cover landing

Ayah Pemilik Cinta yang Sesungguhnya

By Cahayafiksi


Bagi Denta, tak ada yang lebih baik dari tinggal di asrama. Tempat di mana tak ada makhluk ber-gender perempuan yang baginya begitu menakutkan. Kawasan di mana ia bebas bergerak tanpa paranoid akan bertemu tatap dengan lawan jenis yang bikin gemetaran. Tapi, pemikiran itu tak berbanding lurus dengan isi kepala Wira, lelaki tengah baya—tapi begitu keren yang kini berdiri di hadapannya dengan melipat kedua tangan di depan dada. Desah napas berat berkali terhempas dari bibirnya.

Menurut Wira, apa yang terjadi pada anak tunggalnya sudah terlampau tak normal. Ia sangat tahu betapa tidak normalnya kelainan itu, hingga rasanya egois sekali jika ia masih berpangku tangan dengan kelainan anak lelakinya.

Terang saja, remaja putra lain mungkin tengah semangat-semangatnya mengintip toilet rekan perempuan, atau mengobrol membahas betapa cantiknya cewek kelas sebelah, barangkali juga aktif menggandeng jemari abege manis ke mana pun ia pergi, dan entah apa lagi. Yang jelas, hal itu tidak berlaku bagi Denta yang selalu saja menghidari sosok berjenis perempuan. Wira sendiri sampai heran, sampai kapan anaknya itu bisa bertahan tanpa perempuan?

Denta, remaja yang usianya hampir menginjak 17 tahun dan hingga detik ini, ia masih takut pada perempuan! Cukup! Jangan berpikir yang macam-macam dulu. Jangan pula mengira Denta itu maho! Perlu ditegaskan berpuluh kali kalau Denta itu 100% straight dan sama sekali tidak punya kelainan yang menyimpang.

Masalah kenapa saat ini ia begitu ngeri pada kaum Hawa, itu tersebab oleh trauma masa lalu. Ya, sebut saya phobia. Oh, ayolah... tak ada yang lucu dengan ketakutannya pada lawan jenis. Semua punya alasan dan sebab yang kuat.

“Kenapa?” Denta menyadari ada mata yang menyorotnya tajam. Memang, sebelumnya Ayah sudah menelponnya jauh-jauh hari sebelum menjemputnya. Tapi sungguh, berkali pula Denta menegaskan tidak mau pulang dulu. Setidaknya sampai lulus SMA—mungkin. Tapi, bukannya menunggu persetujuan dulu, Ayahnya kini malah mendadak datang dan enggan pulang jika Denta tidak turut bersamanya.

“Jangan tanya kenapa lagi, Den!” tegas pria yang lebih tua tapi tetap keren itu. Sementara si remaja mencoba menahan dirinya agar tidak berteriak-teriak dengan linangan air mata hanya untuk menolak keputusan Ayahnya yang menurutnya diambil secara sepihak. Ditahannya emosi di dada, geram sepenuhnya ia tenggelamkan di balik wajah tenang. Semakin berontak, semakin Ayahnya semangat untuk menggeretnya pulang.

“Setidaknya biarkan aku di sini sampai lulus, Yah...” senyum Denta mengembang spontan. Mata bulat bak anak anjing bertemu majikan ia pajang saat menatap Ayahnya yang sudah menaikkan barang-barang Denta ke bagasi. Tak ada respon sama sekali dari lawan bicaranya, masih khusuk mengemasi barang-barang yang mulai memenuhi ruang di bagasi.

“Ayaaah!” teriak Denta, jengkel. Yang dipanggil dengan suara tinggi itu menoleh dengan pasrah, hanya untuk menemukan pemuda ababil itu menggeram sewot.

Terbuang napas Wira sebelum menjelaskan, “Ayah sudah bicara dengan kepala sekolah, hari ini kau pulang.”

“Ayah!” Denta berteriak kesal.

“Apa lagi?” Lelaki baya itu mulai emosi, saat sekali lagi anak tunggalnya itu merajuk tak terima. Harus berapa kali dijelaskan agar anak labil itu mengerti? Ini demi kebaikannya sendiri. Jika terus dijebloskan dalam asrama yang isinya hanya manusia dari jenis Adam, tidak menutup kemungkinan bahwa Denta anak berakhir dengan jeruk makan jeruk. Oh, no! Jelas terbayang betapa malunya ia sebagai Ayah, dan ia juga masih berharap garis keturunannya tidak hanya terhenti pada Denta.

“Harusnya Ay—eehhh...“

Dan pada akhirnya kalimat protes Denta hanya berakhir di udara, tangan besar Ayahnya lebih cepat meraih lengan dan menjebloskan tubuh Denta ke dalam mobil. Ia harus pulang, suka atau tidak!

