cover landing

Assalamualaikum, Aluna!

By Andini Yudita Sari


Kamar ini terlihat sepi dan kotor, bukan karena sudah lama tidak dihuni. Melainkan, karena penghuninya kembali tertidur pulas setelah hampir tujuh jam lebih membalas semua chat dari pelanggan terkait launching produk lilin aromaterapi dan packing hampir dua ratus dus lilin siap kirim untuk nanti sore.

Aluna Syafiqah, namanya. Pemilik kamar berwarna merah jambu dengan semua furniture yang juga berwarna merah jambu. Di dekat meja belajar, terdapat ratusan botol kecil dan stoples-stoples yang biasa ia gunakan untuk membuat lilin aromaterapi. Ya, diawal usia dua puluh empatnya, ia berhasil menjadi salah satu pengusaha lilin aromaterapi yang lumayan sukses.

Dalam seminggu, setidaknya ia bisa mengirimkan minimal empat ratus dus lilin aroma terapi. Hebatnya, Aluna bekerja sendirian karena ia tidak mudah percaya dengan orang lain. Walaupun menyulitkan, tetapi ia suka melakukannya.

Tok! Tok! Tok!

“Luna,” panggil bundanya pelan dari luar pintu. “Luna, katanya tadi minta bantuan sama Ko Ramli buat nganterin paket ke JNE. Itu orangnya sudah datang,” ujarnya seraya masuk ke dalam kamar anaknya yang berantakan dan membangunkannya perlahan.

Aluna membalikkan badannya dengan mata yang masih terpejam. “Ko Ramli emang nggak jaga bakmi dulu?” tanyanya pelan, seperti sedang melindur.

Bunda pun membangunkan Aluna perlahan-lahan dan menepuk-nepuk punggungnya. “Ayo, biar cepat selesai,” sarannya.

Aluna mengangguk pelan. “Oke, Luna mandi dulu. Tiga menit,” ujarnya seraya keluar dari kamar, dan langsung masuk ke kamar mandi. Sedangkan Bunda membuntuti keluar kamar dan pergi menemui Ramli.

“Ramli, Aluna-nya baru bangun dan sedang mandi. Kamu tunggu dulu, ya? Dia kelelahan sekali sepertinya. Hari ini harus kirim dua ratus dus dan tadi malam dia menulis sampai hampir pagi,” ujar Bunda panjang.

Ramli tersenyum. “Tidak apa-apa, Bunda,” katanya singkat.

“Gimana kabar papamu? Dua hari kemarin, masih terbaring saja di kamar, kan,” ujar Bunda khawatir.

“Alhamdulillah, sudah membaik Bunda. Sudah bisa duduk di kursi roda dan makan bersama kami di meja makan,” balasnya seraya menjelaskan.

Bunda tersenyum senang. “Alhamdulillah! Nanti, Bunda kirimin makanan kesukaan papa dan mamamu, deh! Kue lapis.”

“Terima kasih, Bunda.” Ramli berkata seraya menganggukkan kepalanya.

Tiba-tiba, Aluna keluar dari rumah sambil menggeret puluhan kardus kecil dengan troli yang memang sengaja ia beli untuk mempermudah pengangkutan kardus. “Ko, hari ini lama ngga apa-apa?” tanyanya sambil cengengesan.

“Udah biasa lama, bukan?” tanya Ramli meledek.

Aluna langsung cemberut. “Mobilnya deketin, Ko,” pintanya. “Kardusnya banyak banget ini,” lanjutnya seraya memperlihatkan, bahwa yang ada di troli belumlah setengahnya.

Ramli mengangguk sambil berlari ke mobil dan memarkirnya tepat di depan troli Aluna. Lalu, ia segera keluar dan membantu Aluna memasukkan dan menata semua kardusnya di dalam mobil kijang tua tersebut.

Aluna harus mondar-mandir sampai empat kali untuk membawa semua kardus masuk ke dalam mobil. Setelah itu, ia pamit pada bundanya dan segera pergi, agar ia bisa segera tidur secepatnya―sebelum ia mulai menulis lagi nanti malam.

