cover landing

Another Affair

By gendis aprilia


“Kak!”

Wanita yang masih betah tergulung dalam selimut itu harus mengumpat puluhan kali karena panggilan itu sangat mengganggunya. Ia hampir-hampir melemparkan benda apa saja ke pintu agar suara itu berhenti, namun ia tahu itu sama saja bunuh diri. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi mendapatkan alarm gratis yang takkan berhenti sampai ia menunjukkan batang hidungnya. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan deringannya. Suara memekakkan telinga itu dijaminnya takkan pernah berhenti sampai ibu mereka puas.

Alea. Wanita berusia 27 tahun itu bangkit dengan langkah gontai dari kasurnya. Ia sendiri pun malas melakukan apa pun hari ini. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan ngilu, lantaran semalaman ia harus lembur dan pulang pada jam satu dini hari. Di rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan ayahnya, ia hidup bersama ibu dan adik perempuannya, Eelya yang masih berstatus mahasiswi. Mereka hidup secara sederhana dengan mengandalkan warisan mendiang ayah mereka dan juga gaji Alea saat ini.

Bekerja di sebuah perusahaan kenamaan di Jakarta, Natawijaya Corporation selama setahun belakangan membuat Alea dan keluarganya bisa membeli sedikit barang mewah. Tak banyak, hanya sebuah mobil sedan bekas keluaran lama yang menjadi tumpangan setiap harinya bagi Alea ke kantor.

Setelah satu jam merapikan diri, ia mematut dirinya di depan cermin. Kulit putih terang dan juga rambut panjang dengan poni yang menutupi dahinya membuat Alea tampak seperti boneka. Tidak ada alasan bagi Alea untuk memoles dirinya seperti pegawai yang lainnya. Setumpuk pekerjaan sebagai sekretaris telah menyita waktunya. Jangankan untuk memoles dirinya sendiri, menggunakan waktu untuk mencari kekasih saja ia kewalahan.

Alea menghela napas berat saat mengingat hal tersebut. Terakhir ia menjalin hubungan adalah dengan salah seorang pegawai Natawijaya saat awal tahunnya bekerja di sana sebelum diangkat sebagai sekretaris. Entah kemana sekarang mantan kekasihnya tersebut. Mungkin sudah di mutasi, pikirnya.

Dengan helaan napas panjang dan  waktu yang tersisa satu jam sebelum mendaratkan bokongnya di atas kursi kantornya, Alea siap menerima tantangan hari ini. Tidak! Lebih cocok disebut sebagai siksaan. Setumpuk pekerjaan dan juga bos yang berwajah tampan dengan jiwa iblis.

Andra.

***

Pukul delapan Alea sampai di gedung tempatnya bekerja. Tak banyak kendala berarti selain kemacetan pagi yang diadang oleh lampu lalu lintas. Ia pun segera melesatkan mobilnya di parkiran bawah dan bergegas menuju lift yang berada di basemen. Namun, semangatnya untuk bekerja langsung luruh saat suara berat milik seseorang yang malas ia lihat menggema di telinganya.

“Bagus sekali, Nona Alea. Kau datang hampir bersamaan dengan atasanmu.” Kalimat sindiran itu menjadi satu hal yang menyambut pagi harinya setiap kali ia telat. Jika dihitung mungkin ia baru telat dua kali sepanjang ia bekerja di gedung itu. Pertama saat adiknya masuk ke rumah sakit dan yang kedua hari ini. Dengan alasan yang tak jelas tentunya.

Alea hanya bisa memutar bola matanya dengan malas. Tanpa perlu menoleh dua kali ia pun tahu hanya ada satu orang yang bermulut sinis dengan aroma parfum aftershave yang berkata demikian. Ia pun membalikkan tubuhnya dan membungkuk kepada atasannya itu memberi hormat.

Sejujurnya, Alea bisa saja memberontak. Ini baru pukul delapan, dan jam masuk dimulai pukul setengah sembilan. Bukan dirinya yang sengaja menelatkan diri, tapi pria ini yang terlalu rajin datang sepagi ini.

Di sana, sosok pria dengan pakaian jas formal memperhatikan dengan geli bagaimana sekretarisnya terlihat malas memberikan hormat kepadanya. Tatapan geli pun tak segan ia lemparkan kepada wanita itu. Mungkin jika wanita lain yang menerima perlakuan itu, mereka akan dengan senang hati melemparkan diri ke arah Andra yang tampak sangat menggoda. Tubuhnya yang atletis dan juga matanya yang berwarna cokelat terang itu memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi wibawa yang ditunjukkan Andra setiap kali memimpin rapat tak terbantahkan. Bahkan, dari apa yang pernah Alea dengar beberapa pegawai wanita sengaja menampakkan diri mereka lebih sering di hadapan bosnya ini agar Andra menjadikannya wanita simpanan.

Hell!

