cover landing

And So We Were Accidentally Married

By erlin🎐


APA hal ternekat yang pernah kalian lakukan?

Beberapa orang menjawab sesuatu yang sederhana. Makan seafood walau punya alergi. Mewarnai rambut memakai shade paling terang. Sementara sebagian orang memilih pengalaman lebih ekstrem. Solo trip ke tempat asing tanpa pendamping. Bungee jumping demi melawan fobia ketinggian.

Kegiatan apa pun yang dilakukan, kenekatan akan selalu mengundang gejolak emosi. Antusiasme. Adrenalin. Was-was. Takut. Semuanya karena satu hal: ketidakpastian.

Namun, ketidakpastian pula yang menantangku terus melangkah.

Seperti yang kulakukan kala mengunjungi bar milik sahabatku, Pine.

Di sana, aku mengajak orang tak dikenal menikah denganku.

***

“Kamu enggak apa-apa? Ada yang bisa kubantu, pesan taksi, misalnya?”

Gadis di sampingku, gemetaran, menggeleng pelan. “Ibu—ibuku akan menjemput, lewat pintu belakang.”

That’s good, biar aku antar kalau ibumu sampai. Kita tunggu Pine kasih kabar dari bar. Kita belum bisa keluar sebelum situasinya aman.”

Kejadian setengah jam lalu terasa bak potongan film-film yang kutonton bersama Jazz. Seorang pria membelikan minuman kendati gadis di sampingnya menolak. Ketika sang gadis lengah, pria itu diam-diam menaburkan bubuk mencurigakan yang, barangkali bisa kalian tebak, akan berujung pada peristiwa buruk.

Gosh, people these days.” Aku, yang menyaksikan semuanya setelah keluar toilet, menyambar gelas berisi bir dari meja terdekat. Sebelum pria itu mendorong gelas berisi bubuk itu ke arah sang gadis, kubanting gelas keras-keras hingga retak dan isinya tumpah.

Pine, yang melayani pengunjung di ujung meja, menoleh ke arahku.

“Kenapa birku enggak dingin?” Teriakanku serta-merta mengejutkan orang-orang di sekitar bar. “Rasanya jadi kurang enak. Aku mau ganti.”

“Ya Tuhanku, B—” Menangkap lirikan mataku ke arah si gadis, Pine menahan kata-kata yang hendak keluar. Seketika, dia mengikuti skenarioku. “Maaf, maaf. Biar saya ganti dengan bir baru.”

“Bukan bir, aku pesan Angel Shot* saja. Neat.” Kemudian, kugeser gelas si pria sampai tumpah. Wajahnya memerah. Dia nyaris membentakku, tetapi urung kala menyadari perhatian sejumlah pengunjung terpusat pada kami.

(*Angel Shot dikenal sebagai kode di sejumlah bar untuk menandakan ada pengunjung yang mengganggu pengunjung lain. Bartender yang menerimanya akan langsung mengambil tindakan untuk menyelamatkan korban sesuai makna kode)

Sadar punya kesempatan melarikan diri, gadis di sampingku beranjak dari kursi menuju toilet. Aku dan Pine bertukar pandang lewat lirikan singkat, lalu aku menyusul sekitar dua menit kemudian.

Dentingan ponsel dari arah sang gadis membawaku kembali ke toilet. “Ibuku sudah sampai.”

Tak lama berselang, missed called dari Pine masuk ke ponselku; tanda situasi di luar aman terkendali.

Pintu belakang alias jalan keluar darurat syukurnya dekat dari toilet. Kubimbing gadis berambut hitam sebahu itu sampai keluar sambil memastikan tak ada barang tertinggal. Di dekat perempatan, sebuah SUV menunggu; serta-merta mengirim kelegaan dari sosok di sampingku.

“Sekali lagi, terima kasih,” ucap sang gadis. “Aku tak bisa membayangkan nasibku kalau kamu terlambat beberapa detik atau malah tak muncul. Pria itu terus menguntitku sejak masuk bar dan enggan meninggalkanku meski aku bilang sedang menunggu seseorang.”

It’s okay, you’re safe now. Lain kali, hati-hati kalau mampir sendiri ke bar.” Kutepuk pelan bahunya. “The drink’s on me if you already ordered.”

Mata gadis itu berkaca-kaca. “Boleh aku tahu siapa namamu? Aku Cherry.”

“Bryony, panggil saja Bri.”

“Bri,” dia menggumamkannya pelan. “Senang bertemu denganmu. Aku berutang budi sama kamu.”

No, no, don’t do that. It was what women should do, right? Melindungi satu sama lain.” Kuantarkan Cherry sampai masuk mobil. Dia melambaikan tangan, lalu menutup jendela perlahan. Begitu SUV yang ditumpanginya meluncur, aku berbalik menuju bar. Siap membereskan kekacauan di bar.

***

Kursi yang ditempati bajingan tadi kini ditempati pengunjung lain. Dia mengenakan beanie dengan sebagian rambut hitam mencuat di sekitar leher. Baseball shirt hitam yang dipasangkan dengan celana denim memberi kesan kalau sosok ini lebih muda dariku. Apa dia mahasiswa yang sedang kuliah di Fallsbridge?’

