cover landing

Ali(e)bi

By foraminao


Simbol perisai dengan delapan sisi. Di tengahnya terdapat tiga pasang sayap yang mengelilingi sebuah tombak dengan dua sisi tajam. Kelab Octagon hari ini ramai seperti biasa.

Semakin malam Octagon semakin memanas. Lantai dansanya tidak pernah sepi. Musik EDM terus-menerus bergelora membuat semua orang larut dalam alunannnya yang mengentak-entak keras. Lampu disko berkelap-kelip seolah enggan untuk mengakhiri hari. Sebuah bukti akan betapa gemerlapnya ibu kota Jakarta.

Daniel duduk bersendar di bar. Sebelah tangannya memegang segelas vodka yang isinya tinggal separuh. Matanya terpejam, kepalanya mengangguk-ngangguk perlahan mengikuti alunan musik.

Cowok bermata sipit itu bukannya sedang benar-benar datang untuk bersenang-senang. Ada sebuah tugas yang harus dilaksanakan Daniel sekarang. Tetapi karena target yang harus diintainya belum datang, jadi tidak ada salahnya untuk menikmati suasana, kan?

Bibir Daniel membentuk senyum kecil kala irama lagu “Senorita” milik Shawn dan Camila mulai mengalun.

"Status?" Suara berat khas bapak-bapak terdengar dari interkom di telinga kanan Daniel.

Sial! Daniel berdecak. Kedua matanya otomatis terbuka. Kadang orang tua memang tidak paham ketika anak muda sedang bersenang-senang. Daniel lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelab malam. Mengamati seluruh penjuru, sisi demi sisi tidak luput dari pengamatannya sampai sela-sela gelap sekalipun.

Sama seperti namanya, Octagon memiliki bentuk bangunan segi delapan yang simetris. Setiap sisi ditopang oleh tiang-tiang kuat yang sanggup menopang hingga delapan lantai ke atas. Lantai dansanya juga berbentuk segi delapan serta di tengahnya terdapat simbol sayap dan tombak Octagon.

Setelah selesai mengamati dan masih tidak menemukan targetnya, Daniel menenggak isi gelasnya hingga habis. "Kosong," ujarnya kemudian.

"Apa, Dan?" bartender di belakangnya bertanya dengan raut muka kebingungan. Kedua alisnya mengerut menatap Daniel. Bartender itu merasa tidak yakin apakah ia mendengar Daniel benar-benar berbicara padanya atau tidak.

Daniel menoleh dan tersenyum,

Bartender dengan tanda nama "Awan" itu menatap Daniel masih dengan raut muka yang semakin mengerut. Apalagi kali ini semakin bingung karena pelanggannya itu hanya tersenyum sok ganteng. Ya, pada kenyataannya memang ganteng, sih.

"Lo ngomong sama gue?" tanya Awan memastikan.

Daniel berbalik untuk menghadap bar, dia berujar lagi, "Kosong." Sambil mengoyang-goyangkan gelas di depan wajah Awan.

"Oh… vodka lagi?" Akhirnya Awan mengerti. Dia langsung mengambil sebotol vodka di dekatnya. Berarti memang dia tidak salah dengar.

Daniel mengangguk lalu menyodorkan gelasnya.

"Tumben sendiri?" tanya Awan basa-basi sambil menuangkan isi botol vodka ke dalam gelas Daniel.

Daniel diam sambil menaikkan sebelah alisnya, dia berfikir sejenak. "Nggak ada alasan. Anak-anak laen pada sibuk,” jawabnya kemudian menenggak vodkanya sampai kosong, lalu segera diisi lagi oleh Awan tanpa perintah.

"Jangan sampe mabuk lu, Dan." Interkom Daniel bersuara lagi. Kali ini seperti suara seorang pria yang berusia di pertengahan dua puluhan.

Daniel buru-buru mengulum bibirnya karena hampir tertawa. Daniel kenal suara itu, Putra.

"Ngaca woy!" Kali ini suara seorang wanita yang menyahuti. "Gue liat, lo udah abis satu botol."

Daniel membungkam mulutnya. Berusaha tidak menunjukkan ekspresi apa pun ketika batinnya sebenarnya ingin tertawa.

