cover landing

As Much As I Love You

By wulankenanga


Tidak seperti perguruan tinggi pada umumnyayang menerapkan sistem perpeloncohan pada mahasiswa baru, memerintahkan memakai aksesoris layaknya ondel-ondel, dan bentakkan sana sini meskipun tak ada kesalahan—di sini, sama sekali tak melibatkan hal-hal kuno semacam itu. Masa penerimaan mahasiswa baru benar-benar merupakan ajang untuk saling mengenal satu sama lain. Benar-benar ajang bagi junior untuk menyerap apa saja informasi dari senior.

Mereka selalu berkata, daripada kita menghabiskan waktu untuk mencari bahan guna mengolok-olok diri sendiri, lebih baik kita saling mengenal satu sama lain, saling berbagi, dan saling mengakrabkan diri.

Kegiatan masa pengenalan mahasiswa baru dilandasi rasa kekeluargaan. Hari pertama, mereka saling mengenalkan diri. Berdiri di depan teman satu angkatan, menyebutkan nama, hobi, keinginan, dan cerita-cerita seru. Tak jarang dari mereka yang berdiam diri mematung selama beberapa menit atau justru seperti yang kita harapkan yaitu bercerita.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

Pada saat itu, di Fakultas Seni Rupa aku bertemu dengan  Ero. Mahasiswa program studi Desain Komunikasi Visual yang setahun lebih dahulu menginjakkan kaki di perguruan tinggi ini. Mahasiswa populer di kalangan para junior Jurusan Desain – karena sehari aku berada di sini, teman-temanku sudah membicarakan dia – dan teman yang kukenal belasan tahun yang lalu. Seingatku, Ero kecil dengan rambut kemerahan karena terik matahari tak semenarik sekarang. Dahulu, laki-laki itu tak memiliki senyum memikat seperti saat ini. Dulu, lelaki itu seringkali berwajah kusam dengan noda cat air di sekujur wajahnya. Saat itu, aku masih berusia sepuluh tahun dan Ero sebelas tahun.

Ero tinggal di sebelah rumahku. Kami bertetangga selama sebelas tahun sebelum aku pindah ke Semarang. Kini, setelah bertahun-tahun berpisah, aku masih mengenalinya sebagai Ero, sahabat kecilku.

Hilda teman baruku di perguruan tinggi berbisik, “Kak Ero ganteng banget, ya? Gue meleleh, nih!” Aku tersenyum kecil mendengarnya. Ero dengan nama lengkap Aero Likonesa Pramandu  memang lelaki yang memiliki magnet bagi perempuan. Rambutnya masih kemerahan, namun kini kulitnya begitu putih bersinar, kedua bola matanya ekspresif, bibir tipisnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Kami para junior selalu dibuat tertawa kala Ero berbicara di depan umum. Dia ramah, bersahabat, dan senior idaman para junior.

“Bukannya Kak Noe lebih keren, ya?” Ratasya yang duduk di sampingku menyahut. Aku menautkan kedua alisku, menajamkan pendengaranku. Mendengarkan teman-teman baruku membicarakan senior menjadi salah satu hal yang menarik.

“Serem, ah.” Begitu komentar Hilda. Gadis berjilbab itu bergidik ngeri. Aku sendiri tak berkomentar lantaran tak tahu mana objek pembicaraan mereka. Mataku melihat ke arah Ero yang masih berbicara di depan mengenai kehidupan kampus, sedangkan telingaku semakin tajam mendengar perdebatan seru antara Hilda dan Ratasya yang berada di samping kanan kiriku.

“Lihat dong, cara dia berdiri saja sudah sekeren itu,” bisik Ratasya. “Denger-denger dia salah satu kandidat untuk presiden BEM Fakultas. Partner Kak Ero.”

Ish, kenapa bukan Kak Ero yang jadi presiden BEM Fakultas?” Hilda masih bergidik. “Kurasa, dia lebih pantas.”

Aku tak tahan dengan percakapan mereka yang memenuhi gendang telinga kanan dan kiriku. Terpaksa, aku menginterupsi pembicaraan mereka. “Kalau boleh tahu, mana yang namanya Noe?”

“Itu, loh, yang berdiri sambil senderan di tembok. Yang kedua tangannya di dalam saku.” Ratasya antusias memberitahuku. Sejurus kemudian, mataku beralih dari Ero ke Noe yang ditunjukkan oleh Ratasya. “Keren, ya?”

Seperti yang dikatakan Ratasya, laki-laki itu bersandar di dinding tidak jauh dari kami. Tangan kanannya berada di dalam saku celana panjang cargo hijau tua, dan satu lagi memegang sebuah benda semacam permainan. Dari tempatku duduk, aku tak mengenali benda apa itu.