“Bryonyyy!” Pine berdecak sembari membersihkan gelas. “Kupikir kamu kabur dan bakal meninggalkanku bersama kekacauan tadi.”

“Tenang, aku tanggung jawab, kok.” Kukeluarkan kartu debit dari dompet. “Masukan semua minumannya ke daftar tagihanku.”

“Termasuk bir punya dia?”

Tangan Pine mengarah pada pria baseball shirt itu. Dia menoleh padaku, lalu tersenyum samar. “Bir yang kamu ambil tadi… itu punya saya.”

Sorry, then. Aku bayar juga, mau sekalian pesan yang baru?” tawarku yang ditolak dengan gelengan pelan. “Oke, total semuanya, Pine.”

Pine berlalu ke meja kasir, sementara aku dan pria itu menunggu dalam diam. Selepas kejadian tadi, energiku terkuras sampai malas membuka basa-basi. Pulang dan tidur terdengar lebih baik.

Di luar dugaan, pria baseball shirt itu malah memulai pembicaraan. “Bartender tadi bilang kamu kenal Nyonya Giselle. Saya kebetulan ada perlu dengannya. Kalau bersedia, boleh saya tanya satu atau dua hal?”

Mendadak, telingaku sigap mendengar. “Nyonya Giselle yang tinggal di ujung blok? Iya, aku kenal. Dia salah satu pelanggan tetapku. Ada perlu apa?”

“Benar dia menyewakan apartemen?”

Aku kurang menyukai ke mana pembicaraan ini mengarah. “Ada satu unit apartemen di lantai atas, tapi waiting list-nya panjang dan hanya pasangan suami-istri yang boleh tinggal di sana.”

 “Jadi, benar dia hanya menerima pasutri.” Sorot penasarannya perlahan redup. “Sayang sekali, padahal bujet dan lokasinya sesuai kebutuhan sesuai saya.”

Pine kembali; memintaku menuntaskan transaksi. Sementara pria itu beringsut dari kursi dan pamit kepada kami.

“Gimana kalau dia tahu kamu yang sebenarnya menahan waiting list itu?” Pine mencondongkan tubuh di sampingku. “Kamu belum konfirmasi pernikahanmu batal ke Nyonya Giselle?”

“Harus banget kamu ungkit-ungkit hal itu, ya?” Berat melepas unit apartemen Nyonya Giselle; tempat tinggal idealku. Namun, Pine menamparku dengan kenyataan bahwa aku memang tak lagi memenuhi kualifikasi yang berlaku. “Minggu ini aku bakal menemuninya. Atau—”

“Atau?”

That guy.” Kutegakkan punggung. “Dia cerita apa sama kamu sampai tanya-tanya apartemen Nyonya Giselle?”

“Dia pengin ambil unit itu, tapi kehalang syarat pasutri. Dia lajang.” Pine membelalak kala melihat seringaiku. “Bri, come on, don’t do stupid things. Mau apa kamu sekarang?”

It’s not stupid, babe. Kita belum tahu hasilnya gimana sebelum dicoba, bukan?” Kemudian, tanpa menunggu protes sahabatku, aku memelesat keluar dan mencari pemuda itu. Sosok yang berpotensi menyelamatkan hidupku.

Mataku memindai orang-orang yang melewati bar hingga tertambat pada pria baseball shirt di halte bus. Sekencang mungkin aku berlari, lalu mengambil tempat di sampingnya.

“Kamu—” Dia terlonjak mendapati keberadaanku. “Apa ada yang tertinggal?”

“Aku bisa membantumu tinggal di apartemen Nyonya Giselle,” sahutku, langsung ke poin utama. “Let’s get married.”

Pria itu menganga. Wajahnya memucat.

That sounds insane, tapi aku serius. Aku—namaku ada di posisi teratas waiting list apartemen itu. Kalau kita menikah, kita bisa tinggal di sana paling lambat bulan depan.” Sial, aku harap bisa merangkum situasiku dalam satu atau dua kalimat. “Kita bisa siapkan kontrak untuk pernikahan itu.”

“Pernikahan kontrak?” Dia terdengar ragu.

“Dengar, aku enggak mau memaksa. Take your time.” Kuberikan kartu namaku padanya. “Ada nomor telepon dan alamat kantorku di sana. Silakan kontak atau temui aku kalau kamu… tertarik sama rencana ini.”

Pemuda itu menerimanya. “Nama saya Clematis. Panggil saja Clem.”

You may have heard mine. Bri.” Dari sudut mata, aku menangkap bus melaju mendekati halte. “Pikirkan baik-baik, Clem. Good night.”

Aku mengamati Clem masuk bus dan berlalu dari pandangan. Masa bodoh apa kata Pine, langkah ini bisa jadi satu-satunya cara aku pindah ke apartemen lebih layak. Kalau tidak, aku terancam tidur di jalanan.

***