cover landing

Aresh

By RosmeidinaL


Suara riuh tepuk tangan dari penggemarnya memenuhi stadion. Sejumlah light stick teracung ke atas, memancarkan warna abu-abu terang yang menjadi ciri khasnya. Semua orang mengelu-elukan namanya dengan berteriak. Entah menangis, entah terharu. Konsernya berakhir dengan sempurna.

Dia melambaikan satu tangannya sedangkan tangan yang lain memegang sebuket bunga mawar merah. Hadiah dari salah satu penggemar saat menyanyikan satu lagu terakhir tadi. Hujan deras di luar stadion tidak begitu terdengar sejak ditutupnya atap sejam yang lalu. Seolah stadion ini hanya milik mereka semua. Milik sang idola lebih tepatnya; Dreya Aeary.

"You did it, Dreya." Seseorang dari samping panggung menyemangati melalui earphone dengan jempol terangkat juga raut senang. Itu manajernya, kakak laki-lakinya sendiri, Finn Ashley.

Dreya tersenyum. Konsernya telah berakhir namun para Dreys—sebutan untuk penggemarnya—masih memenuhi stadion. Seperti sedang menunggu sesuatu.

Ah, baru dia ingat sekarang. "Here we go, Dreys!" Dreya mengangkat satu tangannya ke atas. "Pulanglah ke rumah dan ceritakan pengalaman kalian di sini pada orang tersayang kalian. See ya!" Lantas mengerling manja. Satu ritual yang selalu dia lakukan saat konser berakhir selain kalimat yang dia sebutkan barusan. "Ah, satu lagi…"

Kemudian degan cepat satu tangannya yang masih terangkat ke atas, bergerak lalu dari udara yang kosong muncul sparkle berwarna silver yang jatuh bagai hujan. Simbol yang menjadi identitasnya semenjak debut sebagai penyanyi dua tahun lalu. Para Dreys berteriak takjub, seperti yang dia duga.

***

"Dreya!"

Panggilan itu terdengar lagi. Di saat tangannya sibuk membubuhkan tanda tangan di setiap buku atau pun poster yang disodorkan di hadapannya. Orang-orang itu terus memanggil namanya berebut untuk menerima tanda tangan. Saling berjubel satu sama lain meskipun hujan baru saja reda dan pakaian mereka basah.

Mudah menebak apa yang sedang dilakukan Dreya jika melihat antrean panjang dan poster-poster yang terpampang dengan jelas di sepanjang jalan. Ya, acara fansign yang rutin dilakukan setelah konser.

Dreya tak merasa penat sedikit pun walau tangannya tak berhenti bergerak. Karena memang ini yang dia mau. Popularitas, kemewahan, pujian, semuanya. Usahanya tentu tidak sia-sia. Dua tahun lamanya dirinya jungkir balik. Bahkan bukan sekali dua kali dia ditolak oleh banyak agensi besar hingga bisa menjadi seperti sekarang ini.

Menyerah berarti kalah, itulah prinsipnya.

Karenanya, namanya cepat melambung. Usahanya berhasil. Seluruh penjuru dunia mengenalnya sebagai Dreya Aeary, penyanyi bersuara merdu bak emas yang telah dipoles berkali-kali. Wajahnya cantik, tak perlu ditanyakan lagi. Manik matanya hitam sehitam jelaga. Sikapnya yang kadang ramah kadang dingin itu sukses menjadikannya prioritas utama yang dicari kaum adam. Senyumnya kecil, namun misterius.

"Dreya! Oh, aku tidak menyangka bisa bertatap muka langsung dengan penyanyi seperti kamu. Kamu lebih cantik dari yang biasa kulihat di TV." Seorang penggemarnya berkata heboh. Air mata sudah bersarang di pelupuk mata karena tiba gilirannya bertemu sang idola.

Dreya tersenyum. Tangannya tak berhenti mencoret benda yang dibawa gadis itu. Entah itu kaus, topi maupun album. "Terima kasih," katanya. "Aku sangat bersyukur karena memiliki penggemar seperti kamu."

Tentu saja, memangnya siapa di dunia ini yang tidak akan merasa senang jika dicintai sebegitu besarnya oleh orang lain? Dimanjakan dengan kalimat-kalimat pujian guna meningkatkan rasa percaya diri. Dreya pikir tidak ada. Dan dia adalah salah satunya yang merasa bahagia. Terlampau bahagia malah. Sampai-sampai seluruh oksigen di sekitarnya bisa saja habis tak tersisa.

