cover landing

Alt.

By narazwei


Awalnya ada sinar terang keemasan. Warna itu membutakan. Kat mengangkat lengan, menghadapkan punggung tangannya ke depan mata untuk menghalau silau. Ia belum benar-benar memahami apa yang sebenarnya terjadi ketika kepalanya dihantam keras. Segala hal berlangsung dalam hitungan detik. Ia merasakan tubuhnya terlempar dan berguling. Ia mendengar suara logam bergesekan dengan aspal. Ada bunyi decit rem, lalu kepalanya terbentur, tangan dan kakinya tertekuk seakan tak bertulang.          

Mungkin karena peristiwa tersebut berlangsung terlalu cepat, Kat terlambat memproses rasa sakitnya. Wajahnya menghadap aspal basah. Matanya setengah terpejam.  

Yang bisa dilihat Kat hanya warna aspal yang buram. Kemudian sengatan perih menyerang mulai dari ujung kaki, naik ke tungkai, paha, pinggang, siku, bahu, kemudian wajahnya. Kat berusaha menggerakkan jari-jari tangannya, tapi gagal. Jantungnya berdegup tak menentu ketika ia juga gagal menarik napas. Kat bernapas, ia yakin itu, tapi tak ada oksigen yang masuk. Kepalanya mulai berkabut. Suara-suara berubah jadi dengung panjang serupa bunyi sayap lebah. Dengung itu mengganda, menumpuk, entah bagaimana berubah jadi lautan warna. Merah menjadi hitam. Lalu segalanya jadi diam. 

Jeritan klakson terdengar semakin keras, semakin mendekat. Kat terbangun kaget. Kedua matanya membuka lebar, menangkap warna putih plafon kamar. 

Selama beberapa saat, yang dilakukan Kat hanya berbaring diam. Punggungnya merasakan permukaan yang empuk. Tidak ada rasa sakit, tapi sekujur tubuhnya dibanjiri keringat dingin. Napasnya memburu, kedengaran keras dalam ruangan yang sunyi. 

Perlahan, dengan sangat hati-hati, Kat menggerakkan biji mata, menyapukan pandangan ke sekitar tempatnya berbaring. Sofa krem panjang, laptop putih metalik di atas meja belajar, tumpukan majalah di bangku rias, semuanya terasa familier. 

Kat berguling bangun dan duduk. 

Ia sendirian. Di rumahnya. Di kamarnya. Di atas ranjang. 

Kebingungan, Kat menghela tubuhnya bangkit dan berjalan menuju meja rias. Di depan cermin, seorang perempuan muda balik menatapnya bingung. Perempuan itu tinggi dan ramping, hanya mengenakan celana pendek denim serta tank top hitam yang membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas. Rambutnya dipotong pendek setengkuk. Poni sampingnya berantakan, membingkai kening lembap dan wajah oval yang pucat. 

Kat mengangkat sejumput rambut dari keningnya dengan ujung jari. Perempuan di cermin bergerak membayangi dirinya. 

Bukankah rambutnya sudah panjang sampai sebahu? Kat bingung.

Ia tidak ingat pernah memotong rambut sependek ini lagi.

Ia tidak ingat sudah pulang ke rumah

Ia tidak ingat beranjak tidur di kamarnya.

Ia tidak ingat—

Fokus Kat buyar karena bunyi bib panjang dari alarm ponselnya mengganggu. Alarm itulah yang masuk ke mimpinya dan menjelma menjadi suara bising klakson.

Mimpi? Kat berbalik ke arah suara, menemukan ponselnya di nakas, mematikannya tanpa mencermati layar. Matanya sibuk memindai kamar.  

Kamarnya terlihat cerah—berantakan, memang—tapi hidup. Tidak ada corat-coret cat semprot di dinding. Tidak ada kaca jendela pecah—mungkin seseorang menggantinya.

Tapi siapa? Kat tertawa getir melihat siapa pun yang mengganti kaca jendela dan membereskan kamarnya juga repot-repot membelikan satu vas bunga keramik yang sama persis dengan yang didapatnya dari bazar benda-benda etnik di Bali.

Kat mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha memulihkan pandangan. Ia mabuk. Ralat, tadinya ia mabuk. Kat ingat ia minum sangat banyak sampai kepalanya pengar. Namun sekarang tidak ada rasa mual atau sakit kepala yang ia rasakan. Hanya sedikit penat. Berapa lama ia pingsan? Siapa yang membawanya pulang?

Lalu cahaya itu …

Kat menggeleng pelan, berusaha menjernihkan kepala. Ia butuh udara segar. Tanpa repot memakai jaket atau berganti pakaian, Kat sudah berjalan menyeberangi kamar dan membuka pintu. Ia terkesiap kaget mendapati sudah ada orang di luar sana, berdiri di ambang pintu, seakan menunggunya keluar kamar. 

"Eh, kebetulan! Baru aja gue mau ngetuk, udah dibukain. Barusan bangun, Beb?" 

Kat melongo. Kedua matanya membulat lebar menatap perempuan di ambang pintu, yang justru melenggang masuk ke kamarnya dengan santai. 

"Nissa?" bisiknya tak percaya. 

