cover landing

Bedfriend

By Ravenska Jo


"La, have fun, yuk?"

"Gue lagi dateng bulan, Yos."

Lama aku terpaku pada layar laptop yang sejak tadi tidak juga membuahkan satu alinea baru. Skripsiku mandeg di bab dua, karena ajakan Yose barusan yang menghancurkan mood baikku.

"Ga ada alesan lain, La?" Yose mulai mengecup pangkal leherku, dan meski enggan bercinta malam ini tetap saja sensasi dari sentuhan bibirnya di leherku mampu menimbulkan getaran yang aneh, "Ini masih tanggal sepuluh, lo, kan, PMS-nya akhir bulan?"

Tangan Yose semakin berani bermain, mulai dari pinggul lalu naik ke atas. "Ok-ok! Just one round. I have to finish this, Yos," kutunjuk layar laptop yang masih bergeming sejak tadi.

"Ok, just one round. Jangan minta nambah aja nanti."

Jika boleh kukatakan, sejujurnya aku jenuh mendengar ajakan have fun hampir tiap malam. Namun, entah sejak kapan aku tidak pernah bisa menolak ajakannya, meski tahu Yose hanyalah sahabatku. Entah sejak kapan sentuhannya menjadi candu yang sangat menyiksa jika tidak kudapatkan.

Maka malam itu, kami berakhir kelelahan pada pukul empat dini hari. Just one round yang tadi kami sepakati telah berlipat-lipat ganda. Bab dua skripsiku yang harus diserahkan siang ini, terbengkalai begitu saja.

"Gue tidur di sini, ya? Udah lama ga tidur sambil meluk Neng Geulis ini," rayunya sebelum ia terlelap sambil memelukku.

Asal kalian tahu saja, baru dua hari yang lalu ia tidur di kamarku, dia bisa bilang itu udah lama? Harusnya kamarnya itu disewakan saja supaya ada manfaatnya!

Mungkin kalian akan bertanya-tanya hubungan seperti apa yang kami jalani sekarang. Perlu kugaris bawahi, kami hanya sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Well, sahabat sejak kecil, sejak kami masih sama-sama bermain rumah-rumahan.

"Yos...."

"Hmm...."

"Awas dong, tangannya! Gue mau lanjut nyelesein skripsi, nih." Dengan sekuat tenaga aku berusaha memindahkan tangannya yang mendekap erat tubuhku.

"Ga mau! Gue mau meluk Neng Geulis dulu malam ini."

"Iya tapi masa depan gue nanti siang taruhannya, nih."

"Masa depan lo sama gue. Nanti gue aja yang kerja. Tugas lo tinggal anteng di rumah, masak, sama nemenin gue tiap malem," jawabnya santai.

Aku ragu ia sedang benar-benar sadar atau tidak. "I'm not your slave," omelku dengan agak sedikit kesal.

"Jelas! Lo kan, sahabat gue."

***

Keesokan siangnya di kampus. Telingaku perih dan bahkan hampir berdarah akibat terlalu lama mendengarkan omelan Prof. Karni.

"Masa menguraikan tentang komunikasi verbal dan non-verbal saja tidak bisa diselesaikan satu malam! Kamu niat sidang semester ini atau tidak, La?"

"Niat, Prof, tapi tadi malam saya harus jagain kakak saya yang sakit. Betulan, Prof, ga bohong saya." Maaf, Prof, saya bohong barusan, dari setengah jam yang lalu, sih, sebenarnya.

"Sudah-sudah, saya masih ada janji lain. Saya tidak mau tau, dua hari lagi saya minta kamu datang dengan bab dua yang sudah selesai, dan tanpa alasan kakakmu sakit lagi. Sanggup?"

Aku mengangguk ngeri.

"Buku tentang sinematografi yang kamu cari sudah ada, tapi masih dipegang asisten saya. Kamu langsung hubungi dia saja." Mendengar kabar tersebut senyumku merekah. Biar galak-galak begini, dosen pembimbingku ini tidak segan untuk mencarikan referensi buku-buku yang kubutuhkan. Sepertinya sidang skripsiku tidak akan tertunda lagi kali ini, itu pun jika Yose berhenti menghasutku untuk bobo bareng setiap malam.