Alea tak mau melanggar batasan norma itu. Sejak awal menginjakkan kakinya di tempat ini ia sudah bersumpah bahwa dirinya takkan menarik perhatian laki-laki yang sudah menikah. Sudah cukup baginya mengalami patah hati dari para lelaki yang pernah mencampakkannya. Sekarang, ia hanya akan fokus pada pekerjaan dan juga nasib keluarganya. Ada ibu dan adik perempuan yang membutuhkan dirinya.

“Jika tidak mau, jangan membungkukkan tubuhmu. Membuat mataku iritasi.” Ucapan itu bagaikan petir yang siap menyambar ketenangan Alea. Dengan dada membusung, wanita itu mencoba untuk tidak terlihat lengah.

“Tidak. Maafkan saya.” Alea setengah hati mengatakannya. Ia lebih baik bergelung manja di atas tempat tidur daripada harus berhadapan lagi dengan lelaki ini. Alea sudah cukup bahagia beberapa hari kemarin Andra pergi ke Jepang untuk urusan dinas. Hidupnya menjadi lebih ringan dengan setumpuk pekerjaan mengatur jadwal pria itu. Kini melihatnya lagi membuatnya sedikit muak.

“Menyenangkan melihatmu di sini lagi, Nona,” ucap Andra tanpa membalas maaf dari sekretarisnya itu.

Alea tak mau bersusah payah untuk membalasnya. Ia lebih memilih tak menghiraukannya dan masuk ke dalam lift yang tampak kosong. Katakanlah ia begitu kurang ajar pada atasannya, tapi sejak awal di antara mereka tidak pernah tercipta lingkungan formal antara atasan dan sekretarisnya. Andra menolak untuk diperlakukan layaknya bos olehnya, itulah batasan mereka.

Tak lama setelah keduanya masuk ke dalam lift, suara bunyi ponsel memecah keheningan. Suara tersebut tampak berasal dari saku celana milik bosnya itu. Dengan segera Andra mengangkat telpon itu tanpa menghiraukan Alea yang sejak tadi terus memperhatikannya.

“Halo, Sayang. Aku sudah tiba di kantor beberapa menit yang lalu. Iya, akan kumakan bekal darimu.”

Dalam hati Alea merasa sebuah rasa iri menyergapinya. Banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan Andra, pendiri Natawijaya Corporation di usia 32 tahun. Seharusnya pria muda mapan sepertinya bisa menghabiskan waktu di luar sana bergonta-ganti pasangan, pergi ke kelab dan menghambur-hamburkan uang. Namun, Andra yang kini berdiri di sampingnya bukanlah sosok seperti itu. Setelah lima tahun lalu menikahi seorang wanita yang berasal dari keluarga konglomerat, Andra terkenal sebagai pria yang family man. Bukan menjadi rahasia lagi jika pria itu dikenal sebagai suami yang penyayang dan sangat mencintai istrinya.

Alea berharap suatu hari nanti ia juga mendapatkan pasangan hidup yang sama setianya. Tidak perlu kaya, ia merasa masih bisa bekerja untuk keperluannya sendiri. Tapi, mencari pasangan yang mencintai istrinya dengan sungguh-sungguh itu bagaikan mencari jarum di antara tumpukan jerami, atau mencari jerami di antara tumpukkan jarum. Penuh risiko untuk melaluinya.

***

Siang ini pegawai divisi produksi menggelar presentasi produk terbaru yang akan diluncurkan oleh Natawijaya Corporation. Perusahaan yang sudah merambah berbagai bidang itu di tahun ini akan memperkuat jaringan bisnis mereka dalam bidang telekomunikasi. Andra selaku petinggi utama tak segan untuk turut mengikuti presentasi yang diadakan divisi tersebut. Berbagai proposal produk terbaru sudah berada di tangannya dan siap untuk diseleksi.

Sementara, Alea yang duduk di sampingnya ikut memperhatikan jalannya presentasi sambil sesekali memberikan  masukan pada Andra. Pria itu merupakan tipe pria yang open-minded, menerima semua saran yang masuk sekalipun dari seorang pesuruh. Hal itulah yang membuat pegawai Natawijaya Corporation tampak tenang dan tidak gugup berhadapan dengan petinggi perusahaan mereka.

“Dalam ekspektasi kami, ponsel ini memiliki spesifikasi yang mumpuni bagi para pekerja di pabrik. Seperti yang kita ketahui, seorang teknisi yang bekerja dakam lingkungan rawan kebakaran sangat tidak disarankan untuk membawa telepon genggam. Namun, dengan penambahan fitur ini, maka tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu bisa diatasi.”

Andra mendengarkan dengan saksama penjelasan yang diberikan oleh bawahannya tersebut. Ia mengangguk mencerna kata demi kata.

“Kalau begitu bisakah kalian menjelaskan proyek ini dari sisi keuangan serta risiko yang kemungkinan bisa menghambat kerja ponsel ini?” tanya Andra.

