Suara tangis itu terdengar lagi, kini lebih keras dari biasanya. Ada seseorang yang menangis di bilik toilet terakhir dari pintu masuk. Tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang merasa terganggu. Jelas, yang menangis bukanlah manusia, melainkan hantu. Yeah, kalian boleh berpikir aku sedang mengada-ada, tetapi itulah kenyataannya. Dan aku, Park Soo Yeon—yang masih dengan santainya merapikan rambut di depan cermin—bisa mendengarnya.
Jika kalian berpikir bisa melihat hantu adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Mulai dari sekarang, kalian harus membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku serius! Aku adalah salah satu cewek ketiban sial yang memiliki kemampuan ini. Mungkin bagi sebagian orang, bisa melihat hantu adalah hal yang keren. Tapi bagiku, kemampuan ini tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Aku malah merasa sial terus. Yeah, seperti sekarang ini.
Aku bisa saja mendobrak pintu toilet bilik terakhir, dan mengancam si hantu cengeng untuk berhenti menangis atau aku akan menendangnya sampai ke neraka. Ya ampun, suara tangis hantu itu membuat telingaku kesakitan. Suaranya terdengar seperti jeritan melengking cewek-cewek kecentilan ketika melihat serangga, namun lebih keras dan terus berdengung di telingaku. Tetapi aku tidak melakukannya, bukan karena aku takut. Asal kalian tahu saja, aku sudah sering bertemu dengan hantu yang punya wajah menyeramkan, aku ini sudah kebal.
Hantu adalah jiwa-jiwa yang tersesat. Kebanyakan dari mereka masih mempunyai urusan di dunia, sisanya tidak menerima kematian atau tidak tahu cara untuk pergi ke alam selanjutnya. Saat aku bertemu dengan mereka, sebisa mungkin aku bersikap masa bodoh seolah tidak bisa melihat mereka, namun tak jarang para hantu sadar dengan aktingku yang buruk. Jika para hantu tahu kalau ada manusia yang bisa melihat kaum mereka, para hantu itu akan menempel pada manusia seperti parasit dan memerintah manusia itu untuk menyelesaikan urusan mereka. Sialnya, beberapa kali aku harus terlibat dalam urusan mereka.
Lagi pula aku tidak sebodoh itu. Aku juga tidak ingin kehidupanku yang memang dari dulu biasa-biasa saja dan membosankan, terganggu lagi dengan kehadiran si mahluk halus itu. Oke, itu memang agak sedikit menyakitkan, jadi jangan bayangkan bagaimana caraku menjalani hidupku ini. Aku menutup pintu perlahan—meninggalkan si hantu cengeng dan teman-teman sekelasku yang sedang berganti baju.
Toh, setelah memasuki lorong koridor lantai dua, suara tangis menyebalkan itu sudah tidak terdengar lagi, terganti dengan suara bising dari jendela yang tebuka lebar. Jam pelajaran olahraga sudah berakhir lima belas menit yang lalu, tetapi masih banyak murid laki-laki yang bermain di bawah sana. Aku mendekati salah satu jendela yang terbuka. Menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus ke dalam.
“Hari ini sangat cerah.” Kata seorang cewek disampingku. Suaranya terdengar sedikit serak, seolah dia habis menangis kencang.
Aku mengangguk menyetujui dan membalas, “Hm, hari ini sangat indah.” Bagiku, musim semi adalah musim yang paling cantik. Musim dingin yang menusuk hingga ke tulang perlahan menghilang, tumpukan salju berlumpur—yang tak jarang membuatku tergelincir—perlahan mencair. Matahari bersinar terang seperti musim panas, tetapi udara terasa sejuk. Dan lebih menyenangkan lagi ketika bunga-bunga cherry blossom mulai bermekaran di halaman sekolah.
“Kau bisa mendengarku?”
Aku langsung menoleh ketika dia bertanya seperti itu. Kuperhatikan dirinya dan dia terlihat normal. “Tentu saja.”
Cewek itu terlihat sangat terkejut. Dia bertanya sekali lagi, memastikan. “Kau bisa melihatku? Bisa mendengarku?” Lalu dia tertawa dan wajahnya terlihat bersyukur. “Kupikir, manusia yang bisa melihat hantu hanyalah mitos.”
Apa dia bilang barusan? Hantu? Mitos? Manusia bisa melihat hantu? Seketika aku terdiam. Begini, aku memang bisa melihat hantu dan fakta itu bukanlah sebuah mitos. Aku yakin banyak orang di luar sana yang memiliki kemampuan sama sepertiku.
Aku bisa membedakan yang mana manusia dan yang mana hantu, walau beberapa hantu terlihat seperti manusia yang masih hidup, tentu saja ada perbedaan mencolok. Pertama, hantu memiliki kulit yang begitu pucat, seolah semua darah di tubuh tersedot keluar. Kedua, mereka terlihat agak transparan, tapi aku masih bisa melihat mereka dengan jelas. Ketiga, mereka seperti asap, walau terlihat oleh pandanganku, namun tak dapat disentuh.