"Bab duamu tidak akan selesai hanya dengan senyuman, Non." Senyumku seketika tenggelam. Dosen pembimbingku ini memang judes ternyata.

Setelah Prof pergi, ponselku berbunyi. Awalnya kukira Yose yang akan mengajak makan ketoprak sesuai dengan janjinya tadi pagi, teetapi ternyata yang masuk adalah pesan berisi nomor telepon asisten Prof. Karni.

Masih ada dua hari, aku bisa mengambil buku itu besok. Hari ini aku harus mengisi staminaku yang terkuras habis akibat tadi malam. Yoselah dalang yang harus bertanggung jawab atas perutku yang keroncongan.

Yos, di mana?

Selama beberapa menit kutunggu balasan darinya, tapi tidak kunjung ada balasan. Kutelepon dua kali pun, ia tidak menjawab. Akhirnya kutelepon Dinar, teman kantornya. Dinar bilang Yose tidak masuk kerja, bahkan sekarang sedang dicari oleh bos mereka karena ia terlambat menyerahkan revisi artikel mingguan. Ngomong-ngomong, sahabatku itu adalah seorang editor di salah satu media cetak nasional. Ngomong-ngomong lagi, ke mana perginya manusia ini?

Hanya ada satu jawaban, ia pasti sedang berada di tempat pacar pramugarinya, aku berani bertaruh. Ya sudahlah, sebagai sahabat yang baik dan pengertian, hari ini aku tidak akan mengganggu kemesraan mereka, toh nanti malam Yose akan tetap datang ke kamarku.

Sesaat aku tertegun memikirkan kata hatiku barusan, apa maksudnya toh nanti malam Yose akan tetap ke kamarku?

"Inget, La, lo itu sahabat, bukan sebatas temen bobo tiap malem, doang." Kukatakan hal tersebut pada diriku sendiri agar tidak keluar dari pakem persahabatan yang sewajarnya, meskipun sebenarnya, kami memang sudah keluar jalur sejak lama.

Sebelum pulang ke rumah, aku mampir untuk membeli ketoprak yang sudah sejak pagi kuidam-idamkan. Dua porsi, untuk aku dan Yose, jika ia sudah pulang nanti.

Rumah yang kami berdua tinggali selama masa studi adalah rumah milik keluarga Yose. Rumah satu lantai bergaya khas bangunan kolonial dengan dua kamar tidur besar ini adalah hasil pembagian harta saat orang tua Yose bercerai.

Lihat kan, betapa percayanya orang tua kami, sampai mengizinkan kami tinggal satu atap begini? Andai mereka tahu, kejadian apa saja yang telah terjadi selama kami tinggal berdua di dalam sana.

Kuintip dari jarak yang agak jauh, mobil Yose tidak ada di garasi. Berarti dugaanku tidak meleset, pacar pramugarinya sedang libur dan mereka berdua saat ini pasti sedang having fun.

"Inget, La, lo itu sahabat, ga boleh cemburu." Lagi-lagi kusugestikan diriku sendiri agar tetap berada di jalur yang seharusnya.

Sejujurnya, pikiran-pikiran menjurus ke ciri wanita sedang cemburu ini sudah kurasakan sejak beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, sejak Yose berpacaran dengan teman satu kelasnya di Jurusan Sastra Indonesia. Meskipun begitu, status sahabat kami tidak pernah berubah. Tetap menjadi sahabat, tidak bisa lebih dan tidak boleh kurang.

"HOLY SHIT!" pekikku setelah memasuki rumah. Ketoprak yang masih hangat, terlempar ke lantai begitu saja, ketika kulihat meja makan tidak difungsikan seperti seharusnya.

"Lala!" seru keduanya berbarengan. Secepat kilat si pramugari langsung menarik asal pakaian yang ada di dekatnya.

