cover landing

Beranda Kenangan

By PutuFelisia


Yasmin

“Minggu ini, tragedi 1998 telah genap 6 tahun berlalu. Sayangnya, hingga kini belum ada perkembangan mengenai penyelidikan ….”

Rasa sesak di dada nyaris membuatku pingsan. Tanganku yang memegang skrip kini gemetaran tanpa bisa dihentikan. Di antara sekian banyak berita, mengapa mereka harus memberiku berita ini untuk dibaca?

Sesuatu seakan meninju perutku. Mataku sejenak berkunang-kunang. Dalam hati, aku mulai meragukan apakah aku bisa melanjutkan audisi ini. Apakah seorang Yasmin Wongso memang layak berada di sini?

“Yas, aku juga mengalami hal yang sama denganmu. Kuatlah, Yas. Kamu nggak sendirian. Berpegang pada kata-kata Tia ini, aku menguatkan diri untuk berdiri. Sosok gadis berambut bob itu memenuhi benakku. Dia begitu percaya keadilan hingga dia rela mati. Sedangkan aku?

“Ada apa?” komentar salah satu panelis di depanku.

“Maafkan saya, saya ….” Air mataku meluber tanpa bisa ditahan-tahan lagi. Dua pria di depanku lantas memutar mata. Hanya seorang perempuan di sana yang memandangku dengan pandangan penuh tanya.

Wanita itu adalah Salwa Shahab. Aku tidak pernah membayangkan, penyiar sehebat Salwa akan ikut menilai calon penyiar. Hingga kini, acara Sorotan Salwa selalu dinilai sebagai acara yang berkelas. Banyak politisi dan tokoh-tokoh berpengaruh hadir dalam acara itu.

“Anda tidak apa-apa, Yasmin?” kata Salwa.

Dadaku bergemuruh hebat. Ucapan Salwa ikut menarikku ke kenyataan. Aku menegakkan bahu. Kulihat Salwa dan pria di kiri dan kanannya.

Kesempatan tidak datang dua kali, kataku pada diri sendiri. Kupejamkan mata sejenak, lalu aku mengangkat skrip berita itu lagi.

“Minggu ini, tragedi 1998 telah genap 6 tahun berlalu,” aku akhirnya mengulang membaca, “sayangnya, hingga kini belum ada perkembangan mengenai penyelidikan tragedi itu. Meski ada pihak-pihak yang siap memberikan bukti, penyangkalan demi penyangkalan masih terus terjadi.”

Kata demi kata meluncur dari mulutku. Aku lega, akhirnya aku bisa menyelesaikan skrip itu, meski tidak sepenuhnya sesuai harapan. Ada satu dua kali ketika aku selip berbicara. Namun, aku bisa melanjutkannya tanpa terhenti. Aku bahkan berhasil menyunggingkan senyum terbaikku saat mengakhiri berita.

Dua pria di sisi Salwa menatapku dingin. Seorang pria berjas biru menatapku lekat-lekat, pandangan matanya terlihat aneh. Pria lain yang berkemeja garis-garis mencoret kertas di depannya seraya menggeleng-geleng.

“Kenapa Anda ingin menjadi seorang news anchor?” pertanyaan ini datang dari Salwa Shahab.

“Saya … saya …” Aku tertegun. Sekilas keraguan hadir dalam hatiku. Apakah aku layak, dan apakah aku akan dipermalukan karena masa laluku kembali datang dalam pikiranku? Kukepalkan tanganku erat-erat. Bayangan kelam masa lalu kuusir mati-matian dari benakku.

“Seorang sahabat pernah mengatakan kepada saya, ia ingin membuktikan bahwa seorang Tionghoa pun bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini.”

Kini, dua pria di sebelah Salwa kompak mengernyitkan alis. Mungkin, mereka berpikir aku sudah gila karena menegaskan identitasku.

“Ya, saya akui, saya adalah keturunan Tionghoa.” Aku menghela napas. Jantungku berdebar keras sekali.

“Sama seperti skrip yang saya bacakan tadi, Mei 1998 sudah membawa banyak dampak buruk dalam kehidupan saya,” aku melanjutkan, “saya pun pernah ingin mati karenanya. Namun, seorang teman lain memberi keberanian untuk saya. Tia—teman saya itu bahkan meninggal dalam perjuangan. Karena itulah, saya ingin meneruskan perjuangannya. Saya ingin berbuat sesuatu, untuk membuktikan bahwa kami—Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa—juga mencintai negeri ini. Kami juga merupakan bagian dari Bangsa Indonesia.”