Di sepanjang perjalanan, Ramli dan Aluna hanya terdiam. Ramli sesekali melihat ke arah Aluna yang bolak-balik mengucek matanya yang mulai memerah. Ia tahu, Aluna pastilah sangat mengantuk. Mengerjakan dua pekerjaan sekaligus tidaklah mudah.

Aluna harus membagi waktunya sebagai penulis dan sebagai pengusaha lilin. Semua ia kerjakan sendiri dan Ramli tahu, bahwa gadis itu pastilah lelah.

Bahkan, Ramli yang dulunya saja pegawai swasta pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, dan memilih untuk melanjutkan usaha kelontong dan bakmi keluarganya karena ia tidak bisa fokus kalau masih juga mengantor, sambil memantau usaha keluarganya.

“Ko, sadar ngga kalau aku pake kerudung udah agak bener dan ngga jipon (jilbab poni) lagi?” tanya Aluna tiba-tiba yang langsung membuat Ramli tertawa kecil.

“Sadar. Kenapa emang?” tanyanya balik.

Aluna tersenyum jahil. “Gara-gara Koko ini. Malem-malem share tulisan tentang jilbab. Jadi takut aku! Terus, malem-malem tulisannya kayak terngiang-ngiang di telingaku. Serem banget,” jawabnya antusias seperti biasanya.

“Kan…, hanya mengingatkan,” ujar Ramli seraya membelokkan stirnya menuju jalan besar.

Aluna manggut-manggut. “Iya, Luna tau. Tapi, tumbenan tulisan ini kena ke jantung yang lemah ini. Biasanya, kan, cuma numpang lewat kayak tukang sayur di kompleks.” Luna lagi-lagi menyisipkan sedikit humor disetiap perkataannya yang langsung membuat Ramli tertawa.

“Kalau tukang sayurnya nginep, mau tinggal di mana emang?” tanya Ramli.

Aluna melirik Ramli sinis. “Jayus,” ledeknya singkat. “Koko emang selera humornya agak payah,” lanjutnya sambil tertawa kecil.

Ramli tersenyum mendengarnya. Sedari mereka kecil, Aluna memang selalu bilang, bahwa selera humor Ramli tidaklah sebagus dirinya dan ia setuju dengan hal itu.

“Ko, kalau kajian lagi, ajak aku, ya?” pintanya tiba-tiba.

Entah mengapa, Ramli serasa menghirup udara segar saat mendengar seorang Aluna menanyakan hal tersebut kepadanya. “Boleh, pasti Koko ajak!” Ramli menjawabnya dengan sangat antusias.

“Aluna Syafiqah mau mencoba berubah, nih!” serunya lantang. “Mau ngejar rida Allah,” lanjutnya pelan seperti bisikan. Tetapi, Ramli bisa mendengarnya dengan jelas. Aluna yang petakilan dan sempat menolak untuk berhijab, memutuskan untuk mengejar ridho Allah SWT. Tidak ada yang membuat Ramli bahagia, selain mendengar hal tersebut hari ini.

“Alhamdulillah,” ujar Ramli pelan sambil tersenyum senang.

Aluna langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ramli yang masih saja tersenyum. “Alhamdulillah kenapa, Ko?”

Ramli menggeleng. “Ngga apa-apa,”

Aluna mengernyitkan keningnya. “Tuh, kan! Koko memang aneh!” ledeknya seraya memandangi laki-laki yang sudah dua puluh empat tahun menjadi temannya itu.

Ramli selalu ada di samping Aluna semenjak dirinya lahir ke dunia. Orangtua Ramli berteman baik dengan orangtua Aluna, dan selalu menemani mereka di saat senang maupun sedih.

Aluna menganggap Ramli dan orangtuanya seperti keluarga sendiri. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada kata pamrih dalam hubungan mereka. Ramli akan selalu bersedia membantu Aluna dalam hal apapun. Begitu juga Aluna yang suka datang ke rumah Ramli untuk mencicipi resep bakmi baru dan membantunya di toko kelontong, kalau ia kehabisan ide menulis dan lilin aromaterapinya sedang sold out.

