cover landing

All the Things You've Sacrificed

By auliamusla


Hectic Day

“Riz, bangun!”

Aku menggoyang tubuh Riz yang berbaring telungkup dengan mulut terbuka. Di sampingnya, Mas Bima menggeliat dan menarik selimut karena tidur lagi setelah ronda semalaman.

Riz mengerang, memindahkan posisi wajah menghadap sisi sebaliknya, alih-alih bangun menuruti perintahku. Aku mendengkus kesal, kembali ke dapur untuk melihat ayam yang sudah kecokelatan di penggorengan. Setelah meniriskan dan mematikan kompor, aku mengiris cabai untuk membuat sambal kecap. Sup ayam sudah matang. Setelah ini aku hanya perlu membereskan sisa huru-hara selama mempersiapkan masakan.

Aku sudah bangun pagi-pagi sekali ketika penghuni rumah, mungkin juga tetangga, belum ada yang terjaga. Menghitung setiap detik waktu yang terlewat agar aku tak terlambat pergi bekerja.

Piring kotor sudah kucuci, bersamaan dengan kompor yang menyala. Di sudut dapur yang lain ada penanak nasi yang menunjukkan indikator cook, juga mesin cuci yang berisik karena menggiling pakaian kami. Sebelumnya aku sudah membereskan bagian dalam rumah yang semalam digunakan perang-perangan oleh Riz, putra kami yang berusia hampir tiga tahun itu. Sibuk. Begitulah aku setiap pagi.

“Riz, bangun!” Aku kembali ke kamar, menggoyang tubuh Riz lagi, membuatnya terkejut dan mengerjapkan mata dengan cepat. “Ayo mandi, sarapan!”

Keringat sudah membasahi kening hingga punggungku karena puluhan menit mengerjakan tugas domestik, ditambah mondar-mandir membangunkan Riz. Aku menggerutu melihat jarum jam yang bergerak sangat cepat. Kami akan terlambat jika Riz tidak segera bangun dan bersiap-siap.

“Apa sih, Han?” Mas Bima membuka mata, memperlihatkan garis-garis merah yang mengular di sekitar pupil. “Ganggu orang tidur aja.”

Aku mencebik. Seharusnya dia mengapresiasi. Aku sudah masak, sudah beres-beres rumah, bahkan mengajak Riz ke kampus setiap hari. Bukannya memprotes seperti ini.

Aku membopong Riz yang berbaring telentang sembari menggosok mata. Supaya cepat, kugendong dia ke kamar mandi. Setelah membuka baju dan membasahi wajahnya dengan air hangat yang sudah kusiapkan, kuguyur pelan kepalanya yang disambut Riz dengan teriakan melengking karena terkejutLebay. Ini air hangat, lho, bukan air dingin.

Kaus dan celana panjang kupakaikan padanya dengan cepat. Kusodorkan segelas susu dan dua lembar roti tawar berselai cokelat untuk sarapannya selagi aku bersiap-siap. Sudah hampir jam delapan. Aku bisa ditegur lagi kalau terlambat isi presensi.

Aku mandi seperti hanya sekadar membasahi badan saja. Boro-boro skincare, bisa pakai facial wash saja sudah hebat. Entah mengapa di rumahku waktu berputar lima kali lebih cepat, seperti tak ada jeda. Baru saja memejamkan mata untuk tidur tahu-tahu alarm sudah berdering. Pagi menyapa dengan sederet rutinitas yang tak ada hentinya.

Tak ada waktu untuk memilih atasan dan bawahan dengan warna senada. Aku hanya meraih pakaian yang pertama kulihat saat membuka pintu lemari karena harus bergerak cepat. Setelah berpakaian lengkap, kuhampiri Riz di ruang keluarga. Ya, Tuhan. Riz tertidur di sofa dengan susu dan roti yang masih utuh di atas meja.

Aku mengembuskan napas kuat-kuat, mengambil kotak bekal untuk menyimpan roti dan memasukkannya ke tas. Kuminum susunya sampai habis daripada ditinggalkan begitu saja, nanti basi.

Aku melirik ke kamar dengan kesal. Bisa tidak, sih, laki-laki yang tidur itu mengerti kalau aku butuh bantuan? Anak ini bangun terlalu pagi. Riz lebih cocok dibiarkan tidur bersama ayahnya dan diantarkan ke kampus saat sudah bangun nanti.

Ah, mana mau Mas Bima direpotkan dengan urusan seperti ini?

Pukul delapan kurang sepuluh menit. Kami tidak bisa naik taksi. Pagi begini banyak sekali kendaraan berdesakan di jalan utama. Bus-bus karyawan, angkot yang mengantarkan anak-anak sekolah, juga motor dan mobil pribadi para pekerja kantoran. Kami lebih cocok berkendara dengan sepeda motor, yang bisa menembus jalan pintas yang lebih sepi, meski banyak kelokan dan berbatu.

