cover landing

Battl(ov)e

By SukiGaHana


Aku dan kamu adalah titik-titik dalam ruang sampel perasaan. Kita hanya perlu menunggu, peluang apa yang mungkin terjadi di antara kita bersama masa depan. Benci? Atau cinta?

***

"Apa?!"

Tanpa sadar Nikita berseru nyaring setelah mendengar keputusan Pak Wiryo, guru kimia sekaligus pembimbingnya untuk perlombaan Sains dan Matematika antar sekolah sekabupaten Malang. Semua mata seketika tertuju padanya. Memandang heran sikap aneh Nikita.

Nikita syok. Tentu saja. Pak Wiryo baru saja menyebutkan kimia sebagai tim yang menaunginya bersama Chandra. Musibah itu namanya. Selama ini mereka lebih sering berkompetisi, bukannya bekerjasama dalam satu tim. Nikita benar-benar tidak bisa membayangkan tetapi, juga tak berani mengajukan keberatan. Ia tak memiliki alasan yang tepat. Dan, sekarang, ia juga harus menanggung malu karena tingkah konyolnya barusan.

"Apa ada masalah, Nikita?" tanya Pak Wiryo yang menangkap sinyal tidak setuju dari raut wajah Nikita.

"Tidak ada, Pak,” jawab Nikita cepat. Buru-buru menundukkan kepala.

Pak Wiryo pasti sudah mengetahui tentang perseteruan tidak jelas antara dua muridnya tersebut tetapi, Nikita tidak mau menjadi tidak profesional dalam masalah ini. Apalagi yang akan mereka hadapi menyangkut nama sekolah. Mengajukan interupsi atas keputusan pembagian tim bukan tindakan yang tepat. Ia sempat melirik ke arah Chandra, mencari tahu reaksi pemuda itu. Namun, sang objek justru tampak tak terpengaruh sama sekali.

"Baiklah. Kalian bisa kembali ke kelas kalian. Soal-soal latihannya bisa kalian ambil di saya besok,” tukas Pak Wiryo, mengakhiri pertemuan tersebut.

Nikita, Chandra dan teman-temannya yang lain yang juga menjadi peserta tersebut kemudian beranjak pergi menuju kelas masing-masing. Sembari berjalan, masih berputar-putar pertanyaan yang sama di otak Nikita. Bukan bagaimana soal yang akan ia hadapi di perlombaan nanti, melainkan kenapa ia bisa satu tim dengan Chandra.

Braakk!

Begitu seriusnya Nikita berpikir, ia sampai tidak menyadari pintu yang terbuka di depannya.

"Aduuh,” keluh Nikita yang sukses menabrak pintu kelas Chandra. Ia memegangi dahinya yang kesakitan sembari menahan malu. Bagaimana tidak? Masih ada Arko, Chandra dan “duo F” alias Faris dan Faisal. Dia bisa jadi bahan tertawaan oleh keempat pemuda tersebut.

"Sakit?” tanya Chandra yang mendekat dan menengok kening Nikita. Membuat gadis itu terpaksa mundur selangkah. Orang lain boleh saja tertipu dengan sikap sok perhatiannya itu. Namun, hidung Nikita sangat terlatih untuk mengendus aroma mencurigakan dari semua hal tentang Chandra. Termasuk pertanyaan retorik yang baru saja diajukannya itu.

Nikita berhenti mengusap dahinya yang terasa sedikit benjol. Lalu, dengan gaya angkuh diketuknya pintu yang sudah memberi aksesori baru di keningnya itu.

"Cuma pintu ini aja, nggak ada apa-apanya."

Senyum simetris tercetak di bibir Chandra. Salah satu hal yang paling tidak ingin Nikita lihat karena sering kali berarti satu hal. Akan ada kalimat tidak mengenakkan yang menyusul setelahnya. Ejekan atau tantangan.

“Kalau gitu, lain kali kamu jedotin kepala ke tembok aja."

Benar, kan? Singkat, padat, tetapi sangat mengena. Ejekan yang membuat tangan Nikita gatal untuk menjambak pemilik mulut itu. Namun, ia masih tahu diri untuk tidak terpancing emosi sehingga memilih untuk diam. Menganggap Chandra hanya sekumpulan tulang belulang peraga karatan yang sering berdecit dengan suara menyebalkan.

Tanpa berkata apa pun lagi Chandra lalu berjalan melewati Nikita. Begitu saja. Tidak ada sekadar basa-basi menanyakan keadaan Nikita secara baik-baik. Tindakannya itu diikuti pula oleh Faris dan Faisal yang tampak menahan tawa. Mereka bertiga memang trio menyebalkan yang kebetulan dipersatukan dalam satu kelas. Dan, beruntung bukan kelas Nikita yang menjadi habitat mereka.

“Dasar Tiang Listrik Berjalan!" maki Nikita kesal. Sikap Chandra tersebut membuatnya semakin yakin untuk berpisah tim. Mana tahan ia menghadapi semua tingkah menyebalkan Chandra selama beberapa minggu ke depan. Yang ada Nikita bisa masuk rumah sakit jiwa karena depresi.

"Kamu nggak apa-apa, Nik?" tanya Arko cemas. Sama sekali tidak tampak menahan tawa seperti tiga bandit tadi. Sungguh sebuah anugerah karena pemuda baik hati inilah yang menjadi teman sekelas Nikita.