Detik berikutnya, tangan kirinya berhenti memainkan benda tersebut. Kepalanya yang awalnya menunduk mendongak dan melihat ke arah kami. Seakan ia sadar sedang dibicarakan, Noe menyipitkan mata, kedua alisnya saling bertaut. Untuk sesaat pandangan mata Noe dan aku bertemu. Tak seperti perempuan-perempuan lainnya yang memutuskan kontak mata ketika bersitatap dengan seseorang yang baru saja mereka bicarakan. Aku tetap menatapnya, sampai ia menarik tangan kanannya dari dalam saku celana dan berjalan ke tengah-tengah, berdiri di samping Ero.

Tepat saat itu, aku ingat pernah bertemu dengannya sebelum ini.

***

Aku bertemu Noe sekitar sebulan yang lalu.

Ero yang saat itu berjanji membantuku untuk registrasi ulang tak datang. Ia berjanji akan menemuiku di kantor BAAK pukul sembilan pagi. Sayangnya, karena aku terlambat tiga puluh menit, ia tak menemuiku di gedung BAAK lantaran sudah terlanjur membantu mahasiswa baru yang lain untuk registrasi ulang. Tentu, ia tak bisa meninggalkan mahasiswa baru tersebut untuk menemuiku. Ero berkata akan segera datang, aku diminta untuk menunggu sebentar lagi. Tapi, aku tak bisa menunggu.

Buatku, menunggu adalah hal yang membosankan. Suatu pekerjaan yang membuang-buang waktu. Kukatakan pada Ero, bahwa aku bisa mengurus registrasi ulang sendiri. Saat itulah Noe datang. Laki-laki itu berdiri tepat di sampingku. Kedua mata sayunya menatapku penuh keingintahuan, kedua tangannya di dalam saku celana jeans belel dan kemeja kebesaran yang dibalut jas almamater.

“Bantuan?” Ia bertanya dengan satu alis kanan terangkat sedikit.

“Y-ya,” jawabku.

Tanpa berkata apa pun, Noe berjalan mendahuluiku. Untuk sesaat aku tertegun, seiring kepergiaannya. Noe berhenti dan berbalik. Kedua matanya melihat ke arahku, kemudian kepalanya mengisyaratkan untuk mengikutinya. Saat itu, aku baru mengerti.

Noe mengantarku ke pos-pos yang menjadi syarat registrasi ulang. Ia dengan sabar menungguku hingga selesai. Waktu yang ia butuhkan tidaklah sebentar karena antrean panjang disetiap pos membutuhkan waktu lima belas sampai dua puluh menit. Sampai akhirnya, aku berkata kepadanya.

“Beritahu saja di mana tempatnya, aku bisa pergi sendiri.” Tanpa berkata apa pun, Noe menarik salah satu berkas dari tanganku. Ia menarik selembar brosur berisi denah kampus, merogoh pulpen dari saku almamater, menarik tutup pulpen dengan gigi, kemudian melingkari mana saja tempat yang harus kudatangi.

“Oke. Aku mengerti,” ujarku.

Noe menyerahkan denah tersebut kepadaku, kemudian menyunggingkan sedikit senyumnya, lalu berjalan meninggalkanku.

Setelah kepergian Noe, aku melihat denah yang ditunjukkan olehnya. Mengikuti setiap intruksi yang tertera di buku panduan. Ternyata, menemukan tempat-tempat itu tak semudah yang kubayangkan. Registrasi ulang pada perguruan tinggi tak semudah ketika registrasi ulang semasa sekolah. Di sini lebih rumit, lebih detail, dan lebih melelahkan karena tempat yang harus kudatangi jaraknya berjauhan. Selain itu, satu hal yang membuatku kesal, aku tak membawa salinan ijazah SMA-ku. Seharusnya, semalam aku menyiapkannya dengan teliti.

Semalam, Ero sudah menawarkan diri untuk membantuku menyiapkan berkas-berkas yang harus kubawa ke kampus keesokan harinya. Tapi, dengan percaya diri aku menolak dan mengatakan bahwa pekerjaan semacam ini tak perlu melibatkan orang sekampung.

“Kamu yakin?” Ero berbicara ketika kami berada di taman depan rumah. “Perguruan tinggi berbeda dengan masa SMA,” imbuhnya.

“Aku bisa, Ero. Aku tahu, aku bukan anak kecil lagi.” Nyatanya, menjadi dewasa saja tak cukup untuk menjadi orang yang teliti. Dewasa tak menjamin dirimu menjadi orang yang selalu bisa mengandalkan diri sendiri.

