-baik, dan memegang nilai-nilai yang sama dengan yang Ibu percaya. Yang enggak akan mau diajak berhubungan badan sebelum menikah.”

Jariku membeku di kepala Rex. Jadi, ia mau membawa hubungan bawah radar kami ini ke permukaan? Aku tak rela. Kami sudah sepakat baru akan berterus terang kepada keluarga kami setelah ia sarjana. Aku sudah bersusah payah menjaga rahasia di antara kami selama satu tahun. Lagipula aku sudah gugur dari semua persyaratan yang disebutkan Rex.

“Kamu mau kita go public, Rex?” Aku melipat tangan di depan dada. Defensif. “Aku nggak mau. Lagipula, mana bisa kita mengaku nggak pernah ngapa-ngapain.”

“Bukan kamu, Ras. Kalau Ibu tahu kita pacaran, beliau juga nggak akan percaya kalau kita nggak pernah tidur bareng.”

Rex mencegahku naik pitam dengan melanjutkan. “Kamu sudah terlalu dewasa. Terlalu cantik. Ibuku tahu aku nggak seberiman itu untuk bisa menahan diri nggak nyentuh perempuan seperti kamu.”

“Lalu—”

Rex mengangguk seolah apa yang kupikirkan menyuarakan dirinya sendiri. “Aku akan bawa pacar bohongan buat ketemu Ibu.”

Aku menyingkirkan anak-anak rambut yang jatuh melemas di dahuku dengan kasar. Tiba-tiba merasa pening. “Kamu kedengeran kayak sinteron.”

Kutatap Rex sekali lagi. Mencari-cari jejak canda di antara garis-garis wajahnya yang tampan, yang lama kemudian tak kutemukan. Seluruh tatapan Rex yang membalasku hanya berkata satu hal; tak ada cara lain.

Lalu, aku teringat Tante Widuri yang baik hati, Kinara dan bayi kecilnya—yang lahir tanpa seorang ayah, dan Rex yang tiba-tiba saja dewasa dan perasa. Dengan seluruh adat istiadat dan garis keturunan, pasti tak mudah untuk keluarga mereka bangkit dari fase kehancuran itu. Baru kali ini aku benar-benar mengerti, bahwa Rex yang dewasa, perhatian, dan tabah ini tidak muncul dalam satu malam. Ia terbentuk oleh kepahitan, pengalaman yang tak ingin ia alami, dan berbagai trauma.

Rex—kekasihku yang lebih muda enam tahun ini—telah menanggung hal-hal yang belum sepatutnya ditanggung bahunya yang masih terlalu muda.

Aku meraih tengkuk Rex dan membawanya ke dalam pelukan. Merasa bersyukur dan bangga terhadapnya.

“Kamu … udah punya kandidat untuk diajak jadi pacar bohongan?” tanyaku, melawan rasa tersekat di tenggorokan.

Kurasakan gelengan Rex di pundakku.

"Kalau gitu nanti aku bantuin cari pacar bohongannya, ya?”

Rex tertawa. Aku juga tertawa. Ini terasa lucu dan pilu di saat yang sama. Seperti benci dan cinta, batas antara komedi dan tragedi seringkali memang cuma setipis kulit bawang.

“Kamu kedengaran kayak istri yang lagi mau cariin madu buat suaminya di sinetron azab.”