"Kalian ga ada tempat lain yang lebih wajar buat nge-sex? Kelewatan!"

Kepalaku langsung menjadi panas, emosiku meledak. Bukan hanya karena mereka melakukan hal itu di tempat yang tidak wajar, tapi juga karena Yose mengabaikan janji ketopraknya tadi pagi, hanya karena pacar pramugari tinggi semampainya itu. Aku cemburu! Cemburu seorang sahabat yang merasa diabaikan. Catat itu!

Amarah yang memuncak, membuatku langsung masuk ke dalam kamar. Aku tidak mau melihat adegan saling bantu memakaikan pakaian masing-masing oleh dua sejoli di ruang makan itu. Masa bodo dengan mereka! Masa bodo juga dengan ketoprak yang berhamburan di lantai! Itu tugas Yose untuk membersihkan lalu membelikan yang baru!

"La?" Yose mengetuk pintu kamarku, perlahan kepalanya muncul dari balik pintu. "La, marah?"

Aku bergeming.

"Dia udah gue suruh pulang kok, La," lanjutnya lagi. Akan tetapi, aku tetap bergeming.

"Udahan ya marahannya?" Yose mendekat untuk menenangkanku, tetapi kutepis tangannya dengan kasar sebelum ia meraih pipiku.

"Ga lagi-lagi deh, ngajak dia ke sini. Tapi beneran, La, dia udah gue suruh pulang. Hus…hus…" Yose menirukan gerakan mengusir ayam.

"Bukan itu masalahnya, bego!"

"Lo cemburu, ya?" tanya Yose hati-hati.

"Ga usah kepedean." Teman-teman maaf kalau aku jadi seperti remaja labil yang sedang mencari perhatian kekasihnya. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku.

"Terus apa, dong? Maaf, La, ga lagi-lagi. Sumpah, deh."

Dimaafin. Dalam hati aku menjawab, tetapi masih gengsi untuk mengutarakannya.

"Atau gue putusin aja dia, ya? Gue telepon dulu!" Yose mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Pantas saja panggilanku dari tadi tidak dijawab, ternyata ponselnya ada di dalam celana, dan celananya tadi sedang tersampir asal di atas kursi. Great, Yose.

"Ga usah!"

"Duh, cewek kalo ngambek gini amat, ya? Terus gue mesti gimana dong, La? Lo kan, jarang-jarang ngambek gini, gue belum ahli jinakinnya."

"Lo pikir gue hewan buas?!" Emosiku kembali memuncak, yang untungnya tidak separah tadi.

"Ya, terus gimana supaya lo berenti ngambek? Kalo lo suruh gue untuk putusin dia, gue putusin sekarang, nih."

"Ketoprak gue udah ga bisa dimakan, Yose…ngantrinya lama banget tadi." Lagi-lagi aku berbohong. Hari ini sudah dua orang yang kubohongi.

"Ya astaga, gue kira marah kenapa. Oke, tunggu bentar, gue beli ketoprak dulu." Yose segera bergegas mengambil dompet di kamarnya, ia tidak sadar kalau sekarang masih bertelanjang dada.

"Idiot! Pake baju dulu kalo mau keluar!" seruku dari dalam kamar sebelum ia keluar rumah dan dianggap gila oleh para tetangga.

Untuk saat ini tolong jangan menghakimiku. Karena aku juga tidak mengerti cemburu seperti apa yang sedang kurasakan sekarang. Mungkin kecemburuan seorang sahabat, mungkin juga tidak. Mungkin karena melihat pria yang biasanya menyentuhku malah menyentuh wanita lain, mungkin juga benar karena ketoprak.

"Inget, La, lo sama Yose itu sahabat, ga boleh baper-baperan,” gumamku sekali lagi.