Ah, seharusnya kemarin aku menerima tawaran Ero, batinku.

Aku menghela napas panjang. Mengusap peluh yang membasahi dahi, merogoh tas selempang berwarna cokelat tua untuk menemukan botol minumanku. Sayangnya, botol itu kosong. Bahkan, aku lupa mengisinya sebelum berangkat. Lagi-lagi, aku menghela napas dan berjalan mencari tempat fotokopi terdekat.

Untungnya, tempat fotokopi itu tak begitu jauh. Meskipun begitu, aku harus lebih bersabar lagi karena tempat fotokopi terdekat penuh sesak. Lagi-lagi, aku harus mengantre. Untuk itu, aku duduk di kursi memanjang depan toko dan mengibas-ngibaskan map kuning di tanganku. Saat itulah, sebuah botol minuman terulur di depanku. Aku mendongak, dan mendapati Noe berdiri di depanku.

Untuk alasan yang tak jelas, ternyata sedari tadi laki-laki itu membuntutiku.

***

Fakultas Seni Rupa mempunyai sebuah kantin di tengah-tengah gedung fakultas yang menjulang tinggi. Bangunan tersebut terdiri dari satu lantai, berbentuk melingkar. Warung-warung berjejer di tengah bangunan yang sudah dibagi menjadi petak-petak. Kantin ini tidak jauh dari lahan parkir dan taman berumput hijau yang lumayan luas dan asri.

Ero mengajakku, Hilda, dan Ratasya ke kantin tersebut ketika waktu istirahat tiba. Kami duduk di dekat penjual siomay dan penjual jus yang Ero panggil Mbak Rumi.

“Bagaimana rasanya jadi mahasiswa baru?” Setelah hampir seminggu mengikuti kegiatan penerimaan mahasiswa baru, untuk kali pertama Ero bertanya. Sebelum-sebelumnya, ia tak pernah menyinggung mengenai kegiatan ini ketika kami di rumah maupun di kampus.

Aku mengendikkan bahu, tersenyum singkat. “Entahlah. Aku belum benar-benar merasa jadi mahasiswa.”

“Ya. Ya. Sebelum kamu menemukan bertumpuk-tumpuk tugas dan kuis dadakan.” Ero tertawa. Suara tawanya renyah. Kemudian, ia berpaling ke arah Hilda dan Ratasya. Ia mengulurkan tangannya. “Ero. Tetangganya Bil.”

Aku tertawa kecil melihat ekspresi Hilda, begitu juga Ratasya. Sejatinya, mereka baru tahu mengenai aku yang sudah mengenal Ero. Mungkin, mereka teringat mengenai perdebatan kecil mereka ketika membicarakan Ero dan Noe beberapa waktu yang lalu. Dengan kikuk, mereka mengulurkan tangan menyambut tangan hangat Ero.

“Ada apa, sih?” Ero melihatku dengan bingung. Ia tak tahu alasan di balik tawa kecilku.

Hilda mendekatiku, berbisik di telingaku. “Kamu nggak ngomong kalau kenal Ero?”

Ero yang duduk di depanku masih menatapku untuk meminta jawaban. “Nggak ada apa-apa. Hanya saja, Hilda ini fans berat kamu.” Kurasakan cubitan Hilda di pahaku. Aku tertawa kecil.

Ero terbahak. “Terima kasih, lho!” ucapnya. Kulihat wajah Hilda bersemu merah. “Oh, ya. Kalian ikut kan acara kamping kita bulan depan?”

“Tentu saja kami ikut!” seru Ratasya. “Omong-omong, Kak Noe juga ikut, ‘kan?”

Ero tertawa. “Ah, fans berat Noe sepertinya.” Ia mengambil jeda. “Tentu saja dia ikut. Nggak mungkin, nggak.”

Ero berdeham. “Ehm, tapi jangan kecewa ya nanti. Buat informasi saja nih, Noe sudah punya gandengan.” Ia kembali tertawa, kemudian meraih garpu dan memasukkan bulatan olahan daging ke mulutnya.

“Dengar-dengar Kak Noe itu playboy, ya?” tanya Hilda hati-hati. Ero tertawa lagi. Di sebelah Hilda, Ratasya memasang muka kecewa.

“Semua orang beranggapan begitu.”

“Kenyataannya, nggak?” sahut Ratasya dengan semangat.

“Kenyataannya, memang begitu.” Laki-laki di depanku itu memamerkan senyumnya. Kemudian, ia melihat ke arahku. “Kamu ikut, kan?”

