cover landing

Aftertaste

By Akhtarara


Prolog

 

Aftertaste [Noun]

Sisa rasa. Rasa yang tertinggal di mulut setelah makan/mengkonsumsi sesuatu.

Aftertaste. Bagi Luna, kata itu cukup tepat menggambarkan apa yang ia rasakan sekarang. Efek yang diperolehnya karena sebuah surat yang tak sengaja dilihatnya. Reaksi otaknya ternyata cukup tak terduga ketika menerima informasi yang ada di dalamnya, yang ternyata mampu membuat saraf-saraf di lidahnya menjadi kelu. Rasanya seperti sehabis mengunyah makanan secara perlahan hanya untuk sekadar menemukan rasa yang sesungguhnya—rasa murni dari makanan tersebut. Dan sayangnya, kali ini yang ia dapatkan adalah rasa pahit.

Sepahit biji mahoni yang diberikan ibunya dahulu, sewaktu anak tetangga yang berumur dua tahun disapih agar terlepas dari ASI. Ibu mengoleskan racikan biji mahoni tersebut ke bibir mungilnya, sembari bercanda dan mengatakan jika sewaktu kecil dirinya juga bernasib sama dengan anak tetangga tersebut. Atau, seperti rasa getah brotowali yang diminum Bi Ijem, jamu yang pahit kesatnya tidak cepat hilang meski ia meminum bergelas-gelas air putih setelahnya.

Ah, apa pentingnya membahas itu sekarang.

Sembari menelan ludah pahit, Luna menatap kembali kertas tersebut. Seandainya saja sinar mata mampu mengeluarkan api, tentunya kertas cantik berwarna perak dengan ornamen keemasan itu sudah hangus menjadi abu sekarang. Ekor matanya masih tak bergerak dari huruf-huruf berbingkai indah bertuliskan nama seorang lelaki yang dikenalnya. Hidup yang menyebalkan. Hah! Delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mereka berdua menjalaninya. Namun, setelah putus beberapa bulan lalu, mantan kekasihnya tersebut menyebarkan undangan pernikahan dengan pacarnya yang baru. Tolong garis bawahi ya, beberapa bulan! Yang benar saja!

“Lun, are you okay?” Dengan hati-hati Andria berucap, wajah wanita itu kini mulai memucat. Mungkin begitu terkejutnya karena surat undangan yang seharusnya rahasia itu saat ini ada di genggaman Luna.

“Dia nikah, Dri? Setelah putus sama gue hanya berselang beberapa bulan?” Pelan, suara Luna serasa diredam suara video yang sedang diputar oleh monitor yang tergantung di dinding kantor. Dahi wanita itu berkerut berlipat-lipat. Ia sungguh tak mengerti, antara dirinya yang terlalu bodoh selama ini atau memang Yoga yang terlalu pintar berselingkuh di belakangnya.

“Bagaimana bisa...?!” Ia bergumam sendiri, “...what the fuck!” umpat Luna akhirnya.

Sorry, Lun, karena gue nggak bilang sama lo. Mungkin lo ngertilah, posisi gue sekarang kayak gimana. Dan, yeah, kalian berdua teman gue.”

Luna tak menggubris ucapan Andria sama sekali. Dia meremas surat undangan itu dan melemparnya dengan kasar ke dalam tong sampah kecil. Segera ia beranjak dari kubikel Andria. Lama-lama di sana takutnya membuat pertahanan dirinya melemah. Ia bergeming, meskipun Andria berkali-kali memanggil namanya. Sembari tetap berusaha menegakkan tubuhnya, pikiranya berlarian ke mana-mana. Termasuk kepada nasib beberapa pasang sepatu dan baju yang masih tersimpan rapi di lemari rumahnya—yang tentu saja kini tak bertuan. Kali ini, dia harus memberitahu mereka bahwa tuannya tak akan pernah pulang.