Orang gila mana yang berbicara sendiri di kelab yang begitu ramai?

Hanya tiga tipe orang yang berbicara sendiri di kelab. Kalau bukan orang mabuk, agen rahasia, ya seorang indigo.

"Gue ke sana, ya,” pamit Awan, Daniel mengangguk. Kini si bartender berjalan menjauhinya ke sisi lain karena ada pelanggan yang meminta minuman di pojok sana.

Daniel mengambil gelas ketiganya yang sudah diisi penuh kembali oleh Awan. "Mohon maaf sekadar mengingatkan, jangan bacot di telinga orang ya," bisiknya.

Daniel tidak tahu berapa banyak orang agen yang dikirim untuk setiap misi, dan memang tidak ada yang tahu. Kecuali sang pembuat misi sendiri. Kadang dia melakukan misi sendirian.

Bukan hanya dengan pusat, interkomnya juga terhubung dengan agen-agen lain. Mereka menyebar di seluruh penjuru kelab Octagon sehingga pantas saja seluruh agen lain pun bisa mengawasi gerakannya.

Bagaimana jika dikirim lebih dari tiga agen sekarang?

Bisa rusak telinganya.

"I got him!" Wanita di interkomnya berbisik tiba-tiba dengan nada gembira. “Di deket lo, Dan. Arah pukul sepuluh, sofa ke lima. Baru aja duduk."

"Oke." Daniel menenggak gelasnya sampai habis. Cowok itu segera berdiri, meninggalkan uang minumannya dan tips untuk Awan lalu berjalan menjauh dari bar.

Daniel menuju lantai dansa yang penuh sesak dengan manusia berlenggak-lenggok. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan menyentuh sebuah kelereng kecil.

Daniel butuh penglihatan yang lebih jelas. Ia maju beberapa langkah, melebur dengan orang-orang yang sedang menari. Dari sudut matanya, Daniel langsung mengunci target. Seorang pria baruh baya yang sepertinya berumur di pertengahan empat puluhan. Pria itu memakai setelan jas, lengkap dengan dasi berwarna merah maroon dan sepatu mengilap. Namanya Ginanjar.

Dua orang wanita berjalan ke arah Ginanjar dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman yang bermacam-macam. Mereka langsung duduk mengelilingi Ginanjar sambil mulai menuang minuman dengan tertawa-tawa.

"Terlalu ramai, Ji. Bahaya,” ucap Daniel pada wanita—yang bernama asli Jihyo—di interkomnya.

Putra berujar, "Kita tunggu sampe mereka masuk ruangan? Nggak mungkin mereka transaksi sekarang."

Daniel mengiakan. "Polisi pun masih butuh bukti."

"Tiga pengawal. Gue turun sekarang." Jihyo yang ada di lantai dua Octagon segera menuruni tangga. Ketukan high heels terdengar hingga ke interkom Daniel dan Putra.

"Enggak." Daniel berbalik dan bersembunyi di salah satu tiang bangunan yang menopang Octagon. "Ada lima orang. Dua orang cowok baru aja masuk."

Jihyo seketika berhenti di pertengahan tangga. "Agen lain mungkin?"

"Nggak mungkin. Terlalu mencolok." Daniel membalas cepat.

Tiba-tiba ada seorang pemuda perlahan mendekati Ginanjar. Pemuda itu memakai kaus putih berbalut kemeja yang lengannya digulung hingga ke siku. Sebelah tangannya dimasukkan saku sedangkan satunya memegang sebotol minuman keras yang tinggal separuh.

Daniel tersenyum miring. Mengamati setiap gerakan. Pemuda itu dengan santai duduk di depan Ginanjar tanpa ada usaha pengamanan dari pengawal-pengawal Ginanjar, seolah kehadiran pemuda itu memang sudah ditunggu.

Mereka terlihat berbicara selama beberapa menit. Hingga akhirnya mereka mengangguk satu sama lain dan bersalaman, seolah sepakat akan sesuatu.

"Udah selesai,” kata Jihyo.

Daniel tersenyum kecil mendengarnya. “Gue urus Ginanjar."