Pria berjas di kanan Salwa langsung tergelak mendengar penjelasanku. Tapi pria berkemeja garis-garis masih menggeleng-geleng, seakan-akan sedang menganggapku mengarang-ngarang cerita.

“Anda ke mari untuk audisi, bukan untuk curhat,” cela pria berkemeja garis-garis. Pria berjas biru meringis, lalu tersenyum mengejek.

“Maafkan saya.” Hanya itu yang bisa kujawab.

Kupikir, aku gagal dalam audisi itu. Namun, Salwa menatapku sekilas, senyumannya mengembang saat dia berkata, “Saya ingin mendengar lebih banyak. Tunggu saya selesai audisi ini, ok?”

***

Sama seperti orang lain, aku pun tidak pernah mengerti … mengapa aku dilahirkan seperti ini. Atau mengapa menjadi berbeda akhirnya membawa petaka dalam hidupku. Yang kutahu, masa kecilku begitu menyenangkan. Aku hidup dalam silaturahmi dan tradisi yang saling mengisi. Tradisi ini begitu kental saat tiba perayaan tahun baru Imlek.

Waktu itu, tahun 1994. Aku pun masih duduk di bangku SMP. Aku tidak mengerti kenapa Emak suka sekali membuatkan baju renda-renda buatku. Tahun ini pun, Emak mengirim baju yang mirip-mirip. Bagian leher baju ini penuh bunga-bunga, roknya mengembang dilapis kain—entah apa—yang rasanya gatal sekali.

“Cantik!”

Aku merengut. Mama lalu memutar-mutar tubuhku di depan cermin. Beberapa kali, dia menjawil pipiku.

“Gatal!” keluhku.

“Cuma buat kionghi-kionghi, kok,” Mama mengedipkan sebelah mata, “Engkong sudah bilang, nanti dia akan bikinkan satai lilit kesukaanmu.”

Satai lilit? Wah, itu kan enak banget! Satai Engkong itu tiada duanya. Karena tidak memakai parutan kelapa, satai Engkong lembut dan manis.

Engkong hanya membuat satai di kesempatan-kesempatan khusus. Pada tahun baru, Engkong akan membakar satai pagi-pagi. Emak sendiri menyiapkan berbagai hidangan lain yang kemudian kami nikmati di beranda depot.

Bisa dibilang, Engkonglah alasanku senang menghabiskan tahun baru Imlek di Denpasar.  Keluarga Papa konon melarikan diri ke Tiongkok setelah kejadian Gestok (gerakan 30 September PKI). Jadi, Papa kemudian menghabiskan hari raya di keluarga Mama. Dekat-dekat Imlek, Papa akan memesan tiket pesawat. Dia juga akan memesan hotel tak jauh dari rumah Engkong.

Mama memutar tubuhku lagi. Setelah itu, dia membuka ritsleting belakang untuk membantuku membuka baju. Kali ini, aku mengganti bajuku dengan T-shirt dan celana bergambar Doraemon.

“Ingat, ya. Nanti waktu kionghi-kionghi, kamu pakai baju ini. Kasihan Emak, lho. Capek-capek dijahitin.”

“Oke, Ma!” sahutku riang. “Tapi, habis itu bajunya ganti, ya? Yasmin mau pakai celana pendek aja. Hihihi!”

“Dasar!”

***

Tentu, Emak gembira sekali melihatku datang. Dia memelukku erat lalu mencium pipiku.

“Mak, selamat tahun baru! Kionghi! Kionghi!” ucapku seraya menjura. Aku juga mengucapkan selamat pada iik-iik dan engku-engku (paman dan bibi dari pihak ibu). Ucapan selamat itu kemudian dibalas dengan amplop-amplop merah yang konon merupakan harapan keselamatan sekaligus supaya anak-anak cepat dewasa.

Aku berhasil menahan gatal memakai baju itu. Kelezatan masakan Emak dan satai lilit Engkong membuatku lupa akan rasa tidak nyaman. Aku mengambil satai banyak-banyak, lalu kuhabiskan semua tanpa sisa.

 Lepas makan bersama, aku tidak tahan lagi. Seperti perjanjian awal, aku melepas baju itu, lalu menggantinya dengan kaus dan celana pendek bertali. Nah, ini baru lega.