Aluna tidak pernah membayangkan hidupnya tanpa Ramli di sampingnya. Ramli sudah seperti kakaknya sendiri. Bahkan, lebih berharga dari kakak kandungnya―Bayu yang selalu menyakitinya dari kecil, bahkan sampai tahun lalu. Kalau Bayu pulang dalam keadaan marah, ia bisa mengobrak-abrik rumah, memukul Aluna, dan yang pasti menyisakan luka―entah di kening atau di tangan Aluna.

Ramli-lah yang selalu siaga untuk membantunya dan menenangkan Bayu. Aluna pernah berharap, andai saja Allah mengganti sosok Bayu dengan sosok Ramli. Mungkin, hidupnya akan lebih sempurna.

Ternyata, Allah mengabulkannya. Bayu menghilang dan Ramli selalu ada.

 

***

 

Ramli memandangi Aluna dari belakang. Ia sedang sibuk berbicara dengan petugas JNE. Mereka menjadi kawan baik, semenjak Aluna bolak-balik datang untuk mengirim paket. Sementara, Ramli selalu jadi obat nyamuk di antara mereka berdua setiap kali Aluna dan dirinya ke sini.

Ramli bersyukur, ia dan keluarganya bisa mengenal keluarga Aluna. Dulu, sebelum bertemu dengan keluarga Aluna, mereka sama sekali tidak memiliki Tuhan―agama pun tidak punya karena kakek Ramli memutuskan untuk tidak beragama. Mereka tidak memiliki pegangan apa-apa di saat terpuruk. Bunda Alunalah yang memperkenalkan agama islam kepada mereka dan membuat mereka yakin, bahwa agama ini adalah yang terbaik.

Ramli menjadi seorang muslim saat berusia lima tahun. Waktu yang tepat untuk belajar Iqra bersama-sama di TPA. Ia belajar sangat giat, agar dirinya bisa seperti teman-temannya yang lain, dan yang pastinya agar ia bisa mengajarkan Aluna. Maklum, ia tidak memiliki saudara lagi. Maka dari itu, Aluna sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Ia sangat bahagia, bahkan sampai sekarang.

“Ko, jangan bengong! Nanti kemasukan laler,” ledek Aluna yang langsung membuyarkan lamunannya.

“Udah?” tanya Ramli singkat.

Aluna mengangguk. “Sudah! Mari kita pulang! Aluna Syafiqah yang paling cantik di muka bumi ini, pingin tidur,” jawabnya sambil pencalitan.

Ramli tersenyum melihat kelakuan gadis yang sudah berusia dua puluh empat tahun itu. Masih saja seperti anak kecil.

Tetapi, Ramli menyukainya.

Ia menyukai Aluna yang selalu ceria, bahkan di saat dirinya sedang tidak ingin tersenyum.

“Ko, nanti aku traktir es krim aja, ya?” tanya Aluna sambil mengedipkan matanya.

Ramli menggeleng. “Emang, kamu kira koko anak kecil?” tanyanya.

Hampir saja ia ingin menjitak pelan kepala Aluna. Tetapi, niat itu ia urungkan. Aluna bukanlah lagi adik kecilnya yang dulu bebas dirinya peluk dan ia usap airmatanya ketika menangis.

“Kenapa, Ko?” tanya Aluna.

“Oh, mau buka pintu,” jawabnya seraya membukakan pintu untuk Aluna.

Aluna langsung tertawa. “Ya, ampun! So sweet! Biasa bukain pintu buat cewe-cewe, ya, Ko?” ledeknya.

Ramli menjulurkan lidahnya. “Ngga, ye!”

Aluna tertawa melihat reaksi Ramli yang lucu saat dirinya meledek Ramli dengan membawa kata, ‘cewe-cewe’ di dalam kalimatnya. Padahal, Aluna tahu, bahwa Ramli itu selalu sibuk dengan usahanya dan tidak sempat melirik perempuan, kecuali yang suka datang beli bakmi dan ke toko kelontongnya.

 

***