Tepat setelah itu, Ginanjar, sang pemuda, dan tiga pengawalnya bergerak menuju lantai dua Octagon yang berjajar kamar-kamar tipe kecil. Sedang dua pengawal lain masih di tempatnya mengawasi sekeliling. Daniel diam-diam melangkah mengikuti mereka dari belakang sambil masih menjaga jarak.

“Tiga orang, Dan." Putra mengingatkan.

“Gampang," balas Daniel.

Daniel mengeluakan ponsel dari sakunya yang selanjutnya ditempelkan di telinganya. Yang selanjutnya disesali Putra dan Jihyo.

"Halo? Iya, Sayang?" celoteh Daniel pada ponselnya. "Kamu udah sampe mana? Lama banget, siih…." lanjutnya sok imut.

Tidak peduli dengan keributan interkomnya yang terkesan melecehkan, Daniel terus melanjutkan ocehannya, "Hah? Macet? Ya udah aku tunggu di lantai dua ya, Sayang. Cepet loohh. Hayoo... masa nggak kangen aku, sih? Kangen aku nggak? Aku kangeenn."

Putra dan Jihyo ingin muntah.

Daniel mengoceh sambil terus berjalan mengikuti Ginanjar dan antek-anteknya. Ketika gerombolan itu sampai pada titik sudut Octagon, dia mendengar seruan dari interkomnya yang berasal dari pusat.

"Sekarang!"

Tepat saat itu Daniel mendengar pintu depan Octagon didobrak dengan keras bersama seruan-seruan perintah dan teriakan yang bersahut-sahutan. Daniel segera memasukkan ponselnya.

***

BRAK!

"POLISI! DIAM DI TEMPAT!"

Seluruh penghuni kelab langsung lari berhamburan.

Saat seluruh penghuni kelabtermasuk gerombolan Ginanjartengah kalang kabut dan teralihkan dengan datangnya polisi, Daniel melemparkan sebutir kelereng hitam dari celananya tadi ke arah gerombolan Ginanjar. Seketika di sekeliling gerombolan itu terselimuti asap.

Daniel merangsek maju. Ia menabrak dua pengawal di depannya. Para pengawal yang kelimpungan karena penglihatan yang terhalang asap, tidak tahu ketika Daniel segera mengangkat Ginanjar lalu melemparnya dari lantai dua. Tentu setelah sebelumnya memastikan bahwa itu benar Ginanjar melalui dasinya.

Dua pengawal yang diterjang Daniel dan satu pengawal lain di depan Ginanjar sama sekali tidak memperkirakan situasi yang tengah terjadi. Baru setelah terdengar suara debuman keras dan teriakan bosnya dari lantai bawah, segera mereka kalang kabut.

"SHIT! Jangan lempar yang satunya lagi, Dan!" maki Putra. Dirinya dan Jihyo yang tertahan di lantai bawah terpaksa diam karena polisi yang menyerbu.

"Sorry."

Ketiga pengawal yang langsung teralihkan dengan bosnya, membuka jalan bagi Daniel untuk mengamankan tersangka lain. Daniel mengunci leher pemuda yang berdiri kebingungan di sampingnya hingga pemuda itu pingsan kehabisan napas.

"Polisi ke atas. Lo sih pake lempar-lempar orang!" Putra tiba-tiba membentak dengan bisikan.

Daniel harus segara pergi sebelum asap mulai menghilang. "Gue keluar." Ia berlari menuju pintu dengan tulisan 'exit' di atasnya. Ia segera kabur dengan menuruni tangga darurat.

"Komando pusat! Identitas agen terancam. Segera konfirmasi!" Daniel menuruni tangga darurat dengan kecepatan penuh. Dalam waktu singkat Daniel sudah sampai di lantai bawah dan langsung mendobrak pintu keluar.

"Jangan bergerak! Angkat tangan!"

Di depannya, sudah ada dua orang polisi yang berjaga. Daniel refleks menundukkan kepalanya agar wajahnya tidak terlihat. Dia mengangkat tangannya perlahan-lahan. "Mohon izin mengambil tindakan,” bisiknya.

"Izin diberikan."