“Ini keterlaluan! Ayah tahu sendiri aku tidak bisa... eng... Ayah tahu sendiri. Dan ayah juga tahu persis kenapa aku tidak suka pada... Ayah tahu sendiri...” Denta merancau tak jelas sementara Wira langsung mengambil posisi duduk di balik kemudi. Ia tak menerima penjelasan apapun kali ini. Nanti kalau sampai di rumah dan dibelikan gadget baru, pria tengah baya itu yakin kalau anak lelakinya itu akan bungkam dengan sendirinya.

Sejauh ini, Wira membiarkan Denta mengomel sepanjang perjalanan. Kalau lelah, ia pasti ketiduran seperti bayi, Wira sempat berpikir begitu. Tapi nyatanya? Sampai separuh perjalanan pun Denta masih kuat melontar protes, meski sama sekali tak mendapat respons yang semestinya.

“Sampai kapan kamu terus seperti ini?” Ayah melotot ke arah spion setelah lelah lahir batin disiksa omel oleh anak sendiri. Sejak masuk mobil, setelah dipaksa keluar dari asrama tadi, Denta terus mengoceh ditambah memasang wajah paling bete yang pernah Wira lihat. Padahal Wira sempat mengira kalau ia akan mendapat sambutan yang lebih hangat dari Denta yang jarang ditemuinya. Lama tak sua dengan Ayahnya tak membuat Denta rindu ternyata.

“Sampai Ayah mengantarku kembali ke asrama,” tegas Denta, sebenarnya mulai lelah. Makanya ia sedikit lebih tenang dan tanpa sadar malah mengalihkan perhatiannya pada android di genggamannya. Masuk ke twitter. Wah, kebetulan penulis favoritnya lagi online, jadi ia coba beberapa kali mengirim mention.

“Mau jadi apa kamu kalo terus tinggal di asrama?” Ayah sesekali melirik Denta dari kaca spion.

“Apa aja boleh,” sahut Denta santai.

“Keras kepala! Oh—hey... kalau orang tua ngomong dengerin!” Ayah molotot pakai otot. Emosi melihat Denta yang begitu asyiknya bermain dengan androidnya.

“Aku nggak budek, Ayah!” kata Denta. “Aku denger kok.”

“Anak kurang ajar!”

“Biarin!”

“Mulai durhaka kamu ya?”

Sebut saja begitu. Di mata Denta, Ayah itu bukan orang tua. Lebih dari teman barangkali. Pria tengah baya yang kadang terlihat lebih keren dengan cara bicara yang nyaris sama dengan remaja kebanyakan itu, memang kurang pantas dipanggil Ayah. Umurnya saja yang 40, tapi jiwanya sebaya sama anak sendiri.

Dasar Berondong bangka, pikir Denta sebelum mengalihkan perhatiannya dari android dan menoleh pada Ayah yang mulai tak tenang duduk di belakang kemudi.

“Makanya, Ayah jangan memaksaku pulang. Atau aku bisa mati!”

Lebay!”

“Terserah Ayah mau bilang apa,” sahut Denta lelah. Lelah atas segala perdebatan sia-sia yang tak menemukan ujung. Memang tak akan pernah ia mengalahkan adu bacot dengan Ayahnya itu. Dan kini, memang tak ada pilihan lain kecuali— ah, Denta tidak tahu harus melakukan apa?

Mobil sampai di depan rumah beberapa saat kemudian. Denta bergegas turun dan membanting pintu.

Brakk!

Wira tersentak kaget. “Anak sialan! Jaga sikapmu!” Pria baya itu berteriak dongkol. Urat-urat di keningnya menonjol tanda emosi. Ia terburu turun dari tanpa memasukkan mobilnya ke garasi, “jangan harap uang sakumu bisa cair,” ancam Wira tak tanggung-tanggung. Yang diancam menoleh dengan mata sinis.

“Aku masih bisa hidup tanpa uang!”

“Sombong. Emang dikira selama ini siapa yang ngasih makan?”

“Ibu asrama!”

Ayah mengurut keningnya, anak satu saja begini ribetnya. Bagaimana kalau ada satu lagi yang seperti Denta? Mati aku! Pikir Wira frustrasi.

Denta berlari menaiki anak tangga tanpa menoleh lagi. Tujuannya hanya satu, kamar! Sebagai bentuk protesnya pada

Ayah yang seenaknya memaksanya pulang tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Mungkin sikapnya agak keterlaluan, tapi pria itu juga tak pernah bisa mengerti bagaimana jadinya jika ia bertemu dengan perempuan! Denta benci perempuan! Benci! Benci setengah mati.

Denta mendengus, memang Ayahnya itu tak pernah melihat bagaimana peluh membanjiri kening saat berdiri di dekat perempuan, tak usah ditanya juga betapa pucat wajahnya saat pori kulitnya bersentuhan dengan lawan jenis. Oh, phobia yang memalukan.

