cover landing

Bagian yang Tak Kuketahui tentang Ayah

By verooogabriel


Napas Briel memburu seiring dengan langkahnya yang makin cepat. Otot kakinya mulai terasa lemas dan nyeri. Bulir keringat membasahi punggung dan dahinya, membuat rambutnya lembap dan tubuhnya lengket. Briel tak peduli, ia terus memaksa diri berlari.

Sesekali ia menengok ke belakang dan mendapati bayangan hitam raksasa itu masih mengejarnya, bahkan makin cepat. “Sial!” umpat Briel. Laju gerak Briel tak sekilat gerakan bayangan hitam yang kini kian membesar dan merangkak memenuhi dinding lorong.

Saat satu per satu lampu lorong mulai padam, Briel tahu dirinya tak mungkin lolos. Tubuhnya mulai bergetar mengetahui marabahaya mengintai persis di belakangnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa ia bisa terlempar di lorong sunyi yang terasa seperti bangsal rumah sakit tak berpenghuni?

Mulai tidak fokus, Briel tersandung oleh kakinya sendiri. Tubuhnya ambruk dan rahangnya menghantam keras dinding lorong tepat saat bayangan hitam tadi siap menerjang. “Aaa!” Spontan Briel memejamkan mata dan berteriak sekencang mungkin.

Satu menit berlalu. Dua menit terlewati. Tidak terjadi apa-apa selain Briel merasakan sakit di rahang dan mulutnya. Ia membuka mata perlahan. Lorong asing tempatnya terdampar secara janggal kembali terang seperti semula, yang membedakannya hanya dinding di sekitarnya berubah menjadi cermin.

Briel pun menemukan pantulan dirinya di kaca. Ia mengamati mulutnya yang mengeluarkan cairan merah berbau anyir dan memberanikan diri membuka bibirnya. Satu gigi gerahamnya copot dan jatuh, diikuti gigi taringnya hingga seluruh giginya rontok satu per satu. Teriakan Briel kemudian terdengar menggema di sepanjang lorong yang memerah.

Drrrttt... drrrrtt….

Briel terbangun. Jantungnya berdetak cepat seperti ada yang menghantam dadanya dari dalam. Mimpi buruk, batinnya. Ini sudah mimpi ketiga yang kurang lebih serupa: deretan giginya rontok mengeluarkan darah segar. Ia ingat pernah menceritakannya kepada mama dan membuatnya langsung menulis daftar nama mereka sekeluarga untuk didoakan di vihara.

“Pertanda sangat buruk,” ujar mama suatu hari.

Drrrttt… drrrtt….

Getaran di atas nakas terdengar sangat jelas di kamarnya yang sunyi. Ia pun meraih ikat rambut di samping bantal dan meraba-raba ponsel yang terus bergetar. “Siapa sih yang telepon jam…” Briel melirik jam dinding di kamar, “…dua subuh?”

 

0877 7129 XXXX

Papa

 

Untuk apa papa telepon subuh-subuh begini? Benak Briel dilingkupi perasaan gelisah. Malam minggu ini papa memang tidak pulang ke rumah karena ingin menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Apakah terjadi sesuatu? Jari Briel menekan tombol hijau dan menyapa halo.

“Ini dengan Brielle Visakha benar?”

Suara perempuan. Nadanya terdengar cemas dan serak seperti habis menangis.

“Saya sendiri. Siapa ya? Kok bisa menelepon pakai nomor papa?”

 “Briel, bisa datang sekarang juga ke rumah sakit Mandalaya? Papamu di sini… sudah meninggal.”

Tangis pecah di seberang sana. Briel menutup panggilan. Mendadak saja kelebat giginya yang rontok memerah darah di mimpinya tadi muncul kembali di kepalanya secara bergantian tanpa bisa berhenti seperti kaset rusak.

 

***

 

Mobil sedan hitam milik tetangga mengangkut Briel dan ibunya menuju Rumah Sakit Mandalaya di pusat kota. Mereka melaju menembus jalanan yang lengang pada sepertiga malam. Kendaraan-kendaraan lain yang melintasi jalan bisa dihitung jari.

Tak tampak juga kios kecil dadakan di sepanjang bahu jalan yang biasanya berjualan bermacam-macam kudapan hingga kaset musik bajakan. Toko-toko kelontong sudah tutup dan menyisakan satu lampu pijar yang menyala terang di halaman. Jika ada yang masih buka, hanya warung rokok sederhana yang sekaligus dijadikan pos ronda.

Pemandangan serupa terasa farmilier bagi Briel dan ia teringat sesuatu.