***

Ketoprak datang diiringi dengan cengiran tanpa dosa dari manusia berotak minim itu. Ia mengambil piring di dapur, lalu segera menyantap sebungkus ketoprak miliknya. Meski ingin sekali kupukul kepalanya karena tidak menghidangkan piring untukku, tapi aku lebih memilih ketoprak dan perutku yang kelaparan. Biarkan aku fokus pada perutku dulu, lalu setelah itu akan kuberi pelajaran si gila di hadapanku ini.

"Cewek gue marah, La." Yose berkata di sela-sela suapannya. 

"Bagi dikit, dong!" Ia merebut sisa-sisa ketoprak di piringku, padahal beberapa menit lalu ia baru menghabiskan dua porsi.

"Itu perut apa gentong, Bang?" Aku tidak merespons sama sekali soal pacar pramugari tinggi semampainya yang sedang ngambek. Bingung juga, sih, sebenarnya, harus merespons seperti apa.

“Ih, serius, nih,” desaknya agar aku menanggapi ucapannya tadi.

"Makanya jangan diputusin. Lo sih gaya-gayaan pake acara mau mutusin segala. Cewek sempurna gitu mau dapet di mana lagi coba?"

"Asal lo tau aja La, dia itu cewek paling ribet yang pernah gue kenal. Mau beli lipstick sebiji aja, milihnya bisa dua jam. Mau beli maskara, ingredient-nya dibacain satu-satu. Malah yang paling parah, dia ga mau dibawa makan di warung tenda pinggir jalan. Payah, kan? Lagi pula goyangan dia ga sehebat elo, kok." Yose mengakhiri kalimat panjangnya dengan kerlingan menggoda.

Tidak, aku tidak akan tergoda. "Lo harusnya bersyukur ada cewek cantik pake banget begitu, yang mau sama cowok pas-pasan kayak lo," jawabku berusaha meredam keinginan untuk menjadi provokator.

"Iya bersyukur, kalo dianya ga kasar. Gue pernah ditampar tau, La. Dih, jadi males gue sama dia. Putusin aja, ya?” Yose menerangkan dengan menggebu-gebu.

“Eh, tapi kan, gue ganteng. Ga pernah ada yang bilang muka gue pas-pasan kayaknya," sambungnya lagi dengan kepercayaan diri setinggi langit.

"Tampar? Wah, kurang ajar itu cewek! Putusin! Putusin!" Kali ini emosiku kembali tersulut saat mendengar si pramugari pernah menganiaya sahabat tersayangku ini.

"Nah, kan, mending diputusin emang. Masa cuma gara-gara sms doang, gue sampe kena gampar! Ga sehat tuh cewek, La." Yose makin bersemangat begitu mendapatkan dukunganku. Baru kusadari setelah beberapa menit kami membahas soal kejelekkan si pramugari, ternyata Yose gemar bergosip seperti perempuan.

"Tunggu bentar…gara-gara sms? Lo selingkuh lagi pasti, kan? Ih, ga berubah-berubah ini orang. Udah tua bukannya makin dewasa, malah makin bocah."

"Idih, sembarangan! Siapa yang selingkuh? Dia cemburu cuma gara-gara sms gue ke elo,” serunya keras, ia tidak terima dibilang selingkuh. “Ya emang, sih, isi sms-nya  I miss your boobs. Tapi kan, berlebihan banget, La. Iya, kan? Ah bodo, pokoknya besok gue putusin. Titik!"

Mendengar ucapannya barusan, sontak sendok yang sedang kugenggam melayang ke dahinya, lengkap dengan bumbu kacang bercampur air liur yang masih fresh.

"KDRT lo! Gue laporin polisi baru tau rasa!" Yose membela diri dengan wajah sok polosnya.

"KDRT jidat lo! Lo yang gue laporin polisi, gara-gara merusak nama baik! Mau taro di mana muka gue kalo ketemu cewek lo, idiot?"

“Operasi plastik aja… ganti jadi muka ant-man!" jawab Yose kesal seraya mengusap-usap dahinya.