Pokoknya sudah Denta putuskan, kalau Ayah masih memaksa untuk masuk sekolah umum, mogok makan adalah ancaman yang akan ia gunakan sebagai senjata. Jika Ayah tidak bersedia mengembalikannya ke asrama putra, jangan harap pula ia akan keluar dari kamar. Cara licik dan kekanakan memang, tapi siapa yang peduli? Yang penting baginya saat ini adalah kembali ke asrama! Kembali dengan teman-temannya yang selalu ribut itu.

Denta bisa mendengar suara Ayahnya yang mengomel di luar sana, bagaimana pria itu mengumpat tak jelas tersebab kekecewaannya pada anak tunggalnya yang entah lahir dari mana hingga sangat membenci wanita. Denta tak peduli! Benar-benar tak peduli apapun yang dibahas Ayahnya, ia masih bisa enjoy berkicau di twitter tanpa sedikit pun terganggu dengan omelan Ayah.

Satu mention nyaris membuatnya tersedak ludah sendiri. Sungguh, ia sama sekali tidak percaya bahwa Geofani Ismail membalas mention iseng yang ia kirim tadi pagi.

 

Geofani Ismail @Geo_kun

@Denta_Rizky Hai juga, Denta...

 

Denta masih tak percaya. Geofani penulis favoritnya itu membalas mentionnya. Betapa girangnya ia sampai tak tahu harus berekspresi seperti apa. Geofani Ismail, seorang penulis yang selama ini hanya berkeliaran di dunia maya tanpa berniat menerbitkan naskahnya. Tulisannya tak bisa disebut biasa, banyak sekali yang menggemari buah jemarinya yang telah banyak di-posting di blog pribadi miliknya, katanya menulis itu hanya bagian dari hobi, ia sama sekali tak berminat untuk mengkomersilkan hasil karyanya.

 

Denta W. Rizky @Denta_Rizky

@Geo_kun Mas Geofani, aku penggemar tulisanmu!

Geofani Ismail @Geo_kun

@Denta_Rizky Wow, nggak nyangka ada yang baca tulisanku ^_^

Denta W. Rizky @Denta_Rizky

@Geo_kun Jangan bercanda, bahkan kau punya banyak fans!

Geofani Ismail @Geo_kun

@Denta_Rizky Masa? Kupikir aku masih belum pantas punya penggemar

Denta W. Rizky @Denta_Rizky

@Geo_kun Sudah terlanjur :p

Geofani Ismail @Geo_kun

@Denta_Rizky Hahaha, kau berlebihan

 

Denta menutup aplikasi twitternya setelah menerima DM dari Geofani. Berisikan nomor ponsel pribadi yang bisa dihubungi. Oh, sungguh ia tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya. Perkenalannya dengan seorang penulis dunia maya lumayan membuat Denta lupa apa yang terjadi hari ini. Dan semuanya akan berjalan normal kembali.

Ya, itu seharusnya...

Tidak harusnya adalah saat jam makan malam, tiba-tiba Ayahnya bergumam tak jelas dengan mengatakan bahwa rumahnya terlalu sepi untuk ditempati berdua saja. Meski Denta berdecak malas seakan tak peduli, namun dalam hati sebenarnya Denta mulai was-was. Takut-takut kalau sampai ayahnya memasukkan orang lain ke dalam rumahnya dengan alasan rumah mereka yang kelewat besar itu terasa sangat sepi.

“Udah deh, nggak usah ngada-ngada. Rumah sepi itu kan damai.” Denta memotong dadar telur buatan Ayah dan memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan sebelum memaksa makanan itu melewati tenggorokan dengan mata terpejam rapat. Menu makan malam hari ini sangat mengenaskan, hanya nasi putih, telur dan kecap. Salahnya juga yang tak pernah mengijinkan ayahnya menerima pembantu di rumah. Yah, masalahnya kebanyakan pembantu itu kan perempuan, dan tentu saja Denta masih phobia perempuan! Ah, kalau sudah seperti ini Denta jadi ingat asrama, kalau di sana menu makan malamnya selalu enak.

“Masalah sekolahmu, gimana kalau kamu pindah ke Alfa Centaury? Itu sekolah paling elit lho...”

Ayah mengalihkan perhatian Denta dari makanannya. Mendadak aura di antara Ayah dan anak itu berubah suram. Bunyi sendok beradu dengan piring berdenting nyaring. Denta mencengkeram sendoknya erat-erat, sebelum melahap makanannya dengan brutal dan terburu-buru.

“Aku nggak mau pindah sekolah!” protesnya dengan mulut penuh. “Lebih baik aku nggak sekolah kalo dilarang balik ke asrama.”