“Tahun lalu pas nonton midnight bareng papa, kita juga pulang jam segini. Jalan-jalan kosong dan papa suka ngebut. Sebelum sampai rumah, kita berhenti beli kwetiau goreng di pinggir jalan, Ma,” ujar Briel.

Bibirnya memaksakan senyum tipis. Kenangan hangat bersama papanya dulu entah mengapa sekarang membuat dadanya terasa sesak. Meira, ibu Briel, menarik tangan Briel lembut dan memegangnya erat seakan menyalurkan kekuatan tanpa harus mengatakan apa-apa.

Tindakan Meira justru membuat tangis pelan Briel menjadi isakan keras. Tetangga yang malam itu menyempatkan diri mengantar mereka berdua pun melirik dari kaca spion tengah. “Mungkinkah tadi hanya panggilan iseng? Atau ini tanggal 1 April dan papa sedang membuat lelucon yang enggak lucu?”

Briel merasakan pegangan ibunya semakin kencang seiring dengan air mata Briel yang semakin menderas. Duri-duri mendadak tumbuh di kedalaman dirinya dan setiap guncangan tangis mengiris hatinya tanpa kenal jeda. Lalu, perlahan timbul rasa sakit yang tidak bisa ditangani dengan anestesi terhebat sekalipun.

Dari jauh, Briel bisa melihat plang nama besar bertuliskan Mandalaya Hospital. Sebentar lagi mereka sampai di rumah sakit dan dipaksa untuk menghadapi kabar terburuk. Sebelum mobil masuk, Briel mengelap air matanya dan mengeluarkan ponsel untuk mengetik pesan.

 

Papa, besok Briel dan mama mau minta dibeliin seporsi kwetiau goreng langganan papa, ya!

 

Ketika mobil berhenti di depan Instalasi Gawat Darurat, Briel segera mengantongi ponselnya. Pesannya terkirim dan diam-diam ia berharap akan terbaca. Kemungkinan besar harapannya akan sia-sia tapi Briel tetap melakukannya karena ia sedang butuh harapan, sekecil apa pun itu.

***

 

Begitu turun dari mobil, Briel dan ibunya segera disambut satpam yang berjaga.

“Keluarga Bapak Dijivata?”

Dahi Briel mengerut, sedikit terkejut mengetahui satpam ini mengenali nama keluarga papa. Oh, mungkin dari KTP, batin Briel dalam hati sebelum mengangguk. Ia dan mama diarahkan menuju salah satu tempat tidur paling pojok dan tertutup oleh gorden putih panjang di sekelilingnya.

IGD rumah sakit begitu sepi malam itu hingga derap kakinya sendiri terdengar menggema di sepanjang lorong. Briel benci keadaan ini. Kesunyian rumah sakit semakin menegaskan ruang kosong yang melubangi rongga dadanya.

“Briel, kita lihat papa sekarang ya,” bisik Meira pelan.

Briel tidak bereaksi. Tubuhnya membeku ketika tangan ibunya setengah gemetar membuka kain putih yang menyelimuti sepotong tubuh di atas tempat tidur. Kain putih tersebut akhirnya tersibak dan menunjukkan wajah papa yang kaku, mata terpejam, bibir menghitam, dan kepala yang sudah terikat tali putih.

Seketika dunia Briel berhenti. Kepalanya terasa dihantam godam besar dan hidupnya gelap tepat dalam sekali libas. Tubuh Briel roboh begitu saja di lantai. Kedua tangannya menggenggam rangka besi tempat tidur erat-erat.

“Papa,” panggil Briel lirih.

“Papa!”

Panggilan itu berubah menjadi seruan tegas. Namun, tubuh pria paruh baya di hadapannya tidak bergeming sehingga memicu teriakan nyaring yang terdengar seperti raungan putus asa. Briel tidak berhenti menjeritkan satu sebutan: papa. Kerongkongannya nyaris tercekat jika dua perawat tidak menghampirinya dan membujuknya untuk tenang.

Mama berjongkok di sebelah Briel dan menariknya dalam dekapan. Bahu keduanya berguncang hebat. Suara tangis mereka saling bersahut-sahutan dan teredam dalam pelukan masing-masing.

Di antara isaknya, Briel masih terus memanggil papa dan berharap sepasang mata beliau terbuka. Ia menyentuh pergelangan tangan papa dan memohon tangan itu bergerak. Namun, sebesar apa pun ia menggantung asa, akhirnya tetap sia-sia. Di atas tempat tidur telah berbaring tubuh papa sebagai jenazah. 

***