cover landing

Babu dan Aku

By brotheract Ris


Di suatu permukaan datar yang terasa sejuk, aku merebahkan diri. Kunikmati hari bersama semilir angin yang menyapu ruangan dengan satu embusan lembut. Dua mataku terpejam dan yang bisa kulihat di depan mata hanya pemandangan gelap gulita. Angin yang berembus rupanya tidak ingin memaksaku bangun. Aku begitu terlena.

Aku saat ini masih di alam bawah sadar yang mengajakku bermain. Alam yang tidak nyata itu menciptakan suasana nyaman yang tidak terkira, lebih berharga dari harta karun yang digali dari bawah laut. Aku tidak mau membuka mata, juga tidak ingin terlelap lebih lama. Aku hanya ingin menikmati suasana ini dalam waktu lama selagi jantungku masih berdetak.

Aku ingin tidur lebih lama lagi. Sedetik saja. Tidak, satu menit saja. Tidak, satu jam saja. Lebih baik aku tidak memohon apa pun telanjur sudah merasa nyaman.

Beberapa kali embusan angin kemudian, muncul sinar terang nan menyilaukan mata saat aku masih ingin terlelap. Sejenak aku tersentak karena tidak menduganya. Begitu menyilaukan mata hingga berkunang-kunang rasanya. Padahal aku masih ingin berada dalam posisi ini lebih lama. Semesta memang tidak mendukung jika aku sudah membuat permohonan sementara aku tidak pernah membuat kesalahan.

Perlahan aku membuka mata, menguap lebar, dan meregangkan otot-ototku. Sinar matahari tadi mengarah langsung ke mukaku. Rasanya terbakar hingga ke belakang kepala. Satu bola mata terbuka, tampak dunia luar yang bagi semua orang sangat indah dan tiada duanya. Satu lagi mataku terbuka, aku berusaha menyesuaikan diri.

Ingin rasanya aku berbalik badan daripada harus berhadapan dengan sinar menyilaukan, namun aku sudah terlalu nyaman dalam posisi seperti ini. Tubuhku rasanya tidak ingin bangkit. Tetapi harus bagaimana lagi, sinar matahari ini seperti membakarku hidup-hidup.

Aku mengedipkan mata berulang kali. Bumi mulai meredup. Sedangkan aku yang masih dalam posisi seperti itu merenung seolah dipanggil keluar. Pikiranku berkelana di luar sana memikirkan apa yang harus kulakukan nanti.

Apa sebaiknya aku keluar saja?

Pikiran ini mendadak terlintas di kepala. Bersamaan dengan itu, mataku melebar. Wah, di saat seperti ini otakku lumayan pintar juga. Daripada harus terkurung di sini sampai senja tiba, lebih baik aku menghabiskan hari mengamati dunia yang jauh lebih luas dari perkiraan mata.

Aku bangkit. Permukaan datar yang sejuk itu kini tidak lagi menjadi atensi. Aku sudah mampu menemukan penyelesaian dengan cepat. Kulangkahkan kaki di atas lantai yang sejuk dan kakiku menyusuri ruangan lebar. Di depan mata, dunia luar sebentar lagi akan menyambutku dengan keindahan ciptaan dari tangan Tuhan.

Aku sudah menjejakkan kaki. Dunia luar yang luas dan tidak terkira memberiku ucapan selamat datang beserta senyum ramah. Semesta juga seolah menyambut keberadaanku. Kini tinggal aku yang memutuskan apakah aku bisa merasa nyaman atau sebaliknya.

Kudongakkan kepala sejajar dengan tinggi pohon mangga. Langit pada hari ini tidak begitu cerah. Hamparan warna biru membentang dari ujung dunia ke ujung dunia lain. Berhiaskan awan tebal yang sepertinya akan menyelimuti sang bumi. Permukaan bumi kini terasa hangat dan menjadi cuaca terbaik menurutku.

Aku mengarahkan pandangan ke satu titik fokus. Aku menyipitkan mata demi bisa mengamati benda ini. Di balik awan, benda terbesar di langit bersembunyi dan memancarkan secuil cahaya layaknya menyiratkan secercah harapan di luar sana. Rupanya bumi meredup akibat disembunyikan awan yang bisa kubilang tidak sopan. Padahal bumi tidak melakukan kesalahan, tapi seenaknya saja menyembunyikan benda langit itu.

Berada dalam situasi ini, aku menyadari satu hal. Hari ini hari yang tepat untuk meningkatkan level kebahagiaan. Hari yang tepat untuk tidak melakukan apa pun. Mungkin aku akan bermalas-malasan saja.

Beberapa saat kemudian, sepasang tangan menggerayangi perutku dari belakang dan memelukku dengan tenaga sebesar gajah. Aku yang tidak suka kemunculan mendadak lantas memberontak untuk melepaskan diri. Aku bukan benci, hanya tidak suka saja jika ada yang berhasil memacu detak jantungku. Memangnya aku tahu bulat yang digoreng dadakan?

“Ih! Bau banget. Bau, bau, bau!”

Suara yang berasal dari belakang kepala memekakkan gendang telingaku. Hampir saja aku melompat jika aku tidak tahu suara ini. Huh! Memang dasar manusia itu. Selalu saja membuat jantungku mati rasa.

Aku menoleh. Kemudian membuang muka dengan wajah malas. Aku sudah hafal dengan nada suara ini. Saat kutoleh, hal yang pertama kali kulihat adalah wajah menyebalkan dan senyuman aneh yang tergambar jelas dari wajahnya.

Sekali lagi, aku bukannya benci namun tidak suka saja. Siapa suruh memelukku sembarangan tanpa tahu waktu.

“Kamu pasti udah seminggu kan gak mandi? Pantesan bau banget udah kayak gak mandi setahun,” sambungnya.

Aku tidak peduli. Masa bodoh. Aku pura-pura tidak tahu apa pun. Hal yang penting adalah aku bisa mengakhiri drama aneh ini. Sudah cukup kepalaku dibuat pusing tujuh keliling dan berputar-putar di tempat akibat tidur yang terganggu.

Dia melepaskan pelukan. Lalu pergi setelah bersinggungan denganku. Aku tidak ingin terlalu peduli kepada dia yang mulai menjauh dari suara langkah kakinya. Pandanganku masih mengarah ke langit yang sebentar lagi akan menyambut kedatangan waktu sore. Sepertinya malam ini akan menjadi malam berawan walaupun tidak hujan.

“Jake!” panggilnya menyebut nama insan yang menurutku terdengar tidak asing. Aku tidak merespons. Tidak ingin menoleh, bahkan ketika nama itu disebut.

“Entar kita mandi ya!” ujarnya sebelum menutup pembicaraan.

Aku hanya memutar bola mata sebagai respons. Sudah terlalu lelah ketika menghadapi manusia ini. Sudah terlalu lelah juga untuk menanggapi lawakan tidak lucu. Sungguh banyak perintah dan dia suka berbuat semaunya.

Memangnya mandi itu apa sih? Sejenis makanan kering?

***