“Jangan gitu, donk...” Ayah meletakkan sendok dan garpunya. Rasanya mulai hilang nafsu makannya kalau tiap bertemu dengan anak, pasti bakal adu mulut jadinya.

“Ayah juga melakukan ini demi kebaikanmu. Jadi, tolong jangan membantah lagi.”

“Tapi kondisiku nggak baik, Yah. Bener deh,” Denta menegaskan dengan mulut belepotan bintik nasi. Ayahnya mendengkus.

“Bisa nggak, sekali aja nggak bantah Ayah?” Duda keren itu meraih sendoknya lagi, melanjutkan aktifitas makannya meski tanpa minat, selain rasa telurnya yang keasinan, sikap

Denta yang selalu saja menantang bukannya bikin nafsu makan malah bernafsu lempar piring ke muka anak sendiri.

“Ayah sih yang bawaannya nantang buat dibantah,” Denta menjawab sekenanya dan menenggak susunya.

Tek!

Sendok bengkok.

Susu yang ditenggak Denta terhenti ditenggorokan saat menyadari ada bola mata berapi yang tajam menusuknya. Pemuda tanggung itu meletakkan gelasnya yang menyisakan setengah susu dan bergumam “Oops...”

Suara derek kursi terdengar. Denta mengangkat wajahnya mengikuti gerak slow motion Ayah yang meninggalkan meja makan sebelum menghabiskan makanannya.

“Terserah kau sajalah...” seru Wira, berlagak marah dengan meninggalkan Denta seorang diri di meja makan. Sudut bibir Denta bergerak melengkung ke bawah, mencibir, “ngambek! Ngambek aja sono!” ucapnya, meledek. “Alasan Ayah aja tuh, saking nggak mau ngabisin makan malamnya yang nggak enak.”

Dan duda keren itu tiba-tiba tersedak ludah sendiri.

Tahu aja sih?

Ayah berdeham. Menengok sekilas pada Denta yang masih melanjutkan makannya. “Ngajak berantem, nih?”

“Emang mau? Aku sih oke aja, Yah” sahut Denta, enjoy. Sang Ayah hanya menahan diri untuk tidak melempar kursi ke arah Denta. Demi apapun, itu anak siapa sih?

“Maumu sebenarnya apa, sih?”

“Balik ke asrama, Yah.”

“Nggak boleh. Entar kau jadi maho.”

“Sumpah demi kolor Ayah yang nggak pernah dicuci, aku nggak bakal jadi maho kok... aku straight...”

“Kalau lurus, kenapa benci sama cewek?”

Otomatis Denta menggaruk tengkuk. Bingung.

“Bingung?” Ayah menyeringai. Kena kau!

“Takut sama nggak doyan itu beda lho, Yah,” jawab Denta, tergagap. Denta sendiri yang jamin kalau ia bukan gay atau semacamnya. Buktinya, ia sama sekali tak tertarik pada kawan di asrama meski mereka sering memakai kamar mandi bersama.

“Ya, beda-beda tipis lah.” Wira bersiul-siul.

“Aku bukan gay!”

“Buktiin donk, sekolah di tempat yang umum. Bukan sekolah yang isinya cuma cowok,” tantang Ayah yang tak sanggup dituruti Denta.

“Nggak mau!” Denta buang muka. Masih bertahan dengan keputusannya. Ia tidak mau. Ia takut. Perempuan itu menyeramkan!

“Den!”

“Ayah, please... jangan paksa aku lagi...”

Ayah menyerah. “Oke, kau boleh tetap sekolah di sekolah cowok. Tapi, tidak dengan kembali ke asrama,” nego Ayah yang dijawab dengan anggukan antusias Denta.

“Kalo itu sih, nggak masalah.” Denta tersenyum. Senyum pertama yang ia sungging di depan Wira sejak menginjakkan kakinya di rumah.

“Bagus kalau begitu.” Ayah tertawa nista. Jangan kira bocah kemarin sore bisa ngalahin otak briliant-nya. Wira bersumpah demi kuda lumping makan beling, ia tak akan berpangku tangan soal keabnormalan putra kesayangannya yang bandel ini.

Ayah menyimpan kembali tawanya agar Denta tak curiga. Ia bersenandung dan melangkah menuju kamar yang ada di lantai atas. Sesampainya di ruang luas tempat istriahatnya itu, lelaki itu buru-buru meraih gagang telpon rumah dan menekan beberapa tombol. Menghubungi para ‘rekan-rekannya’.

***

Bagi Denta, asal tidak dipaksa pergi ke sekolah umum, maka semua akan baik-baik saja. Ia merasa semua akan baik-baik saja karena tidak menyaksikan sendiri bagaimana Ayahnya mengatur rencana di balik pintu kamarnya yang terkunci rapat, Denta juga tak tahu bagaimana pria single parent itu terkekeh penuh kemenangan membayangkan rencananya yang tak mungkin gagal.

***