cover landing

Another Hello

By Dariankastar


“Sekarang masalah apa lagi yang membuat kalian bertiga bertengkar seperti ini?”

Bel masuk berbunyi lima menit yang lalu. Di saat siswa yang lain telah memasuki kelas dan menerima pembelajaran, tiga siswa dengan title 'senior' itu justru harus mendekam di ruang Bimbingan Konseling dan menghadap Bu Ayunisa demi mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka lakukan pagi ini.

Lunar, Claudia, serta Jeanna menunduk dalam. Penampilan mereka yang kacau tidak bisa membuat Bu Ayunisa untuk tidak menggeleng prihatin. Ini masih pagi, dan tiga siswa 'teladannya' ini sudah membuat kekacauan di sekolah.

“Jeanna?” 

Mata guru berhijab biru itu tertuju pada seorang siswi di sisi kiri. Tampilannya benar-benar berantakan. Rambutnya kusut, seragam berantakan, serta dasi yang tidak terpasang sebagaimana mestinya. Saat ia tak mendapat jawaban apa-apa, mata Bu Ayunisa berpindah pada siswa di sebelah Jeanna. 

“Claudia?” 

Sosok siswi yang tampilannya terlihat lebih mendingan dibanding siswi di kanan-kirinya. Rambutnya masih rapi, dan seragamnya hanya lecek di beberapa sisi. 

“Lunar?” Karena tak juga mendapat jawaban, Bu Ayunisa kembali berpaling pada siswi yang duduk di sisi kanan. Penampilannya tak berbeda jauh dengan Jeanna, hanya saja dasi gadis itu sudah tak terpasang. Ada pula noda samar kecokelatan samar di salah satu sudut bajunya. “Kalian tidak ingin menjelaskan apa-apa?”

Ketiganya tetap bungkam. Mereka masih setia menunduk menatapi keramik. Entah tengah menyesali perbuatan mereka, atau justru enggan mendengarkan ucapan Bu Ayunisa.

Bu Ayunisa menghela napas, tampak lelah dengan situasi yang ia hadapi. Pagi ini seharusnya dilewati dengan ringan dan tenang, tapi ketiga siswa ini justru mengacaukan segalanya. Dia bahkan baru memasuki ruangan ketika mendapati kabar perihal pertengkaran ketiga siswanya itu dari salah satu penjaga sekolah.

“Apa saya harus memanggil orang tua kalian untuk membuat kalian bicara?”

“Jangan!” Lunar, Claudia, dan Jeanna menjawab serentak. Mereka tampak risau ketika Bu Ayunisa membawa-bawa orang tua.

“Kalau begitu, jelaskan kenapa kalian bisa bertengkar.” Bu Ayunisa menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Matanya sama sekali tidak berpindah dari ketiga siswa di hadapannya. Gesture-nya tenang sekali.

“Ini semua karena ...,” Jeanna berusaha menjawab, mata gadis itu bergerak seolah tengah mencoba merangkai alasan, “Lunar, Bu! Lunar yang mulai semuanya.”

Yang dituduh melotot kaget. Gadis itu sontak menoleh tak terima. “Lo ngigo? Jelas-jelas lo yang mulai duluan. Lo yang nyiram gue!” Lunar berpaling kembali pada Bu Ayunisa. “Dia, Bu! Dia yang mulai semuanya! Saya cuma membela diri!”

“Bohong, Bu! Saya nggak ngapa-ngapain. Saya lagi sarapan pas Lunar tiba-tiba datang dan jambak saya. Kalo nggak percaya, Ibu bisa tanya Claudia. Claudia ngeliat semuanya, kok! Dia bahkan tolongin saya.”

Lunar meradang di tempatnya. “EH—”

Bu Ayunisa mengangkat tangan, mengisyaratkan Lunar supaya berhenti. Matanya menyorot Claudia, seolah tengah memastikan kebenaran dalam ucapan Jeanna. “Benar begitu, Claudia?”

Claudia mengangguk tanpa ragu. “Benar, Bu. Tadi saya juga udah coba pisahin mereka, tapi malah saya yang ikut keseret.”

“Heh, lo berdua mau fitnah gue?!”

“Lunar.” Mata Bu Ayunisa kembali tertuju pada Lunar. “Apa benar kejadiannya seperti itu?”

“Nggak, Bu! Saya malah nggak tau apa-apa! Jeanna duluan yang mulai. Dia yang tiba-tiba nyamperin saya dan siram saya. Saya bahkan nggak tau motif dia apaan!” Lunar menjelaskan secara menggebu-gebu, tidak terima dengan penjelasan Jeanna dan Claudia yang terkesan mengada-ngada. Kapan Lunar mendatangi Jeanna dan menjambaknya? Di mimpi mereka, kah? Hell.