Tetapi cewek ini normal, dia terlihat seperti manusia normal lainnya. Rambutnya terlihat halus dan tertata rapi, seragamnya juga diseterika dengan licin, wajahnya juga cantik. Yeah, itu memang tidak terlalu penting. Aku tidak menemukan ciri-ciri hantu pada dirinya dan yang lebih membuatku yakin adalah ketika aku dengan sengaja menyentuh tangannya. Aku menyentuhnya. Dia manusia.
Dulu orang-orang berpikir aku adalah cewek yang menyedihkan dan aneh. Waktu di Junior High School, beberapa kali aku pernah tertangkap sedang berbicara sendiri. Aku ini tidak gila, aku hanya sedang berbicara dengan hantu. Sayangnya, hanya diriku saja yang bisa melihat mereka. Akhirnya rumor aneh tentang diriku mulai beredar, mulai dari rumor aku bisa melihat hantu—aku tidak menyangkalnya, karena itulah kenyataan—sampai dikira sinting, bahkan ada yang bilang aku kabur dari rumah sakit jiwa. Hey, itu menyakitkan. Tetapi, aku tidak terlalu memikirkannya.
Beberapa dari mereka mengerjaiku, berpura-pura menjadi hantu dan mengajakku berbicara. Saat itu aku sangat muak dan marah. Aku memilih sekolah yang jauh dari lingkungan sekolah lamaku. Aku harus menempuh perjalanan panjang, berganti kereta bawah tanah beberapa kali untuk sampai ke sekolah, itu jauh lebih baik daripada bertemu mereka lagi.
Kehidupan baruku di Hannyoung High School memang tidak bisa dibilang mulus. Karena pada dasarnya, aku bukanlah cewek populer yang dikelilingi banyak cowok. Kalau di dalam drama, aku hanyalah cewek figuran yang tidak diketahui namanya. Itu lebih baik dibandingkan kehidupanku yang dulu, tidak ada yang menganggapku aneh dan tidak ada yang berpikir aku sinting. Aku cewek normal.
Dan aku tidak menyangka, ada orang yang ingin mengerjaiku lagi. Maksudku, aku tidak sebodoh itu untuk percaya bahwa gadis berpakaian seragam yang sama sepertiku adalah hantu. Jadi, aku hanya tersenyum dan meninggalkannya.
***
Bukankah ini sudah keterlaluan? Ini sudah tidak lucu lagi. Cewek itu mengikutiku. Cewek yang mengaku hantu—yeah, walaupun dia tidak terang-terangan mengatakannya—mengikutiku sampai di depan kelas. Dia tidak seharusnya mengikutiku, maksudku, dia harusnya kembali ke kelasnya! Dia harusnya mengikuti pelajaran selanjutnya. Harusnya dia berhenti berpura-pura, karena aku tidak tertipu. Lagi pula, cewek ini bukan teman sekelasku, jadi untuk apa dia mengikuti sampai ke sini?
Aku tidak memedulikannya dan langsung menggeser pintu kelas. Han Sonsaengnim (guru) belum datang, guru sastra yang bertubuh gempal dan botak itu memang sering terlambat masuk kelas. Mungkin terlambat tidak terlalu cocok, lebih tepatnya dia hampir tidak pernah masuk kelas. Sekalinya datang, hanya memberikan tugas lalu pergi entah ke mana.
Aku juga tidak terlalu menyukainya. Umurnya hampir setengah abad, tetapi guru itu dengan percaya diri masih menggoda murid-murid cewek. Hey, harusnya dia sadar dengan fisiknya yang tidak mendukung itu!
Banyak murid yang tidak memedulikan pelajaran termasuk diriku. Bagi teman sekelasku, Han Sonsaengnim hanyalah guru curang yang menggemukkan tubuhnya dengan uang hasil jerih payah orang tua murid. Seperti seorang koruptor. Jadi, jangan salahkan kami, jika banyak murid yang belum masuk ke kelas padahal jam pelajaran sastra Korea sudah berjalan lebih dari setengah jam.
Kelas 2-C bukanlah kelas unggulan yang memiliki segudang murid berprestasi. Hanya kelas biasa, tetapi kami memiliki seorang bintang sekolah—Son Seung Hoon. Cowok yang memiliki gelar sebagai cowok tertampan di sekolah itu adalah wakil klub basket. Rumor yang beredar, akhir bulan ini Seung Hoon akan menggantikan Kim Sang Yoon sang ketua klub. Katanya, Seung Hoon lebih bisa diandalkan dibandingkan Sang Yoon yang sering membolos kelas. Walau hanya rumor, tetapi banyak orang yang mendukungnya.
Aku memang bisa melihat hantu, bagi manusia normal aku sedikit aneh. Tapi untuk urusan lawan jenis, aku masih normal. Son Seung Hoon sangat tampan dan semua orang menyetujuinya. Tidak heran banyak anak cewek dari kelas sebelah rela mengintip dari jendela hanya untuk melihat wajahnya. Bahkan beberapa anak cewek populer di sekolah, sering keluar masuk kelasku hanya untuk mengobrol dengannya. Itu memang sangat menganggu, apalagi saat jam istirahat makan siang, kelasku sudah seperti pasar malam.
