cover landing

Atrani

By Maria Perdana


Kakinya baru menjejak tanah Italia Selatan, tapi rasanya kakinya sudah memilih untuk mencintai kehangatan iklim khas Mediterania milik Salerno. Dia teringat kala dia baru pertama kali berlabuh di ibu kota. Roma langsung membuatnya jatuh cinta.

Namun, Salerno. Oh, Salerno membuatnya ingin mengikat janji sehidup semati dengan kota pelabuhan ini.

Salerno lebih hangat dari Roma dan tidak sepanas kota kelahirannya, Surabaya.

Delapan bulan sudah dia meninggalkan Surabaya. Namun, rasanya masih seperti kemarin. Dia masih ingat rasa sedih ketika harus meninggalkan teman-temannya untuk melanjutkan bab baru hidupnya 11.000 kilometer jauhnya dari Surabaya.

Dia bisa saja bersikukuh tinggal di Surabaya, menyelesaikan studinya yang tinggal menyisakan skripsi. Tetapi, papanya ragu meninggalkan anak-anaknya sendiri. Pada akhirnya, keluarga akan selalu menjadi pilihan pertamanya.

Jadilah di sini dirinya saat ini, memulai hidup yang baru. Hidup yang benar-benar baru. Bertemu dan mempelajari budaya baru tidak masalah, toh, orang-orang Italia sangat ramah pada turis.

Memang dia sudah bukan turis lagi, dia punya legalitas tinggal sebagai penduduk, sama seperti masyarakat Roma lainnya. Namun, wajahnya yang sangat Asia dan lidahnya yang masih kaku berbahasa Italia membuatnya disangsikan telah tinggal di Roma selama delapan bulan terakhir ini.

Kota tempatnya bermukim sangat indah. Iklim di Eropa juga menyenangkan. Sejauh ini, tidak ada yang tidak dia cintai tentang Roma.

Namun, cinta tidak sepenuhnya menggambarkan perasaannya ketika dia tiba di Salerno, kota pesisir yang memiliki segalanya: dari pantai yang masih jarang terjamah manusia sampai hutan-hutan asri, dari kursi terdepan untuk menikmati luas dan birunya laut Mediterania sampai pedesaan yang sarat tradisi dan budaya. Panoramanya pun bak ombak, tanjakan dan turunan, daratan dan pegunungan. Persis seperti pemandangan yang kerap tersaji dalam lukisan di rumahnya.

"Obat-obatan sudah?" tanya Sylvie, sang mama kala melihat dua anak gadisnya repot mengepak barang-barang untuk liburan mereka. Dia berdiri di daun pintu, bergantian menegok kamar keduanya yang berhadapan. "Minyak anginnya jangan lupa. Permen mint untuk berjaga-jaga kalau mabuk. Kakak, vitaminnya juga dibawa, ya. Botol airnya kok belum masuk? Biar nggak buang-buang uang nanti cuma buat beli air."

"Ma, kita ini mau liburan. Bukan pindah rumah," sahut Emilia sambil meraih pundak mamanya. "Kak Elle, kan, sudah kayak Mama Kecil, semuanya pasti dibawain sama dia."

"Ya, kalian ini, kan, baru pertama kali liburan berdua di negara orang, bagaimana Mama nggak khawatir? Kalau kalian tersesat bagaimana?"

"Ah Mama, kayak kita nggak bisa tanya saja. Orang-orang di sana juga pasti bisa bahasa Inggris sedikit-sedikit," balas Elle saat keluar dari kamarnya mengambil syal yang sedari tadi digenggam mamanya. Ia melipat syal itu di tangannya sebelum berbalik untuk mengepaknya bersama dengan baju-bajunya yang lain. "Mama, kan, masih bisa kontak kita juga."

Sang mama terdiam, ditatapnya kedua anaknya dengan penuh kasih. Seketika memorinya mengembalikan dirinya pada masa 21 tahun yang lalu ketika si sulung, Elle, lahir. Begitu suster membawa Elle kepadanya, rasa bahagia dan cinta yang besar memenuhi seluruh tubuhnya. Belum pernah dia merasakan cinta sebesar ini pada orang selain dirinya, bahkan suaminya sekalipun.