“Nggak, Bu. Dia bohong! Dia yang datengin saya terus jambak saya!”

“Eh, lo kalo ngigo jangan siang-siang! Lo pikir gue orang gila pake jambak orang sembarangan?!”

“Tapi kenyataannya begitu! Lo yang jambak gue duluan! Claudia lihat kok tadi. Iya, kan?” Jeanna mencari dukungan, yang langsung diangguki Claudia.

“Iya, Bu. Saya di sana, jadi saya tau.”

“Tau apaan? Tau kalo temen lo sinting dan nggak coba lo tahan? Emang bener-bener cocok berteman, ya, kalian berdua. Sama-sama ular.”

“Lunar.” Bu Ayunisa menegur pada kalimat Lunar yang keterlaluan. 

Lunar menatap Bu Ayunisa protes. “Ibu nggak bisa, dong, percaya sama mereka gitu aja! Mereka tuh berteman, bisa aja dua-duanya ngibulin Ibu buat jatuhin saya!”

“Heh, lo kalo ngomong jangan sembarangan! Gue nggak pernah berusaha buat fitnah lo. Yang gue dan Claudia omongin emang kenyataan!”

“Ya, ya, talk to my hand.” Lunar berbicara dengan nada mengejek. Gadis itu melipat tangan dan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Hatinya panas luar biasa. Rasanya ia ingin memasukkan kedua orang di sampingnya ini ke kolam piranha.

“Sudah, cukup!” Bu Ayunisa melerai. Lama-lama ia pusing dengan ketiga siswinya yang sejak tadi berusaha saling menjatuhkan. “Intinya adalah kalian bertiga bertengkar dan itu salah,” tukasnya final. “Saya tidak peduli siapa yang memulai dan siapa yang berbohong. Yang saya tau adalah kalian bertiga bertengkar. Jika kalian tidak mau memberi tahu saya apa motif kalian bertengkar, baik, tidak masalah. Saya tidak akan memaksa kalian berbicara. Tapi, kesalahan tetap kesalahan. Dan setiap kesalahan selalu memiliki konsekuensi. Kalian tau itu, kan?”

Ketiganya terdiam. Meski begitu, mereka tahu jika setelah keluar dari sini akan ada sanksi menanti. Mereka sudah sangat mengetahui itu. Ini bukan kali pertama ketiganya memasuki ruang BK dalam waktu yang sama. Rasanya sudah sangat sering. Mungkin Bu Ayunisa sendiri sudah bosan menghadapi ulah ketiganya. Di sekolah ini memang bukan hanya mereka yang kerap keluar-masuk ruang BK. Mereka hanya segelintir dari banyaknya siswa yang sering terlibat masalah. Namun, di antara semua siswa bermasalah, mereka bertiga merupakan siswa perempuan yang paling sering masuk BK karena bertengkar.

Lunar sendiri sudah sangat muak memasuki tempat ini dengan Jeanna dan Claudia. Seingatnya, dia tidak pernah berusaha untuk mencari gara-gara duluan. Dia selalu berusaha menghindar. Namun, dua manusia ular itu selalu mengusik Lunar. Mereka seolah tak membiarkan Lunar hidup tenang di sekolah. Ada saja kelakuan keduanya yang memancing pertikaian dengan Lunar. Dan jangan salahkan Lunar apabila dia melawan, karena Lunar bukan orang yang akan pasrah-pasrah saja ketika ditindas.

Bu Ayunisa lantas memberi sanksi-sanksi pada ketiga siswi 'teladannya' itu. Mereka yang mendengar hukuman apa yang harus dijalankan sontak berseru protes. Tapi keputusan Bu Ayunisa sudah final. Dan beliau juga berkata, hukuman itu lebih baik daripada Bu Ayunisa memanggil orang tua mereka ke sekolah. Serta merta tidak ada lagi yang berani protes. Mereka menerima hukuman itu, meski dengan hati dongkol.

*

Dengan wajah ditekuk masam, Lunar keluar dari ruang BK terlebih dahulu, meninggalkan Jeanna dan Claudia di belakang. 

Seharusnya sudah tidak ada siswa yang berkeliaran di koridor sekolah ketika Lunar keluar dari ruang Bimbingan Konseling. Jam pelajaran sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu, dan seharusnya para siswa tengah anteng dipusingkan oleh materi yang guru berikan. 