"Aku juga membawakanmu hadiah,” kata penggemar itu lagi masih menahan tangis sambil menyodorkan hadiahnya untuk Dreya.

"Benarkah?" Dengan senang hati gadis berambut cokelat itu menerima hadiahnya. Tangannya bergerak membuka bungkusan berwarna merah tua di tangan dan langsung mengenakan topi putih yang bertuliskan namanya. "Terima kasih," katanya lagi.

"Bolehkah aku memelukmu?"

"Sure, why not?" Tanpa pikir panjang Dreya bangkit dari duduknya dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan salah satu penggemarnya memeluknya erat. Penggemarnya itu kembali menangis. Tangisan yang lumayan keras. Lalu menyudahi pelukannya dan pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Di depan sana, masih berjubel orang menunggu giliran bertemu Dreya. Satu per satu dari mereka terus mengelu-elukan namanya. Menggaungkan berbagai macam pujian seolah tak merasa lelah karena sudah seharian menunggu giliran.

Sebenarnya tanpa sepengetahuan siapa pun, Dreya menggerakkan satu tangannya yang tak tersorot mata untuk memunculkan sejumlah silver sparkle di atas tanda tangan yang dia buat. Bukan, bukan dengan istilah pada umumnya yaitu mengambil sparkle dari wadah kecil lalu menaburkannya di atas tulisan agar terlihat berkilauan. Bukan seperti itu. Ini lebih seperti Dreya menggerakkan tangan kosong di udara, lalu muncul sparkle secara ajaib. Memunculkan dalam arti suatu anugerah karena hanya dia yang punya. Sebuah keputusan yang dia ambil agar senantiasa diingat.

Namun, tentu saja semua ada konsekuensinya. Seperti hukum alam, aksi reaksi juga sebab akibat. Dreya bahkan tidak tahu kalau dalam waktu beberapa menit ke depan, semua usahanya berubah. Malah mungkin akan kembali mengalami jungkir balik.

"Ehm, Mbak. Bisa tolong cepat sedikit? Bukan hanya Anda yang mengantre di sini." Dreya mendengar salah seorang penggemarnya berkata ketus. Gadis yang rambutnya berwarna putih bergelombang dan memakai topi. Sejenak, Dreya merasa takjub. Gadis itu terlihat cantik meski sebagian wajahnya tertutup topi.

Setelah satu penggemarnya—yang mendapat protes tadi—pergi, kini giliran gadis berambut putih itu. "Hai," sapa Dreya ramah. Namun, bukannya senyum manis seperti yang dibayangkan, justru tatapan sinis yang dia terima.

"Jangan menatapku seperti itu." Dreya kembali memulai percakapan, masih tersenyum. "Aku yakin kamu datang kemari untuk meminta tanda tangan dari idolamu,  kan? Dan aku yakin kalau kamu yang tadi menyuruh orang sebelum kamu itu untuk cepat pergi supaya kamu bisa bertemu denganku."

"Hah?" Gadis itu semakin terlihat aneh. "Tunggu ... ehm, Dreya. Kamu punya dua kesalahan di sini."

"Kesalahan?" Alis Dreya terangkat tak mengerti.

"Ya, kuulangi lagi. Ada dua!" Gadis itu menjawab dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua. "Pertama, aku menyuruh orang itu pergi bukan karena aku ingin cepat bertemu denganmu, dan terlihat heboh kurang kerjaan seperti orang itu dan semua penggemarmu di belakang sana. Kedua, ini yang paling tidak masuk akal. Kamu, idolaku? Yang benar saja!"

Dreya sedikit tersentak. "Jadi, untuk apa kamu kemari kalau bukan meminta tanda tangan? Hanya mengolokku? Lebih baik kamu pergi saja!"

"Tanpa disuruh pun aku akan segera pergi, Nona!" jawab gadis itu cuek. Dikeluarkannya sebuah poster dan sebuah buku diary kecil dari balik saku jaketnya lalu disodorkannya kedua benda itu kepada Dreya. Mengabaikan tatapan tidak bersahabat dari orang-orang di belakang Dreya yang sebenarnya, lebih mirip anjing penjaga.

Dreya semakin tidak mengerti. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap kedua benda itu lalu menatap gadis di depannya bergantian.

"Halo, jangan menatapku seperti itu!" Dreya tahu, gadis itu mulai jengah. Terbukti dari sikapnya yang melipat kedua tangan di dada. "Cepat tanda tangan di situ, jadi aku bisa segera pergi dari sini."

