cover landing

Aisfa

By Mellyana Dhian


Prolog

 

Semilir angin malam menerpa rambut panjang seorang gadis yang tengah berdiri di sisi gedung berketinggian lima puluh meter. Matanya terpejam, tetes demi tetes butiran bening keluar dari kelopak matanya. Gadis itu mengabaikan ponsel miliknya, meskipun terus berdering sejak tadi.

Keheningan malam dipecah oleh suara mesin mobil yang lalu-lalang di bawah sana. Sayup-sayup suara musik dari gedung sebelah terdengar samar di telinga. Dia tidak peduli ramainya dunia, yang dia rasakan hanya sendiri dan sepi. Perlahan kaki indah si gadis mendekat ke tepian gedung yang hanya dibatasi pagar besi setinggi tempurung lutut. Sekilas tersenyum melihat fotonya terpampang mengiklankan sebuah produk di layar besar sisi jalan. Selepas ini mungkin dunia entertaiment heboh.

"Dasar gadis bodoh! Kamu hanya akan melakukan kesia-siaan." Suara bariton membentak sambil mengatai si gadis.

"Jangan mendekat!" Larang si gadis dengan suara keras dan bergetar.

Momen yang tidak boleh disia-siakan, tidak boleh mengulur waktu. Dengan cepat si lelaki mengambil alih, membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya.

"Lepaskan! Lepaskaaan!" Dia meronta, berusaha melepaskan dekapan yang semakin kuat. "Lepaskan!"

Gadis itu semakin lemas, seharian tidak makan membuatnya kewalahan melawan kekuatan sang lelaki.

"Kau akan halal untukku," lirihnya di dekat daun telinga si gadis. "Hidup tak akan berarti jika kau hanya memandang gemerlap dunia. Kamu bukan untuk lelaki itu, tetapi untukku."

***

 

Bab 1

 

Agar menjadi kuat harus memiliki kiat. Untuk menjadi bintang harus tahan banting. Untuk menjadi tangguh kau harus teguh. Untuk menjadi sesuatu yang indah perlu perjuangan yang tidak mudah. Layaknya ulat bulu menjijikkan yang harus bertahan, mengabaikan beberapa orang yang jijik melihatnya, mencacimakinya, menjatuhkannya. Dia tetap ikhlas menerima, kemudian mengurung diri beberapa hari dengan penuh kesabaran, hingga menjadi kupu-kupu yang sayapnya dikagumi serta dipuja banyak orang.

"Kak Aisfaaa!!" teriak puluhan pelajar SMA memanggil dari kejauhan.

Merasa dipanggil, gadis jelita itu menutup majalah lantas beranjak menghampiri puluhan siswa berseragam putih abu yang sejak tadi menunggu. Sisi kanan bus terpasang spanduk: My Aisfa.

"Hallo semua," sapa Aisfa dengan ramah. Senyumnya menaikan kadar kecantikan yang ada sejak lahir.

"Minta foto dong, Kak." Seorang gadis berkucir dua mengeluarkan gawai. Tak lupa memberikan bunga mawar putih kesukaan sang idola.

"Boleh." Aisfa langsung menyibakkan rambut lurus hitam mengilat yang membuatnya dikontrak salah satu merek sampo.

"Makasih ya, Kak," riangnya sembari jingkrak-jingkrak. Mirip Aisfa sewaktu SMA saat melihat album EXO berada di genggaman sang ibu, sebagai hadiah anak gadisnya berhasil melakukan tantangan baru.

"Aisfanahla Pramudia, makan siang sudah siap," kata seorang wanita berambut hitam legam. Wanita itu adalah manajer barunya. Sebenarnya Aisfa tidak mudah memercayai orang baru, tetapi mimpi memaksanya untuk melakukan itu. Memang impian membutuhkan pengorbanan, sekalipun melakukan sesuatu yang tidak disuka. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus melakukannya demi cita-cita.

Aisfa memohon maaf kepada penggemarnya dan berjanji akan mengadakan meet and great segera. Dia menunjuk majalah milik sang manajer. "Mbak Nana, aku pinjam majalahnya, ya." Namanya Ina Wulan Sari, Aisfa akrab memanggilnya ‘Mbak Nana’.

"Silakan."