“Riz, bangun, dong. Kasihan Ibu,” rengekku. Aku sudah hampir menangis. Lelah dan kesal bercampur menjadi satu.

Riz membuka matanya dengan malas. Ia menurut saat aku setengah menyeretnya ke luar. Kalau Riz belum sebesar ini, sudah kugendong dia dengan baby carrier. Lebih praktis.

Aku mengeluarkan motor matikku. Riz naik, berdiri di depan, dan kuikat dengan kain panjang supaya tidak jatuh kalau dia kembali tidur. Perlahan, kami melaju.

***

Sebelum menikah dulu, aku suka mengebut, apalagi saat pikiran kacau. Memacu sepeda motor dengan kecepatan maksimal di jalanan itu seperti obat penghilang stres. Aku bisa berteriak tanpa peduli orang mendengar. Ditambah hujan yang turun, lebih deras lebih mantap. Bersama Riz, gila saja kalau aku melaju lebih dari enam puluh kilometer per jam.

Seseorang membunyikan klakson. Nyaring, melengking, membuatku terkesiap. Aku benci suara ini. Bagiku klakson itu terdengar seperti orang marah-marah dan protes di jalan. Kalau bisa bicara baik-baik, mengapa harus teriak-teriak, sih?

“Klakson itu artinya peringatan,” kata Mas Bima suatu kali. “Mungkin kamu terlalu ke tengah, menghalangi mobil yang mau jalan duluan.”

Ya, ya, ya. Baiklah. Ibu-ibu memang payah kalau urusan berkendara. Lampu sein sudah menyala, beloknya masih satu kilometer lagi. Lampu seinnya ke kanan, beloknya ke kiri. Tapi, lampu seinku kali ini tidak menyala, kok. Aku juga patuh dengan aturan lalu lintas. Salahku apa?

Aku hampir membalas dengan jeritan panjang klaksonku. Biar dia tahu kalau aku tidak suka. Kalau aku kaget lalu motor oleng, bagaimana? Ada balita, lho, di sini.

“Mbak, duluan!” teriaknya.

Sebuah matik hijau yang nomor pelatnya masih putih mendahuluiku. Aku hafal betul siapa wanita ramping yang ujung kerudungnya berkibar karena ditiup angin itu. Ika, sesama dosen kontrak yang cukup akrab denganku meski kami berbeda program studi.

Dasar, anak itu! Pagi-pagi sudah membuatku sewot gara-gara klakson.

Aku berbelok ke gerbang kampus, diburu waktu karena tidak boleh terlambat mengisi presensi. Pekan lalu aku sudah ditegur karena sejak mengajak Riz ke kampus, aku tidak bisa mengatur waktu. Meski sudah bangun lebih pagi, ada saja urusan yang belum selesai. Ada saja hal tak terduga yang harus kuhadapi setiap harinya. Seperti pagi ini. Riz terlambat bangun, terlambat mandi, terlambat sarapan.

Aku parkir di samping motor Ika yang sudah lebih dulu masuk ke gedung A. Aku kesulitan berlari karena langkah Riz yang terlalu kecil. Tiba di ruang tata usaha di lantai dua, buru-buru aku menekan ibu jari ke sensor finger print. Pukul delapan lewat tiga menit. Aku terlambat lagi. Kuembuskan napas dengan kesal.

“Telat, Bu?” ledek Pak Hendy, dosen kontrak Pendidikan Biologi, yang menghampiriku dengan tangan memeluk setumpuk tugas mahasiswa.

Aku menarik bibir ke bawah sementara Pak Hendy terkekeh. “Makanya, jangan bangun kesiangan.”

Kalau tidak ingat ini di kampus, sudah kutendang tulang keringnya. Enak saja dia bilang aku bangun kesiangan. Kalian itu lelaki yang tidak peka!

Aku berjalan ke ruanganku, menahan gerutuan. Jangan sampai aku memperburuk citraku sendiri di hadapan mahasiswa yang sudah memenuhi koridor lantai dua ini. Mahasiswa yang duduk di kursi tunggu ini menanti kedatangan dosen untuk bimbingan atau pun ketua program studi untuk meminta tanda tangan.

“Pagi, Bu!” sapa wanita berambut sebahu yang rambut bagian atasnya diikat ke belakang, menyisakan rambut bagian bawah yang dibiarkan tergerai. Poni tipisnya menutupi dahi yang agak lebar dan menonjol. Dia berkacamata, membuat mata bulatnya terlihat lebih besar. Ujung kaca matanya melorot saat menunduk menyapaku.

Namanya Sherly, mahasiswa kesayangan Bu Asmi, juara olimpiade tingkat nasional yang di semester tujuhnya sudah penelitian untuk skripsi. Pekan depan jadwalnya ujian. Setiap hari aku melihatnya menunggu di depan ruangan kami. Sampai bosan aku disapa begini.