Eleanor Gabriella Pranata, menjadi nama yang dipilihnya dan sang suami, Dennis. Mereka berdua sepakat bila anak mereka perempuan, Sylvie akan memberi nama pertama dan Dennis memilih nama kedua. Beruntungnya, kedua anak mereka perempuan.

Sylvie selalu menyukai nama Eleanor dan arti yang mengiringi nama itu. Eleanor artinya terang, bersinar. Sama seperti kehadirannya dalam keluarga Sylvie dan Dennis yang menerangi pernikahan dan rumah tangganya setelah melalui masa-masa berat. Sylvie selalu memimpikan perjalanan cintanya seindah di dalam novel-novel romansa.

Tapi, tidak begitu kenyataannya ketika dia bertemu dengan Dennis.

Perjalanannya cintanya dengan Dennis penuh dengan tantangan dan air mata. Dennis hanya memiliki dirinya dalam setiap fase kehidupan lelaki itu. Namun, tidak hentinya juga Sylvie berada di samping Dennis untuk mendampinginya, mendorongnya dan menjadikannya pria yang lebih baik dengan kesuksesan yang dia miliki sekarang.

Kariernya sebagai seorang diplomat bukanlah sesuatu yang didapat dengan mudah, bukan sesuatu datang tiba-tiba. Sylvie tahu betapa kerasnya Dennis bekerja. Dennis tidak segan melewatkan waktu berhari-hari untuk bekerja demi membuktikan bahwa dirinya layak untuk naik jabatan. Untuk dihargai dan dihormati. Hanya di dalam pekerjaannya, dia mampu memegang kendali dan membuktikan dirinya.

Di atas segala kerja keras itu, kehidupan bersama Sylvie masih menyita perhatiannya. Cintanya yang besar pada Sylvie mendorongnya untuk terus berusaha, seakan hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Perasaannya yang kuat pada Sylvie datang dengan keinginan yang juga tak kalah kuat untuk membuat pujaan hatinya itu bahagia dan memberikan Sylvie hidup yang layak, sesuatu yang hampir tidak pernah dinikmati Sylvie seumur hidupnya. Apalagi sebagai lulusan SMA, paling banter Sylvie hanya diberikan jabatan di bidang administrasi di perusahaan kecil.

Semua pengorbanan dan usaha kerasnya diganjar sempurna dengan kehadiran dua malaikat kecil di dalam hidup mereka.

Elle memiliki sebagian besar fitur fisik papanya: mata dan hidung yang kecil, senyum dan tawa lebar seperti papanya, dan bahkan caranya membelalakkan mata ketika dia bersemangat pun persis sama dengan papanya. Belum lagi sifat keras kepalanya. Untungnya, Elle dan sang papa sangat akur, sehingga perdebatan di antara mereka jarang terjadi. Walaupun tidak pernah terucap, Sylvie tahu, Elle adalah kesayangan papanya.

Meskipun keras kepala, Elle telaten seperti mamanya. Dia pandai merawat adiknya. Setidaknya ketika usianya mulai menginjak remaja awal, karena sebelumnya, tidak ada hari yang dilewatkan Sylvie tanpa melerai keduanya. Hal itu tidak cukup mengejutkan mengingat Emilia lahir ketika Elle baru menginjak usia 19 bulan. Sylvie dan Dennis tidak memperkirakan kedatangan anak kedua mereka secepat ini. Tentu saja, Elle yang belum mengenal konsep adik dengan baik, masih kesulitan untuk berbagi orang tuanya dengan "orang lain".

Namun, sekarang Elle sulit terpisahkan dari Emilia. Elle tidak bisa membayangkan hidup tanpa adik kecilnya dan Em tidak pernah bisa menemukan kakak yang lebih baik dari Elle.

"Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi Marcelo, ya," ujar Dennis, mengejutkan Sylvie. "Papa kirim nomornya ke kalian. Ada juga beberapa teman papa di sana yang bisa kalian hubungi."

Jemari Dennis bermain di atas ponselnya dan tak berapa lama, ponsel Elle berbunyi hampir bersamaan dengan ponsel Em. Nomor teman Dennis yang memiliki vila tempat Elle dan Em akan menginap sudah tertera jelas di layar ponsel mereka masing-masing.

“Aduh, Pa, nggak perlu sampai seperti ini. Kita, kan, berdua, bisa saling menjaga juga," sahut Em.