Anissa adalah sepupunya dari pihak ayah. Umur mereka sepantaran, tahun ini sama-sama 19 tahun. Keduanya seakrab saudara kandung dan sering menginap di kamar satu sama lain, hampir tidak ada rahasia di antara mereka. Kat selalu tahu jadwal Nissa hari ini. Seharusnya gadis itu ada di Glasgow, Skotlandia, mengejar konser penyanyi rock kesukaannya. 

"Kapan lo pulang?" Kat heran. "Semalam lo bilang mau ketemu Alex?" 

"Hah? Gimana?" Nissa bahkan tidak menoleh ke arahnya. Gadis itu sibuk mencari dan akhirnya mendapatkan charger ponsel dari soket listrik di bawah meja belajar Kat.

"Pinjem, ya. Charger gue kayaknya beneran rusak. Sudah pesan online sih, tapi datangnya masih semingguan lagi."

"Lo … balik ke Adikarta cuma untuk pinjem charger?" Kat tak mengerti. Ia masih melongo di depan pintu yang terbuka lebar. "Kenapa nggak beli di sana? Memangnya di Skotlan nggak ada orang jual?" 

Nissa membalikkan tubuh, membuat rambut panjangnya berkibas di punggung. "Lo ngigau? Ngapain gue di Skotlan?" 

Kat membuka mulut, kemudian menutupnya lagi begitu melihat wajah Nissa tampak serius. Sepupunya tidak sedang bercanda. 

Sebelum Kat sempat menemukan sesuatu untuk menanggapi, Nissa sudah bersuara lagi, "Nanti jadi gue mintain space?" 

"Space?" 

"Farewell gift elo," Nissa mengingatkan. Matanya melirik waspada ke arah pintu yang terbuka. Ia berjingkat mendekat, menutup daun pintu hingga berbunyi 'klap' tanda terkunci, lalu melanjutkan dengan nada enggan, "Kemarin kan gue sudah coba angkat usul itu, tapi ditanya-tanya buat apa. Gue sih masih nggak terlalu setuju, Beb. Nggak perlu ngerjain Kassius sampai segitunya deh …" 

Pembicaraan ini terasa akrab. Suara Nissa mengambang makin jauh, tertutup bunyi degup jantung yang merambat sampai ke telinga. Itu degup jantungnya sendiri, Kat menyadari. Inilah keganjilan yang sejak tadi ia rasakan, ini hal yang sejak tadi ia tertawakan dalam hati dan singkirkan jauh-jauh dari benaknya karena terasa menggelikan. 

Perlahan, Kat mengangkat tangan. Ponsel pada genggamannya menyala, menampakkan screen saver berupa jam dan tanggal. 

Sekarang pukul 06:18 PM tanggal 1 November 2019.

Kat merasa kepalanya panas. Tangannya gemetaran hingga huruf di layar ponsel jadi kabur. Dugaannya benar. Tapi bagaimana bisa? 

"Kenapa, Beb?" Nissa menghampirinya. "Lo sakit …? Duduk dulu coba, gue ambilin minum." 

"Sekarang tanggal berapa?" Kat mengangkat sebelah tangan, menahan Nissa yang hendak menuntunnya duduk.

"Hah? Tanggal?"

"Tanggal berapa, tahun berapa sekarang?!" Kat menjerit, seakan itu bisa membantunya memahami apa yang terjadi. Matanya mulai panas, berembun basah. Rasa takut melandanya sekarang. Takut bahwa ini memang cuma mimpi, takut bahwa ia akan bangun dan mendapati dirinya tergeletak tidur di sudut ranjang keras di flat murahnya, 

"Wait, jangan emosi. Bentar." Nissa mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memeriksa. "Tanggal satu. Gimana?"

Kat merampas ponsel Nissa dan memeriksanya sendiri. Persis dengan yang tertera di ponselnya, sekarang tanggal 1 November 2019 pukul 21:18.

2019!

"Kenapa, Rin?" suara Nissa makin samar.

Kat menyentuh pelipisnya yang lembap, tepat di mana ia pernah merasakan dentuman dalam mimpi. 

Nggak. Perasaannya campur aduk. Itu bukan mimpi. 

Sekarang ia mulai mengerti arti dari decit rem serta sinar yang dilihatnya, serta rasa sakit memuncak yang kemudian hilang dalam kegelapan. Ia mengerti sekarang. Itu memang bukan mimpi.

"Gue harusnya sudah mati," bisiknya lirih.

"Hush!" Nissa melotot. Gadis itu merangkul bahunya, memaksanya berjalan ke sofa. "Lo habis minum, ya? Duduk dulu, deh. Nah. Coba lihat gue, sini lihat mata lo! Trus hah coba! Bilang hah ke muka gue!"

Kat menggeleng. "Satu November 2020 gue ketabrak," gumamnya dengan suara tercekat. Ia menatap ke sekitar dengan bingung. "Gue … gue yakin. Harusnya hari ini … tadi …" Kat tidak tega menyebut kata mati. Ia takut. "Ini beneran 2019?" bisiknya serak. 

Nissa diam, tapi wajah cemasnya sudah menjawab segala hal. 

Kat mengerang pelan. Ini bukan mimpi. Ia memang kembali ke satu tahun lalu. 

***