Ina memandu Aisfa menuju ruang makan khusus bintang iklan yang sudah disediakan pihak produksi.

Kali ini Aisfa membintangi iklan sabun mandi kecantikan yang dapat melembutkan, memutihkan dan merawat kulit. Selain menjadi bintang iklan, gadis itu juga merupakan aktris layar lebar yang salah satu filmnya sudah mencapai tujuh juta penonton. Tahun depan filmnya diprediksi bakal melejit ke macanegara. Pecapaian gemilang yang diraih Aisfa setelah 7 tahun berkecimpung di dunia hiburan.

Karier Aisfa dimulai dari menjadi model majalah remaja, lalu bintang iklan, hingga menjadi artis layar lebar. Semua itu dia raih penuh jerih payah, mulai mengikuti casting di berbagai kota hingga perlombaan foto majalah. Salah satu cita-cita besarnya adalah menjadi bintang film utama bersama Tom Holland. Kata ibunya, “Kalau kamu ingin menjadi orang besar, milikilah impian besar pula. Buat impian itu setinggi mungkin. Karena impian adalah milik pemimpi yang berani terbang tinggi.”

Gadis bertinggi badan 165 cm itu duduk, lalu melahap salad buah dan sayurannya. Aisfa sengaja tidak memakan nasi untuk menjaga berat badan.

Usai makan siang, Ina mengajak Aisfa berganti pakaian dengan dress berwarna ungu. Dress tanpa lengan itu mengekspos tubuhnya. Dikarenakan lokasi pengambilan foto berada di atas tebing, Aisfa harus berhati-hati saat berjalan. Ina menggangkat dress panjang Aisfa yang menyentuh tanah.

"Ya. Di situ saja," kata fotografer.

"Apa ini tidak terlalu berbahaya?" tanya Aisfa mengingat tepat di belakangnya adalah jurang, sementara sisi kanan, tidak jauh darinya berdiri merupakan tebing yang menjulang tinggi.

"Itu posisi terbaik."

Aisfa menampilkan ekspresi wajah tidak suka.

"Sudah tidak apa-apa," ujar Ina sambil menjauh dari lokasi Aisfa.

Tidak lama kemudian, tangan terampil fotografer memotret Aisya dalam beberapa pose. Gadis berkulit kuning langsat itu mengusap lembut lengan untuk mengisyaratkan kehalusan kulit yang ia miliki. Tidak bisa dipungkiri, Aisfa adalah salah satu bukti Alquran surah At-Taghbun ayat tiga: Allah telah menciptakanmu (manusia) dengan bentuk yang paling bagus. Sayang, dia tidak mengenal Allah.

"Sebentar!" Fotografer menghentikan proses pengambilan gambar, Aisfa meminta tolong Ina mengambil ponselnya. Tiga panggilan tidak terjawab dan satu pesan belum dibaca dari Fatimah. Bibirnya tertarik ke kiri, menampakan ekspresi kurang suka.

Aisfa, nanti malam ada acara syukuran di rumah. Datang ya. Bunda dan ayah menunggu kehadiranmu.

Aisfa tidak membalas, memilih menakan tombol kunci ponsel lalu memberikannya lagi kepada Ina. Dia berbalik ke belakang, menghadap jurang. Kalau bukan karena ingin balas dendam, dia sudah terjun ke bawah sana. Hidupnya tidak berarti seperti dulu lagi. Cahaya matanya meredup, bibirnya bergetar. "Mama," rintihnya.

Ponsel Aisfa berbunyi lagi. Fatimah menanyakan kenapa pesannya tidak pernah dibalas.

Pesan itu hanya ia balas dengan satu senyum penuh makna. Sejak mama Aisfa pergi, hubungan persahabatan keduanya memang mulai renggang. Persahabatan yang dijalin sejak bangku sekolah dasar itu seolah tidak berarti lagi. Fatimah tidak pernah tahu alasan Aisfa menjauhinya. Begitu lulus SMA, Aisfa dan Fatimah memang jarang bertemu. Meski begitu, keduanya selalu berkirim pesan melalui media sosial. Namun, semuanya sudah berubah. Benar-benar sudah berubah.

Fatimah membuat ibunya bunuh diri. Klausa yang cukup jelas menjadi alasan utama Aisfa menjauh. Dulu, keduanya selalu bersama. Meski keduanya berbeda agama, persahabatan itu bisa terjalin dengan baik hingga bertahun-tahun lamanya.