"Tadi kamu bilang tidak ingin tanda tanganku. Jadi untuk apa?"

"Bukan aku, tapi ibuku!" Lagi-lagi gadis itu menjawab ketus. Kelewat ketus hingga membuat Dreya sedikit mundur ke belakang. Ya Tuhan, mengapa harus ada gadis cantik berperangai buruk di dunia ini?

"Jadi, kenapa bukan ibumu saja yang datang kemari? Kenapa beliau harus menyuruh orang tidak ramah seperti kamu?" Dreya yang dari wajahnya terlihat penasaran, tetap menggerakkan tangannya untuk menandatangani kedua benda di depannya tanpa berat hati sedikit pun. Karena demi apa pun juga, seburuk-buruknya seorang penggemar, Dreya selalu merasa kecil tanpa dukungan mereka.

"Dengar ya, Dreya. Aku tidak mengerti bagaimana ibuku yang dulunya berpikiran kritis bisa mengidolakan orang seperti kamu. Mungkin kamu memakai semacam guna-guna supaya banyak yang bersimpati padamu dan menambah daftar uang yang akan kamu terima untuk tabungan masa depan? Who knows? Dan jangan tanyakan padaku bagaimana bisa ibuku menyuruhku pergi kemari. Karena yang pasti aku tidak akan sudi memberitahu orang seperti kamu!"

"Hei, aku tidak—uh, lupakan. Jadi, siapa nama ibumu?"

Gadis itu tersenyum menang, sebelum menjawab pertanyaan. "Hannah."

"Oke, to Hannah."

"Tunggu, apa itu tadi?"

"Ap-apa?" Dreya balik bertanya, sedikit tergapap. Keringat dingin sudah muncul di dahinya.

"Itu! Yang tadi kamu lakukan."

"Memangnya apa yang aku lakukan?" Dreya bertanya pelan. Jangan sampai orang di depannya ini tahu apa yang sebenarnya terjadi atau masalah besar akan menghantuinya. Iya, jangan sampai. Dreya terus merapal kalimat itu dalam hatinya.

Bukan apa-apa sebenarnya, tapi bagi Dreya, amat berbahaya jika ada yang tahu. Rasanya seperti seluruh dunianya diserap habis untuk segelintir kepentingan yang merugikan orang lain. Seperti para penguasa tamak, misalnya. Jika mereka tahu, maka habislah sudah. Dreya tidak akan pernah bisa hidup tenang di antara banyaknya pasang mata yang mencemooh dirinya nanti.

"Aku yakin kamu paham maksudku, Dreya. Jangan bertingkah seperti aku berhasil menangkap basah dirimu. Aku bukanlah orang yang dengan gampangnya kamu kelabui." Gadis itu mendekat ke arah Dreya lalu berbisik. Matanya menelisik tajam. "Kecuali semua penggemarmu ini tentunya. Karena mereka mungkin akan memanfaatkan orang dungu sepertimu ini demi kebahagiaan mereka. Atau jangan-jangan, memang benar dugaanku tadi kalau kamu menggunakan guna-guna supaya kamu bisa hidup sejahtera? Ha! Jangan berkelit. Wajahmu menjelaskan semuanya—hei! Apa-apaan kalian?" Belum selesai gadis itu berbicara tapi dua orang bertubuh kekar sudah mendorongnya ke pinggir. Dengan memasang wajah garang.

Syukurlah. Tanpa sadar Dreya mendesah lega. Paling tidak, ia bisa bernapas sejenak meski berkali-kali diancam dan diolok-olok. Tak apa. Yang penting, gadis judes itu berhenti mengatakan segelintir kalimat yang menyakiti hati dan tentunya, tidak akan pernah bisa dibalas oleh Dreya. Oh, memangnya apa yang bisa dilakukan gadis penakut sepertinya? Bukannya melawan dengan kepala terangkat, dia justru lebih memilih diam.

"Oke, tuan-tuan. Lepaskan aku! Aku bisa pergi sendiri tanpa perlu kalian bantu. Dan kamu, Dreya! Jangan pikir aku tidak akan mengawasimu setelah ini. Dan, terima kasih untuk tanda tangannya," kata gadis itu sesaat sebelum pergi dari acara fansign. Dreya terus mengamati gadis itu sampai punggungnya benar-benar tidak terlihat lagi.

Sepertinya Dreya harus lebih bersabar. Apalagi jika mengingat harinya setelah ini tidak akan pernah sama.

Karena tentu saja, ancaman gadis itu terlihat amat nyata.

***