“Pagi, Sherly.” Aku membalas dengan senyum palsu.

Jemariku bergerak memutar kenop pintu, memasuki ruangan tiga kali lima meter yang disekat dengan pembatas kayu. Bilikku yang terdekat dengan pintu, pertanda aku harus siap menjawab pertanyaan siapa pun yang masuk ke ruangan ini. Mencari Bu Asmi dan Bu Hesti, yang dosen senior, misalnya?

Pagi ini ada kelas Aljabar Matriks bersama Bu Asmi. Sebagai asisten, aku harus menunggunya datang dan tidak mendahului masuk kelas. Dosen senior adalah pengampu utamanya. Ia yang berhak untuk menentukan kelas akan diisi dengan materi apa, kapan kuis dilaksanakan, dan sebagainya.

Bu Asmi orang yang disiplin, biasanya tidak pernah terlambat. Kalau sampai pukul delapan lewat ia belum datang, berarti ada halangan. Aku mengambil ponsel di tas untuk memeriksa notifikasi. Benar, ada pesan dari Bu Asmi.

 

Mbak Hanun, tolong isi kelas, ya? Saya ada rapat dengan dekan.

 

“Baik, Bu,” balasku cepat.

Riz yang baru saja duduk kugandeng keluar, turun ke lantai satu menuju kelas pertama di koridor utara. Iya, begini pekerjaan dosen kontrak. Kami belum diizinkan mengampu mata kuliah di program studi ini sendiri, melainkan hanya menjadi asisten yang bertugas membantu jalannya perkuliahan. Kami yang mengisi kelas ketika dosen senior tidak hadir, mengawasi ujian, dan mengoreksi lembar jawaban. Kami harus siap kapan pun dosen senior meminta bantuan. Tidak hanya urusan mengajar, tetapi juga penelitian dan pengabdiannya.

Aku menarik satu kursi di barisan paling depan untuk Riz duduk. Kukeluarkan krayon dan buku mewarnai dari tas kecilnya. Supaya tidak mengganggu, dia harus punya kesibukan sendiri saat aku mengajar.

 “Tugas pekan lalu silakan dikumpulkan,” perintahku setelah membuka kelas.

Kelas berdengung seperti lebah. Ada suara kertas disobek dari bukunya, ada suara besi beradu, ada suara kerincing logam terjatuh, juga suara mahasiswa yang memanggil temannya untuk titip lembar jawaban. Mejaku seketika penuh dengan lembaran kertas yang berbeda-beda ukurannya, ditumpuk asal-asalan. Aku mengerucutkan bibir, merapikan tumpukannya.

Aku berdiri, menatap wajah mahasiswa itu satu per satu. Sebagian mengobrol dengan temannya, sebagian yang lain memainkan ponsel, sebagiannya lagi meletakkan dagu di atas meja, mencoret-coret kertas di depannya dengan asal.

Aku berdeham, memaksakan senyum supaya terlihat meyakinkan di depan kelas. Meski usia kami tidak terpaut jauh, aku tetaplah dosen di sini. Aturannya, mahasiswa harus patuh dengan kesepakatan belajar di kelas.

Suara dengung perlahan mereda, padahal aku hanya menatap mereka bergantian, tanpa berkata-kata. Ternyata mereka cukup dewasa untuk mengerti kalau aku minta perhatian.

“Sudah siap belajar?” tanyaku tegas, penuh penekanan.

“Siap, Bu,” jawab mereka serempak.

“Baik.” Aku membuka laptop yang sudah bertengger di atas meja. “Sampai di mana pembelajaran kita?”

Terdengar suara ritsleting, suara buku yang beradu dengan tepi meja, juga suara lembaran-lembaran kertas yang dibuka.

“Matriks identitas dan matriks nol, Bu,” jawab Fani, perempuan dengan rambut panjang yang dikepang, yang duduk di bangku paling depan. Dia ketua kelasnya.

Aku mencari berkas untuk presentasi materi di laptop kemudian mengatur tata letak proyektor supaya gambar yang ditampilkan ke layar cukup besar dan jelas.

“Ada yang mau mencoba menjelaskan apa itu matriks identitas?” tanyaku, mengedarkan pandangan pada mahasiswa yang terlihat sibuk membuka buku paketnya.

Fani mengangkat tangan dengan sigap, seperti biasanya. Entah mengapa anak yang aktif selalu duduk di depan dan biasanya ditugaskan menjadi ketua atau sekretaris kelas.

“Silakan.”

Telapak tanganku terbuka, pertanda mengizinkan Fani menjawab pertanyaan. Ia berdiri, dengan yakin menjawab, “Matriks identitas adalah—

Suara benda terjatuh, keras, disusul erangan. Aku menoleh dan mendapati Riz yang menjatuhkan kotak plastik berisi krayon di atas meja. Krayon delapan belas warna itu patah dan berhamburan di lantai.

Aku menahan napas.

***