Berarti entah sejak kapan, si pramugari itu telah mengetahui hubungan tidak sehatku dengan Yose. Kenapa dia bodoh sekali, masih mau bertahan setelah tahu semuanya? Hm…aku sih yang lebih bodoh, karena mau saja diajak having fun setiap malam. Lala bodoh!

"Pokoknya bikin klarifikasi, gue ga mau tau! Bilang sama dia, kita ga ada hubungan apa-apa!"

"Tapi, kan, hubungan kita sahabat?" sahutnya tak mau kalah.

"Iya sahabat, Yose, sahabat yang wajar," jawabku gemas. Ia seperti tidak pernah kehabisan kata-kata untuk membantah.

"Tapi, kan, kita ga wajar. Lo ngajarin gue boong nih, parah."

"Ah, tau ah, bodo amat! Udah tua tapi otaknya macem anak SD gini!" ujarku mengakhiri perdebatan tidak berfaedah kami, kemudian menghilang di balik pintu kamarku.

Selalu saja begitu, selalu aku yang kalah jika harus berdebat dengannya. Entah dia ini terlalu pintar, atau malah sebaliknya.

"Lo mau ke mana?" Yose bertanya begitu melihatku yang sudah berganti pakaian. Aku berencana untuk menemui asisten Prof. Karni untuk mengambil buku yang hendak kupinjam. Mumpung suasana di rumah sedang tidak bagus, lebih baik kuambil buku itu hari ini. Itung-itung, kabur sejenak dari manusia nyebelin ini.

"Minggat!"

"Serius ah, Lala."

"Mau ketemu gebetan. Ape lo?!" hardikku galak.

"Gue anter!" Yose segera bangkit dengan sigap.

"Ga!" Lalu perdebatan ini pun kembali berlanjut.

"Gue anter! Tunggu di mobil! Gue parkir di seberang jalan."

"Ga mau!"

"Ga ada bantahan, La!" Kalah debat lagi, kan.

"Kenapa mobil lo diparkir di seberang jalan?" tanyaku begitu memasang sabuk pengaman dan mobil melaju pelan membelah semerawutnya jalanan.

"Supaya tetangga ngiranya ga ada orang di dalem rumah. Biar kaga digerebek, gimane sih? Kurang jam terbang, nih anak. Makanya pacaran, Neng, supaya skill lo kepake," jelas Yose lengkap dengan cibiran andalannya. Selama aku belum melepas status jomblo dari lahirku ini, ia akan selalu menyercaku dengan kalimat “Makanya pacaran, Neng.

"Iya nanti gue cari pacar …." desahku pelan. Lebih baik mengalah saja, aku malas berbedat lalu ujung-ujungnya harus kalah lagi.

"Eh, ga boleh! Kata mama lo, masih kecil ga boleh pacar-pacaran." Yose menyahut sewot.

"Dih, bodo amat! Siapa lo, larang-larang gue? Lo aja boleh pacaran, masa gue ga boleh?"

"Gue sahabat lo, dan mama lo udah nitipin lo sama gue. Jadi, jangan aneh-aneh. Lo cuma boleh aneh-aneh sama gue, doang."

Aku muak dengan dalih itu. Sahabat! Sahabat mana yang tidur bareng?! Sahabat ndasmu!

"Egois." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"La?" 

"Hm!" 

"Sorry ya, udah bikin lo malu gara-gara sms itu."

"Iya, udah terjadi juga. Lain kali lebih cerdas dikit, Yos."

"Besok gue putusin dia, supaya lo ga malu. Serius nih, gue." Aku hanya bisa menatap wajahnya dengan ekspresi lo udah gila, Yose. 

"What?" Yose bertanya setelah melihat raut wajahku.

"Sarap!" Anehnya, aku tidak membantah atau melarang keputusannya. 

"Asal lo tau, La, sahabat gue yang geulis ini, lebih penting dari cewek mana pun." Yose mencubit pipiku pelan. Perempuan mana yang ga akan baper kalo perlakuan sahabatnya seperti ini? Atau hanya aku saja yang bodoh, karena berpikir seperti itu?

***