“Huh?” Mata kami saling bertemu, sesaat kurasakan keheningan di sekitarku. Otakku penuh dengan kamping yang diadakan di luar kampus. Acara itu tentu tak resmi, hanya ide dari anak-anak BEM semata dan mahasiswa baru tak wajib untuk ikut.

Aku malas mengikuti acara kamping semacam itu. Bukannya apa-apa, hanya saja aku tak mudah untuk tidur di tempat asing, terlebih lagi di alam terbuka dengan cahaya api unggun dan udara dingin yang menemani. Buatku, mendekap di dalam kamar dengan menonton drama Korea secara maraton adalah hal ternyaman ketika malam Minggu.

“Sepertinya nggak.”

“Ah, nggak seru!” Ratasya menyahut.

“Kamu harus ikut, Bil.” Hilda ikut-ikutan memprovokasi.

“Acara ini nggak wajib, kan?” tanyaku. “Aku malas harus bermalam di tempat asing.”

Ero meletakkan garpunya di atas meja, bersedekap sembari melihat ke arahku. “Khusus untuk kamu, acara ini wajib, Bilqis Syailendra.

“Ah, Ero! Aku malas mengikuti acara semacam itu.” Aku merajuk.

Ero mengeluarkan jari telunjuknya, melakukan gerakan semacam wiper. “Aku nggak main-main, kamu wajib ikut. Aku bisa berkata pada anggota BEM kalau kamu menyalahi aturan ketika kegiatan penerimaan mahasiswa baru.”

“Curang. Kamu nggak boleh menggunakan wewenang seenak sendiri seperti itu,” protesku.

Saat ini, Ero merupakan ketua BEM jurusan. Tentu, ia bisa saja memberikan sanksi padaku meskipun dengan alasan yang mengada-ada.

Aku menghela napas panjang, memajukan sedikit bibirku. “Aku membencimu, Ero.” Aku berkata dengan nada yang kubuat-buat. Ero tertawa, tangannya terulur mengusap puncak rambutku. Sentuhan kecil itu membuat hatiku menghangat.

***

“Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, kupikir penyakit susah tidur di tempat asing itu telah lama menghilang. Nyatanya, kamu masih sama seperti Bil yang kukenal dulu.”

Aku dan Ero berjalan bersisihan di selasar kampus. Setelah acara penutupan kegiatan penerimaan mahasiswa baru usai, ia menawariku tumpangan untuk pulang. Rumah kami bersebelahan, tentu aku mengiakan.

Ero sangat tahu mengenai ketakutanku tersebut. Sejak kecil, aku tak suka tidur di luar rumah bahkan ketika aku sakit dan harus rawat inap. Karena aku tetap tak bisa tidur di rumah sakit. Akhirnya, aku mendapatkan perawatan di rumah. Di kamarku. Trauma itu timbul begitu saja sejak ayah meninggal.

“Ini trauma, Ero, bukan penyakit,” ralatku. “Dan, kamu benar-benar menyebalkan. Bagaimana kalau aku terjaga semalaman waktu acara itu? Kamu mau bertanggung jawab?”

“Tentu,” sahutnya. Ero berdiri di depanku, kepalanya sedikit menunduk menatapku dengan intens.

Aku bersumpah jika aku bergerak sedikit saja, kulit wajahnya akan menyentuh kulit wajahku. Pada posisi semacam ini, tubuhku terasa kaku. Bibirku keluh. Berkali-kali aku menelan ludah. Kemudian,  tubuh Ero mundur. Seseorang telah menariknya.

Noe berdiri di belakang Ero, kedua tangannya berada di pundak laki-laki itu. “Masih siang dan lo mau mesum di kampus?” Ia mencibir, melirikku sebentar kemudian beralih pada Ero. “Nih, daftar peserta acara bulan depan.” Noe menyerahkan sebuah map warna biru kepada Ero.

Ero menerima map tersebut, membukanya, dan kedua matanya menyusuri setiap nama yang tercetak di sana. “Sebanyak ini?” ia terkejut. “Ini sih, hampir seluruh junior ikut.”

Noe menepuk bahu Ero dua kali. “Sisanya lo urus sendiri, ya. Gue duluan.” Ero mengangguk.

Noe melihat ke arahku, kemudian sudut bibirnya terangkat sedikit sebelum berlalu. Laki-laki itu berjalan dengan mantap. Dan, di ujung koridor ada seorang gadis tinggi semampai dengan kaus merah yang mecetak lekuk tubuhnya. Noe merenggangkan kedua tangannya untuk memeluk gadis itu. Tanpa sadar aku terus menatap kepergian Noe sampai laki-laki itu menghilang di balik tembok.

“Yuk, pulang!” Ero menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk, dan mengikuti langkah kakinya.

***