Namun, rupanya hal itu tidak berlaku bagi seorang laki-laki berseragam olahraga yang kini tengah bersandar pada pilar di depan ruang BK. Kedua tangannya terlipat di bawah dada dan sebuah kemeja putih bertengger di salah satu bahunya. 

Lunar baru akan membuka suara, ketika bahu kanan-kirinya ditabrak dari arah belakang. Pelakunya siapa lagi jika bukan Jeanna dan Claudia? "Woi, santai aja, dong!"

"Ya, elo diem di tengah jalan!" balas Jeanna nyolot, sementara Claudia hanya melirik sinis sekilas. Kedua gadis itu lalu melenggang pergi, tak peduli pada kemarahan Lunar.

Sementara Lunar sudah seperti ingin kembali menerjang mereka jika saja laki-laki yang tadi bersandar pada pilar itu tidak menahannya. "Udah. Lo mau masuk BK lagi?"

Lunar berdecak kesal. "Lo ngapain di sini?" ujarnya ketus. 

Bukannya menjawab pertanyaan Lunar, laki-laki itu—Eldra—justru mengulurkan tangan dan menyentuh sudut bibir Lunar. "Bibir lo luka."

Lunar tidak tahu itu. Dia juga tidak menyadarinya. Tapi sewaktu Eldra menyentuhnya, ada perih yang tertinggal. 

Lunar meringis pelan, tetapi langsung menepis tangan Eldra. "Bukan urusan lo." Dia berlalu meninggalkan laki-laki itu. 

"Lun!" Eldra mengejar, berusaha meraih tangan gadis itu tetapi kembali ditepis oleh Lunar. "Gue tau lo masih marah, tapi jangan kayak gini. Kita obatin luka lo, ya?"

"Gue bisa urus diri gue sendiri!"

"Oke, terserah," ujar Eldra, menyerah. Bersikap lebih keras pada Lunar hanya akan membuat gadis itu semakin keras kepala. "Tapi pake ini. Kancing seragam lo lepas, dan dalaman lo kelihatan. Lo nggak mau orang-orang lihat, kan?"

Ayunan kaki Lunar terhenti. Gadis itu menunduk dan mendapati jika dua kancing seragam paling atasnya terlepas. Sontak Lunar mencengkeram bagian yang terbuka. Rasa hangat perlahan menjalari pipi. Orang ini ... bisa tidak, sih, tidak mengatakan itu dengan wajah lurus-lurus seperti itu?!

Lunar berdeham. Mati-matian gadis itu menyingkirkan rasa malunya, meski rasanya ia ingin kabur detik ini juga. Lunar mengangkat dagu, berusaha untuk tak terlihat gugup. "Nggak usah, gue bisa beli sendiri di koperasi." 

“Kalo gitu biar gue yang beli, lo tunggu di toilet.”

Lunar berdecak kesal, ia menatap Eldra sebal. “Gue bilang, gue bisa sendiri. Lo ngerti nggak, sih?!”

“Gue ngerti, tapi gue nggak mau.” Eldra berujar tenang. Ia menatap wajah Lunar, seberusaha mungkin untuk menjaga matanya agar tak menatap ke mana-mana. “Emangnya lo mau ke koperasi dengan penampilan kayak gini?”

“Kenapa emangnya?” tantang Lunar dengan tangan terlipat di bawah dada.

Eldra menghela napas, mengerti betul bagaimana karakter Lunar yang seperti ini. Dia kerap kali menantang apabila sedang merasa tersudut. “Lun,  biar gue bantu lo, ya? Lo nggak mau, kan, anak-anak lihatin lo dalam kondisi kayak gini?” Laki-laki itu berbicara lebih lembut. Ia tatapi mata Lunar secara bergantian. “Gue nggak mau lo diomongin buruk sama anak-anak, oke?”

“Omongan buruk anak-anak tentang gue, bukan urusan lo. Gue bisa handle diri gue sendiri. Dan lo, urus aja diri lo sendiri,” tukas Lunar final. “Udahlah, El, gue capek ngomong sama lo, mending lo pergi.”

Lunar berusaha melangkah, tapi Eldra kembali mengadangnya. Eldra tak terlihat peduli pada tatapan tajam Lunar. “Are you mad at me?”

“Lo bener-bener nggak ngerti omongan gue, ya?!”

“Lun—”

“Minggir, Eldra.”

“De—”

“Gue bilang minggir.” Lunar menukas dingin.

Eldra menghela napas. Laki-laki itu mundur satu langkah. “Fine.” 

Lunar lantas melangkah melewati Eldra, meninggalkan laki-laki itu yang kini menatapi punggungnya.

Sekali lagi, ia gagal.

**