"Aisfa," panggil Ina agar gadis itu berbalik, menampilkan senyum manis, bersikap profesional dengan pekerjaan yang dilakoninya. Dia harus menikmati semua ini sebelum pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Sekalipun harus membunuh dirinya sendiri, akan sia lakukan, asal dia bisa bertemu sang ibu.

"Kita ulang pose terakhir," pinta fotografer.

"Baiklah," jawab Aisfa menyanggupi.

Tidak butuh waktu lama, foto berhasil diambil. Setelah merasa cukup, sang fotografer menyudahi sesi pemotretan hari ini. "Baik. Kerja yang bagus, Aisfa."

Aisfa berjalan menuju sang fotografer sambil menjinjing dress panjangnya. Tangan kanannya terulur hendak menyalami. "Terima kasih. Senang bekerja sama dengan Anda."

"Saya juga. Anda artis yang baik. Selama saya bekerja sama dengan artis papan atas, belum pernah saya menjumpai artis rendah hati semacam Anda," pujinya.

Aisfa tersenyum. "Saya masih penuh kekurangan."

"Sukanya merendah, semoga Allah mengizinkan kita bekerja sama di lain kesempatan, ya."

Aisfa tersenyum sekilas, tanpa menjawab perkataan lelaki berambut gondrong itu.

Ina pamit ke mobil seraya menenteng tas berisi peralatan Aisfa. Semua orang sibuk merapikan peralatan kecuali Aisfa. Gadis itu duduk sambil memandang segala penjuru. Tangannya menyeka air mata yang turun tiba-tiba. "Mama!" Dalam hati dia menjerit. Aisfa terus terlarut dalam kesedihannya. Banyak penggemar, karier melejit, berlimpah pujian tidak mampu menenangkan hati.

Tiba-tiba suara gemuruh mengisi indra pendengaran Aisfa, membuat gadis itu menyimpan rasa ketakutan. Matanya menyapu sekitar, tidak ada seorang pun. Semua kru produksi sedang sibuk menata barang di samping jalan yang cukup jauh dari tempat Aisfa berada.

Bebatuan berjatuhan, menciptakan suara gemuruh yang cukup dahsyat. Aisfa terduduk di tanah, matanya tertutup rapat, sementara kedua telinganya dia tutup dengan telapak tangan.

"Islam rahmat bagi seluruh alam," suara seseorang seolah berbisik tepat di lubang telinganya.

"Bohong," protes Aisfa, butiran air mata mengalir deras.

"Islam rahmat bagi seluruh alam," suara itu terulang lagi dengan suara lebih keras.

"Aku gak percaya. Hiks ... hiks ...." Tangis Aisfa pecah.

"Islam rahmat bagi seluruh alam. Islam rahmat bagi seluruh alam. Islam rahmat bagi seluruh alam ...."

Aisfa menjerit, "Tidaaaaaaaaak!"

"Aisfa, Aisfa, ada apa?" Ina panik akan keanehan artisnya yang tiba-tiba meringkuk sambil berteriak.

"Tidak mungkin … tidak mungkin … berbohong," rancau gadis itu tidak jelas.

"Apanya yang tidak mungkin? Siapa yang berbohong? Kamu kenapa?" Tiga pertanyaan Ina lontarkan sekaligus.

Gadis itu perlahan membuka mata, napasnya terengah-engah.

"Kamu kenapa?" Dahi Ina berkerut dengan sorot mata penuh kekhawatiran.

"Ada gemuruh." Aisfa memadang sekitar linglung.

"Gemuruh?"

"Tadi tebingnya longsor,” jelasnya sambil berusaha berdiri.

"Tidak ada longsor, Aisfaaa!"

Kedua bola mata cokelat Aisfa memandang sekitar. Semua orang tampak tenang-tenang saja. Tidak ada tanda telah terjadi longsor.

"Aisfaaaa," panggil Ina karena gadis itu melamun. "Ayo ke mobil. Sepertinya kamu butuh istirahat," ajaknya. kedua tangan Ina lincah membersihkan baju Aisfa yang kotor terkena tanah.

Aisfa mengikuti langkah Ina dengan hati penuh tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?

***