Setelahnya pegawainya itu kembali menjelaskan secara spesifik dana serta kendalanya. Hingga Andra bertepuk tangan mengakhiri presentasi, semua pegawai bisa bernapas lega. Membuat bos mereka yang penuh keingintahuan itu puas merupakan kesenangan sendiri. Sampai semua pegawai divisi produksi berjalan meninggalkan ruang konferensi, Andra sengaja menahan Alea dan dirinya untuk tidak keluar dari ruangan dulu.

“Ada apa?” tanya Alea sembari membereskan berkas-berkas Andra yang berserakan di depannya.

“Akhir pekan ini, aku memiliki jadwal untuk bertemu dengan klien di Seoul. Kuharap kau bisa mendampingiku, Alea.”

Wanita itu tertegun sejenak. Selama setahun lebih bekerja di tempat ini, ini adalah pertama kalinya Andra memintanya untuk didampingi. Selama ini pria itu lebih memilih untuk berpergian seorang diri atau bersama sang istri. Ya, ini adalah yang pertama baginya.

Melihat sinar keraguan di mata wanita itu, Andra segera menambahi, “Kalau kau tidak bisa, ya tidak apa-apa, Alea. Aku tahu kau pasti memiliki kehidupan lain di luar sana. Ada kekasih yang menunggu untuk berkencan denganmu.”

“Tidak ada!” Alea menanggapi dengan suara sedikit meninggi. “A-Aku ....”

Alea menggigit bibirnya kuat-kuat. Betapa ia menyesali mulutnya yang refleks menjelaskan statusnya yang masih sendiri. Ia yakin Andra akan menyangka jika dirinya sedang mengobral diri.

“Kau tidak memiliki kekasih?” tanya Andra dengan tatapan geli sambil menopang dagunya menggunakan kedua tangannya.

“Bukan tidak, tapi belum. Aku hanya belum memilikinya,” ujar Alea sedikit tak terima.

“Jadi, kau bisa mendampingiku?” tanya Andra dengan sedikit berbinar.

Sebenarnya Alea tak perlu berpikir ulang untuk hal itu. Eelya yang sedang melakukan studi untuk bahan tugas akhir kuliah sudah pasti akan menginap di perpustakaan seperti biasa, sedangkan ibunya akan menginap di rumah bibinya Sabtu nanti. Akhir pekan ini ia hanya akan berkencan dengan es krim dan cokelat sambil bersantai di ruang televisi. Seharusnya tawaran ini bisa dengan mudah diterimanya. Hanya saja, ada suatu perasaan yang mencegahnya untuk ikut bersama bosnya itu. Sesuatu yang dirasanya bukanlah hal yang baik.

“Aku tidak keberatan jika kau tidak mau ikut bersamaku, tapi seharusnya kau sudah tahu tugasmu sebagai sekretarisku, Alea.”

Ya, ketika Andra tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, pria itu selalu memanggilnya dengan nama tanpa embel-embel Nona. Ini pertanda bahwa atasannya itu sudah siap untuk menyimpan benci kepadanya.

“Baiklah, aku akan ikut.”

***

“Kakak akan ikut ke Seoul nanti?”

Eelya yang sedang berguling-guling di atas kasur sambil menjilati es krim bertanya kepada sang kakak. Sangat tidak biasa jika bos kakaknya itu meminta untuk ditemani. Meski belum pernah melihat wajahnya secara spesifik, tapi mendengar ceritanya saja sudah bisa ditebak sosok seperti apa Andra itu.

Alea sibuk mengemas pakaiannya ke dalam koper. Ibunya sudah berangkat pagi tadi ke rumah bibinya. Tinggallah dirinya dan Eelya di rumah. Dan, Alea yakin setelah siang nanti ia berangkat, adiknya pun juga akan pergi mencari data ke sana kemari. Ia sendiri tak pernah menaruh curiga pada Eelya, karena diketahuinya kehidupan Eelya sangat lurus dan jauh dari kenakalan remaja.

“Kau saja sangat bingung, bagaimana denganku, El,” keluh Alea.

Wanita itu berhenti mengemas pakaiannya. Jumat siang ini ia akan menemui Andra di bandara. Pukul dua siang nanti pesawat akan mengantarkan mereka ke Seoul. Ia merebahkan tubuhnya di samping Eelya dan merebut es krim yang dimakan adiknya itu.

“Punyaku!”

Alea tampak tak peduli dengan kemarahan Eelya. Ia bisa membelikan es krim lebih banyak untuk adiknya itu. Sekarang ia ingin mendinginkan kepalanya. Ada banyak pertanyaan yang berputar di dalam otaknya, salah satunya adalah,

“Mengapa ia begitu gelisah?”

Ini hanya perjalanan bisnis biasa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang sekretaris, namun semakin dekat dengan Andra merupakan batasan yang takkan pernah bisa ia hiraukan. Jika di kantor Alea bisa saja menghindar, tapi perjalanan bisnis yang hanya menyertakan mereka berdua saja dari Natawijaya merupakan hal pertama kali untuknya.

“Dia pria beristri dan aku tidak mau terlibat hubungan dengannya.”