“Ah, Yasmin nggak kompak, ih!” gerutu Ayu. Anak ini juga mengenakan baju merah dengan model sedikit berbeda. Kalau rokku mengembang, rok Ayu lebih kempis. Model atasnya juga tidak terlalu heboh-heboh. Ditambah jepit bulu-bulu lucu, sepupuku itu terlihat amat manis.

“Panas, tahu!” protesku langsung. Ayu hendak maju untuk mengomel, tapi Komang—yang baju merahnya lebih mirip baju penari balet—kemudian menyela Ayu.

“Sudah, sudah. Kata Mama, tahun baru jangan banyak ngomel,” kata Komang polos, “Nanti malah sial, lho!”

Kami langsung duduk di atas tempat tidur Ku Yung. Kamar pamanku ini adalah kamar yang paling luas dan paling asyik dipakai kongko-kongko.

Ayu langsung mengeluarkan amplop-amplop dari tas kecilnya. Begitu pula dengan aku dan Komang. Beragam corak dan gambar segera terlihat dari tumpukan angpau-angpau itu. Mulai dari jeruk mandarin, anak kecil berpakaian tradisional, ikan mas, dan semua lambang tahun baru Imlek.

Kami semua langsung mengenali angpau Engkong. Seperti biasa, Engkong hanya membungkus uangnya dengan kertas minyak merah. Meski bungkusannya sederhana, isinya selalu paling banyak.

“Waaah, uang lima puluh ribuan!” Ayu langsung berteriak.

“Ini pertama kalinya saya dapat uang begini!” Komang membolak-balik uang bergambar Pak Soeharto itu dengan takjub. Kami lalu membuka amplop-amplop lain. Jika dijumlahkan, uang angpau kami bisa dipakai jajan banyak permen dan cokelat. Asyik.

Kegembiraan demi kegembiraan merayakan Imlek selalu membekas di hatiku. Aku pernah berharap, dapat mengulang kegembiraan itu. Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Aku baru tahu betapa suramnya kehidupanku sebagai keturunan Tionghoa, saat aku mulai menginjak usia remaja.

***

Waktu itu, tahun 1996. Aku sudah duduk di bangku SMA. Kehidupan SMA tidaklah sepolos kehidupan anak SMP dulu. Materi pelajaran semakin sulit. Sementara ulangan demi ulangan menjadi menu sehari-hari di sekolahku. Bahkan termasuk di tahun baru Imlek.

Papa membaca kertas di tangannya berkali-kali. Tanggalnya sudah jelas. Begitu pula dengan jam-jam ujian yang telah dipersiapkan.

“Aduh, kok bisa jadwalnya begini,” keluh Papa.

Kulihat Mama menggeleng-geleng. Aku pun ikut menggeleng-geleng karena kecewa. Jadwal ulangan umum itu segera teronggok di meja. Aku, Mama, dan Papa memandangi jadwal itu, seolah-olah bisa mengubah tulisan dengan pandangan mata.

“Biar aku yang telepon Mama,” kata Mama. Papa batal memesan tiket pesawat dan kamar hotel. Sebaliknya, dia mengabarkan guru bimbelku lewat pager (alat komunikasi zaman dulu yang penggunaannya mirip SMS pada ponsel).

Gara-gara ingat jadwal yang dibagikan kemarin, pagi ini aku masuk sekolah dengan perasaan uring-uringan. Aku kesal sekali karena harus ulangan di hari raya. Kenapa, sih … Imlek tidak dijadikan hari libur nasional seperti Natal, Nyepi, atau Idul Fitri? Kesal banget.

 “Hei, Cantik. Melamun aja!” colekan Gatot segera menyadarkanku. Kesal, aku langsung menepis tangannya. Yang benar saja, colek-colek dagu begini. Tidak sopan!

“Cina banyak gaya!” Gatot langsung menunjukku marah. “Jangan sok jual mahal, deh!”

Gatot Trenggana. Aku tidak tahu apakah hormon-hormonnya berdampak ke tindakan. Tapi, selama ini sikap Gatot begitu membuatku takut. Dari zaman orientasi, dia sudah menempel dan mengganggu. Beberapa kali, dia menugaskanku melakukan sesuatu yang aneh.

Satu ketika, dia membuka baju, lalu menyuruhku menyentuh bulu dadanya. Kakak-kakak kelas lain tertawa melihatnya mengerang dengan sikap menjijikkan. Karena inilah, aku enggan menghormati Gatot sebagai kakak kelas. Menurutku, sikapnya terlalu cabul.