"Just in case, darling."

Emilia memutar bola mata dan kembali ke kamarnya. Sementara Elle menatap papanya sambil tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya.

"Makasih, Pa, tapi aku rasa kita nggak bakal butuh. Aku sudah menyiapkan liburan kami sampai detail kok, dari kami berangkat sampai pulang lagi. Tempat-tempat yang mau kami kunjungi juga sudah aku list, so no single day wasted."

"See? Mama Kecil," komentar Em sambil melongok dari daun pintu kamarnya sebelum kembali masuk.

"Kamu, tuh, selalu mengentengkan semuanya, Dek," balas Sylvie.

"Bukan mengentengkan, Ma, tapi, aku sudah percaya Kakak pasti sudah menyiapkan semuanya."

"Sama saja dengan mengentengkan."

"Nope. Percaya. Ada bedanya."

Sylvie menggelengkan kepala di dalam rangkulan suaminya. Dalam hati kecilnya, dia sedikit mengkhawatirkan Em. Anak bungsunya itu terlalu terbiasa dengan asuhannya dan sang kakak. Dia sering menggantungkan banyak hal kepada dirinya dan Elle.

Em enggan belajar memasak karena dia selalu memiliki Sylvie dan asisten rumah tangga yang membuat semua hal tersedia untuknya ketika mereka masih tinggal di Surabaya. Semenjak pindah ke Roma, Sylvie lebih banyak mengambil alih pekerjaan rumah tangga.

Dalam urusan sekolah pun, Em banyak mengandalkan kakaknya, bahkan sekadar untuk mencetak tugas sekolah. Em sering menitipkan banyak tugas sekolahnya pada Elle karena dia tahu Elle teliti, dia tidak akan meninggalkan tugas sekolah apa pun di rumah. Lalu, dengan gampangnya, Em tinggal meminta pada kakaknya setibanya mereka di sekolah. Elle pun tidak pernah menolak permintaan adiknya. Apa nanti jadinya bila Em harus tinggal sendiri tanpanya atau sang kakak?

Buru-buru ditepis pikiran buruknya. Em mungkin belum sedewasa kakaknya, tapi bukan berarti dia tidak akan bisa, kan? Mungkin liburan pertamanya ini akan menjadi titik baliknya.

Sylvie teringat Elle pun "dipaksa" untuk menjadi dewasa dengan adanya Emilia. Elle tidak lagi mendapatkan seluruh perhatian Sylvie dan Dennis, Elle "dipaksa" untuk berbagi kasih sayang dengan adiknya. Mungkin dalam liburan singkatnya dengan kakaknya, Em bisa belajar sedikit seperti Elle.

Sylvie menghela napas dalam-dalam. Dia selalu berusaha menahan diri untuk tidak membandingkan keduanya, tapi sisi manusia dalam dirinya kerap memberontak. Sebagai seorang ibu, dia menginginkan kedua anaknya menjadi yang terbaik.

Namun, terbaik untuk siapa? Pertanyaan itu selalu terlontar dari Dennis ketika Sylvie mengutarakan isi hatinya.

"Baik dan buruk itu tolok ukur yang relatif," kenang Sylvie pada ucapan Dennis. "Baik menurut Mama untuk Elle dan Em beda takarannya. Perilaku mereka terbentuk dari karakter mereka. Elle memang tekun dan telaten, sudah dari dulu. Em nggak bisa sama kayak Elle, tapi lihat, Em pintar menghidupkan suasana. Dia selalu ceria dan itu selalu menular. Ingat waktu papa harus pindah-pindah kota untuk bertugas? Siapa yang Mama cari kalau Mama butuh dihibur waktu papa sibuk dan susah dihubungi?"

Emilia.

Sulit memang membiarkan amarah mengambil alih ketika mendengar kelakarnya.

"Sudah!" seru Em dari kamarnya.

"Semua?" tanya Elle dari pintu kamarnya.

Kepala Em melongok dari pintu kamarnya. "Sudah satu koper maksudnya, kan, tadi belum kelar ngomong."

"Memang mau bawa berapa koper? Nggak usah banyak-banyak, Em. Nanti bagasinya nggak cukup."

Emilia memutar bola mata. "Mama Kecil."

***