Daniel memejamkan mata. Berusaha mengatur tenaga serangannya agar tidak melukai dua polisi di depannya terlalu parah.

Dua polisi itu berjalan mendekat dengan pistol yang mengarah pada Daniel. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Balik badan dan berlu---" Ucapan polisi itu terhenti.

Dengan cepat Daniel meraih tangan salah satu polisi dan membengkokkannya ke atas. Selanjutnya ia merampas pistol lalu menghantamkannya ke polisi kedua yang tepat mengenai kepalanya. Hingga polisi itu terjatuh kesakitan.

Dia menendang kaki polisi pertama yang langsung terjatuh dalam posisi berlutut lalu memukul tengkuknya.

***

"Masa dua lawan satu saja kalian kewalahan! Kejar!" perintah polisi yang sepertinya adalah komandan operasi penggerebekan. Putra tersenyum sinis mendengarnya.

Kira-kira satu menit setelah perintah pengejaran, seorang polisi muda berlari memasuki Octagon dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia berlari menuju sang komandan dan melaporkan sesuatu dengan berbisik.

Sang komandan kaget.

***

Daniel berlari cepat. Berbelok di antara perkampungan kumuh yang kontras dengan gemerlap Octagon. Jalanan sepi yang gelap dan sedikit becek memudahkannya untuk berlari di seluk-beluk perkampungan. Suara langkah sepatu cepat dari polisi yang mengejarnya masih terdengar.

Daniel berbelok di sebuah perempatan panjang. Ia berhenti dan bersembunyi di antara kegelapan. Suara langkah cepat itu terus mendekat. Tinggal beberapa detik lagi hingga langkah itu sampai di dekatnya.

Lalu melewatinya.

Polisi itu berhenti. Ia menggaruk-garuk kepalanya bingung. Sekelilingnya sepi. Tidak ada lagi langkah kaki yang tadi diikutinya. Lalu, sebuah tepukan kecil di pundaknya membuatnya menoleh.

Seketika satu tendangan telak menghantam dagu polisi itu. Ia langsung tersungkur ke belakang.

Saat itulah walkie talkie sang polisi menyala dan terdengar teriakan keras dengan sedikit desisan,

"MUNDUR. DIA AGEN. MUNDUR."

Daniel meraih walkie talkie itu. "Telat, udah gue tendang."

***

Jakarta, 11 Maret 2018, pukul 00.45

Dia melihatnya lagi. Sebuah siluet hitam yang berkelebat cepat. Senyap dan tanpa suara. Siluet hitam itu mengintainya dalam jarak dekat tapi tetap tersembunyi.  Gadis itu mempercepat langkahnya dengan panik. Jantungnya berdebar kencang karena ketakutan yang seketika melandanya.

Gadis itu seketika berlari cepat.  Memaksa kedua kakinya untuk berlari dari apa pun yang tengah mengejarnya. Rambut panjangnya terbang tertiup angin, memperlihatkan kulit putihnya yang alami. Detak jantungnya di luar kendali, napasnya memburu, air matanya mulai menusuk-nusuk pelupuk mata.

Dengan badan gemetar hebat, ia merogoh tasnya dengan tergesa-gesa. Satu isakan ketakutan keluar dari mulutnya karena tidak menemukan ponsel yang dicarinya. Ia terus berlari dan berbelok-belok, meski ia tidak tahu ke mana arahnya akan berakhir.

Ia menikung cepat ke arah kanan, ke tempat jejeran toko yang telah tutup. Matanya lalu menangkap tumpukan kotak kayu dan tempat sampah dan langsung bersembunyi di antaranya. Gadis itu kembali merogoh tasnya mencari ponsel. Napasnya menggebu, kedua kakinya lemas. Antara kelelahan berlari dengan high heels-nya bercampur rasa ketakutan.

Hatinya sangat lega ketika akhirnya dia meraih benda berbentuk persegi panjang itu. Tanpa sadar wajahnya sudah penuh dengan air mata. Dia menekan-nekan layar ponselnya, secepat yang dia bisa dengan tangannya yang gemetaran. Gadis itu menempelkan ponselnya ke telinga sambil mengawasi sekeliling dengan waspada.

***