Kutengok kanan dan kiri. Lorong sekolah ini masih sepi karena masih pagi. Apakah aku harus berteriak minta tolong? Tapi … tapi … Gatot memepetku di tembok. Wajahnya memang terlalu dekat hingga aku bisa melihat jejak kumis di atas mulutnya.

Menjijikkan! Bahkan napasnya bau rokok begini. Aku meringis menahan diri. Dengan menguatkan diri, aku memaksa mengumpulkan tenaga. Dibanding mulutnya yang makin mendekat ke mulutku, kakiku bergerak lebih cepat. Lututku spontan terangkat menghantam organ reproduksi Gatot keras-keras.

“Anjing!” Gatot melompat-lompat sambil mengaduh. Aku ingin segera menjauh, tapi tangan Gatot menarik lalu mencekalku.

“Aku belum selesai, Bangsat!” teriaknya marah. Dia hendak menyerangku lagi. Akan tetapi, sebuah suara kemudian menghentikan Gatot.

“Berhenti!”

Sosok Kuncoro yang tinggi dan putih terlihat mendekat ke arah kami. Sadar kalau Kuncoro merupakan salah satu atlet karate andalan sekolah, Gatot pun mundur.

“Anjing Cina! Awas kau!” Gatot menunjuk Kuncoro. Pandangan matanya terlihat mengerikan ketika dia meludah, lalu lagi-lagi meneriakkan kata anjing.

***

“Kamu tidak apa-apa?” Kuncoro menyodorkan teh padaku. Kami duduk di teras depan kelas.

“Aku tidak apa-apa,” aku menjawab lemah. Kusedot teh dari sedotan. Meski manis dan enak, hatiku berdebar mengingat kelakuan Gatot. Kelakuannya tadi pagi hanya satu di antara kekurang ajarannya yang lain. Beberapa kali, dia mencoba menyenggol dadaku. Yang menyebalkan, Gatot tinggal dekat rumahku. Jadi, kadang dia bisa datang ke rumah, lalu berpura-pura bersikap manis. Aku pernah mengancam melaporkan Gatot. Tapi, pemuda itu langsung cengengesan sambil bilang tidak akan ada yang percaya selama aku tidak punya bukti.

“Aku tidak mengerti, kenapa Gatot benci banget sama orang Cina.”

“Zhonghua (orang Tionghoa)Yas. Jangan sebut Cina (sejak awal Orde Baru, kata ‘Cina’ mulai menjadi satu alat diskriminasi ras), ralat Kuncoro, “Banyak Yinni ren (orang Indonesia) masih ingat Gestapu, Yas. Karena itu, kita harus selalu berhati-hati. Gimana pun, kita masih dianggap pendatang.”

Zhonghua, Yinni ren, huana, ah. Aku benci sebutan-sebutan ini.

“Aku bahkan belum lahir waktu Gestapu, Ko. Bagaimana mungkin, aku bisa dibenci karena peristiwa yang bahkan aku tidak tahu?”

“Aku juga gitu.” Kuncoro menyengir. Sedikit, dia menyingkapkan kemeja bagian bawahnya. Aku sempat kaget, tapi langsung mengerti waktu melihat biru-biru di bagian perut Kuncoro.

“Aku dikeroyok karena tidak mau kasih sontekan.” Kuncoro tersenyum simpul, “Kamu pernah mikir, tidak? Kalau saja kita punya kekuatan, mungkin kita bisa ubah semua ini?”

Aku mengernyitkan alis.

“Kalau aja bisa, aku ingin lakukan sesuatu buat Indonesia, buat ngebuktiin kalau Zhonghua pun mencintai negeri ini, Yas.”

“Tujuanmu mulia sekali, Ko.” Terbawa suasana, aku langsung tertawa.

“Kamu belum pernah menginjak Zhongguo (Tiongkok), kan?” kata Kuncoro.

Aku menggeleng.

“Bagaimana mungkin orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Zhongguo mereka sebut orang Cina, kan?” Dia lalu melanjutkan, “Aku juga sama denganmu, Yas. Buatku, Indonesia ini adalah tanah kelahiranku. Aku lahir di sini, tinggal di sini, tua di sini. Kelak pun aku akan mati di sini. 10 tahun. 20 tahun. 30 tahun. Sepanjang umurku, aku ingin hidup bagi negeri ini.”

Cahaya di mata Kuncoro membuat hatiku menghangat. Kobaran semangat itu tanpa sadar membuatku terhanyut.

10 tahun. 20 tahun. 30 tahun.

Sayangnya, waktu-waktu itu tidak pernah terwujud. 

***