“Nggak apa-apa, kok,” jawab Nikita.

Mereka berdua kemudian melanjutkan kembali perjalanan menuju kelas. Namun, pemandangan yang tersaji bukanlah pemandangan yang mereka harapkan. Kelas mereka seperti kapal pecah. Benar-benar berantakan. Makin pusing Nikita melihatnya, padahal rasa nyeri di dahinya belum hilang. Sembari menahan sakit, ia berjalan menuju bangkunya, berusaha tak mengacuhkan suara berisik teman-temannya. Beruntung tak lama kemudian terdengar bel istirahat berbunyi. Membuat sebagian keributan itu terhenti.

"Ke perpustakaan, yuk, Lu! Cari referensi untuk tugas dari Pak Wiryo kemarin,” ajak Nikita pada Lulu, teman sebangku sekaligus sahabatnya.

Tanpa banyak kata, Lulu menyetujui ide Nikita. Mereka pun pergi ke perpustakaan, mencari referensi untuk tugas sekaligus berpindah ke tempat yang suasananya lebih tenang dan bersih. Berada di kelas mereka sendiri sungguh membuat jengkel.

"Eh, kening kamu kenapa?" tanya Lulu yang baru menyadari warna biru di dahi Nikita.

"Tadi nggak sengaja nabrak pintu."

Lulu tertawa kecil mendengar jawaban Nikita. "Kok, bisa, sih?”

“Nggak tahu. Eh, aku cari sebelah sana, ya?” pamitnya seraya menuju rak yang berbeda dengan Lulu.

Nikita mulai mencari buku yang diperlukan. Ia tengah menelusuri rak buku pertama ketika tanpa sengaja bertemu dengan Reza, sang ketua OSIS yang tampaknya sedang mencari buku yang sama.

"Kamu butuh buku ini juga, Nik?" tanya Reza. Nikita dengan cepat mengangguk. "Kalau begitu kamu aja yang pakai duluan."

"Terus kamu?"

"Aku bisa pakai setelah kamu, kan?"

"Makasih, Za."

"Sama-sama. Apa, sih, yang nggak buat cewek secantik kamu?"

Kata-kata Reza sontak membuat Nikita tersipu malu. Jarang-jarang ada yang berkata manis padanya, walaupun ia tahu hal-hal semacam itu terkadang hanya rayuan gombal. Ia hanya tak menduga jika Reza yang mengatakannya.

"Kayanya ada yang ngegombal, nih," ujar Nikita seraya tersenyum tipis, "tapi, makasih."

“Padahal aku serius, lho. Nggak ngegombal," jawab Reza, "oh, ya, sore ini kamu ada acara, nggak? Kita nonton, yuk! Kamu suka film action, nggak? Ada film baru yang kayanya seru.”

Nikita seperti baru saja mendapatkan hadiah tak terduga karena tiba-tiba saja ada pemuda yang mengajaknya nonton. Reza, ketua OSIS. Keren dan ganteng. Tidak ada salahnya jika Nikita menerima tawaran tersebut. Lagi pula, kesempatan semacam ini tidak datang setiap saat.

"Maaf, nggak bisa. Dia harus belajar sama aku. Mungkin kamu harus ngajak orang lain buat nonton film-action-yang-kayanya-seru itu." Chandra mendadak muncul dan mengacaukan suasana. Hadir tanpa diundang. Semacam Jelangkung saja.

"Belajar?" tanya Reza.

"Iya. Perlombaan Sains. Kami satu tim."

"Oh, maaf, Nik. Aku nggak tahu,” ujar Reza seraya melirik Nikita yang serta merta menatap Chandra tajam. "Kalau gitu, aku duluan, ya. Mungkin kita bisa nonton lain kali," pamitnya kemudian. Meninggalkan Nikita yang sudah dikuasai rasa jengkel bercampur kecewa.

Terulang kembali. Chandra sukses membuat mood Nikita buruk seharian ini. Setelah satu tim dalam perlombaan, menertawakan insiden Nikita menabrak pintu dan sekarang mengacaukan bayangan indah Nikita yang sangat ingin nonton film action. Memangnya Chandra ini siapa, sih? Bukan siapa-siapanya Nikita. Status mereka dari dulu sampai sekarang hanya satu. Rival. Akan tetapi, kemunculan pemuda itu seperti teror yang menakutkan.

"Apaan, sih? Ganggu, tahu. Datang-datang ngerusak rencana orang,” omel Nikita.

Chandra terlihat tidak peduli. Ia sibuk memilih buku dan pergi begitu saja setelah menemukannya.

"Nanti pulang sekolah, aku tunggu di taman belakang sekolah,” ujar Chandra sebelum pergi.

“Ngapain?"

“Yang jelas bukan nonton film action,” jawab Chandra datar. Mengabaikan Nikita yang kini hanya bisa mengerucutkan bibirnya sebal.

Seolah belum cukup dengan memperburuk suasana hati Nikita sedari tadi, sekarang Chandra justru seenaknya saja mengatur-atur apa yang harus dilakukan. Memangnya Nikita akan peduli? Sama sekali tidak. Masa bodoh dengan apa yang akan dilakukan Chandra. Mau menunggu di taman atau di atas genteng sekalipun, Nikita benar-benar tidak peduli.

***