Sama halnya dengan Han Sonsaengnim, aku juga tidak terlalu menyukainya. Bagiku, Son Seung Hoon hanyalah cowok tampan yang suka tebar pesona. Entah mengapa, aku selalu melihat kesombongan yang terpancar dari wajahnya ketika banyak cewek-cewek yang bergerombol di sekitarnya seolah itu adalah hal yang wajar. Oke, itu memang wajar karena dia tampan. Tapi setidaknya, dia harus merasa bersalah dengan teman sekelasnya yang terganggu dengan kehadiran para penggemarnya itu, tak terkecuali diriku. Dan sialnya, Son Seung Hoon adalah teman sebangkuku.
Jika di sekolah lamaku, aku merasa terasingi karena aku bisa melihat hantu. Maka di sini, aku merasa terasingi karena duduk sebangku dengan cowok paling tampan di sekolah. Hey, itu bukanlah salahku! Di Hannyoung High School, tempat duduk diatur sesuai nomor undian yang kita dapat dan kalian tidak bisa memilih di mana kalian ingin duduk atau dengan siapa kalian ingin duduk. Tetapi, beberapa cewek menyebalkan berpikir:
PARK SOO YEON BERBUAT CURANG.
Aku menarik kursiku dari kolong meja dan duduk. Setidaknya masih ada waktu dua puluh menit lagi sampai bel istirahat makan siang berbunyi, artinya sekarang masih jam pelajaran, walau seperti biasa Han Songsaenim tidak menampakkan batang hidungnya, tetapi di kelas lain kegiatan belajar dan mengajar masih berlangsung. Tapi, kenapa para penggemar Son Seung Hoon berkumpul di kelasku, bergerombol mengelilingi mejanya? Dan yang lebih menyebalkan adalah cewek yang kutemui di depan toilet masih mengikutiku dan malah ikut bergerombol bersama Seung Hoon Fans Club.
Biar kuberitahu, Seung Hoon Fans Club adalah klub paling populer dan memiliki anggota sangat banyak. Walau bukan klub resmi, tetapi banyak orang yang bergabung. Mulai dari Jo Han Seul—cewek super cantik dan populer, incaran semua cowok di sekolah—sang ketua klub, Jeon Hee Jin Songsaenim—guru kesenian berumur tiga puluh lima tahun, sampai bibi penjual makanan di kantin. Semuanya tergila-gila dengan Seung Hoon sampai kehilangan akal sehat.
Dan namaku berada di urutan paling atas dalam daftar ‘cewek yang harus diwaspadai’. Karena mereka berpikir aku beruntung, padahal aku selalu menjerit dalam hati dan mereka bersikap seolah aku tidak pernah ada.
“Cowok itu benar-benar tidak sopan.” Cewek yang kutemui di depan toilet angkat bicara, setelah beberapa saat yang lalu mengikutiku dari belakang. “Dia tidak merespon mereka, tidak, dia bahkan tidak peduli dengan cewek-cewek itu.”
Aku menoleh. Seung Hoon hanya diam sambil membaca bukunya, matanya tidak teralih sedetik pun. Bukan! Seung Hoon bukannya tidak peduli dengan anggota fans club-nya, cowok itu bahkan tidak menganggap mereka ada. Dia tetap membaca, seolah hanya dirinya saja yang berada di kelas ini. Sejak kapan dia menjadi sedingin ini? Aku tidak tahu. Kami bahkan belum berbicara sedikit pun, padahal aku sudah duduk di sampingnya selama dua minggu. Mungkin dari dulu dia sudah sedingin ini.
“Apa yang mereka sukai dari cowok ini? Aaah… tampan? Sudah bisa ditebak.”
Aku kembali menatap cewek itu. Lalu dia kembali membuka mulut, “Jangan-jangan kau juga salah satu dari mereka?” Aku hanya membalas dengan tatapan apa kau bercanda? “Ah… mereka sangat berisik,”lanjutnya.
“Berisik dan menyebalkan,” kataku.
“Maaf. Kau sedang menyindir kami?” Jo Ha Seul bertanya dengan wajah sebal.
Aku kan hanya membenarkan apa kata cewek itu dan sedikit menambahkannya. “Sebaiknya kalian pergi saja. Kalian harusnya sadar, kalau kalian sangat mengganggu.” Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening, semua orang tercengang mendengar ucapanku, bahkan aku sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatanan. “Dia juga berpikir seperti itu,” kataku sambil menunjuk cewek yang mengaku hantu di depanku.
“Kau sedang meremehkanku? Siapa yang kau tunjuk?” Nada bicara Ha Seul berubah tinggi. “Ah… hantu?”
Aku sedang menunjuk cewek itu. Apa mereka buta?
“Hey, apa yang kau lakukan?” Cewek itu bertanya setengah berbisik. Tubuhnya sedikit mencondong padaku. “Mereka tidak bisa melihat dan mendengarku. Hanya kau saja. Aku kan hantu.”
Dan garis merah yang melingkar di lehernya—yang sebelumnya tertutupi oleh rambut—terlihat jelas, membuktikan bahwa cewek ini memang sudah mati.