Setiap langkah kakinya yang terasa terseret-seret, semua kenangan bersama lelaki itu membayang dan berputar di dalam benak. Seharusnya bukan urusannya jika mantan kekasihnya itu menikah dengan wanita lain. Tetapi, entah mengapa ada segerombolan rasa yang menyeruak dan seolah menusuk ke dalam palung terdalam di hatinya. Entah karena kesal, kecewa atau marah. Tapi, apa pantas dia marah? Sedangkan yang meminta mengakhiri hubungan mereka adalah dirinya. Ia dengan kesombongannya. Ia yang merasa Yoga akan merajuk dan meminta berbaikan setelah beberapa minggu terpisah, seperti kejadian putus sebelum-sebelumnya

Luna sungguh tak pernah menyangka, bahwa pertengkaran kecil itu memiliki akhir yang berbeda. Mungkin kekasihnya sudah lelah menemani malam-malamnya, setiap mimpi buruk itu datang. Atau barangkali, lelaki itu sudah bosan karena harus terus mengalah selama mereka berpacaran. Ucapan Yoga sewaktu terakhir kali mereka bertengkar menggema di kepalanya. Lelaki itu mengatakan bahwa suatu hari keegoisan dapat membuat Luna hancur. Dan itu yang kini ia rasakan, mungkin rasa hancur yang dikatakan Yoga atau bisa juga hanya karena harga dirinya yang terluka.

Setetes air mata menyelinap turun di pipinya, membuat langkah kakinya yang memang terasa seperti dibebani berton-ton pasir akhirnya terhenti. Luna menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Menghela napas panjang dan menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tidak, dia tidak boleh menangis. Seorang Luna tidak pernah menangis karena lelaki. Dia melangkah lagi, lebih cepat dari sebelumnya. Saat ini, dia butuh sesuatu yang lebih pahit dari sekedar biji mahoni atau brotowali. Karena seperti orang Korea Selatan katakan saat meminum soju(minuman beralkohol) di dalam drama yang dia tonton, sesuatu yang pahit akan terasa manis saat hidup terasa begitu menyesakkan. Ah, ya...sepertinya dia butuh soju. Sebotol atau dua botol rasanya akan cukup.

Sambil menerobos langit malam yang menggelap, di kepalanya terngiang sebuah lagu yang dinyanyikan Yoga beberapa waktu lalu.

 

Turns out that no one can replace me

I'm permanent you can't erase me

I'll have you remember me

One more kiss is all it takes

I'll leave you with the memory and the aftertaste

 

Aftertaste-Shawn Mendes

*

1.

Koper besar itu diseretnya perlahan. Bunyi ranting-ranting yang terlindas rodanya bergemerisik dan akhirnya terhenti bersamaan dengan langkah kaki Luna. Pandangannya mengedar, melihat sekeliling kondisi rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni. Deburan ombak laut dari arah belakang tubuhnya dan embusan angin yang menerbangkan dedaunan kering—daun-daun pohon beringin dan bougenvile—seolah menyambutnya. Kembali ke tempat ia dibesarkan, tempat dirinya selalu pulang, walaupun sudah tidak ada lagi belaian tangan hangat yang memeluk. Ah, tiba-tiba kerinduan pada sosok ibunya menyelimuti hatinya.

Kedua kakinya menaiki anak tangga, sembari mengangkat koper dengan sedikit tenaga. Saat sampai di teras dengan selamat, bibirnya tersenyum mengingat sesuatu. Di hadapannya, tergambar bayangan seorang anak kecil yang berlarian menaiki anak tangga dengan tergesa yang akhirnya terjatuh dan menangis kencang.

“Pelan pelan, Sayang.” Senyum ibu merekah ketika melihat Luna terjatuh di anak tangga itu. Luna kecil menangis dan memeluk ibunya. Baginya, tangan hangat ibunya selalu mampu meredakan segala rasa sakit. Dan setelahnya si bocah berpipi tembam itu berlarian kembali.

Luna memaksa mengenyahkan bayangan tersebut. Menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat sekelumit bayangan itu akhirnya menghilang dari hadapannya. Mungkin karena saking besarnya kerinduan terhadap ibunya, dia bisa berhalusinasi seakan bayangan itu tampak nyata adanya.

Kenop pintu diputar saat kunci sudah berhasil dibuka. Sekejap, aroma debu dari dalam rumah menusuk rongga hidung tanpa aba-aba. Luna menghela napas panjang. Ya, keputusannya sudah bulat, ia akan menghabiskan waktu di tempat ini mungkin satu atau dua bulan lamanya, sebelum menemukan apa yang harus dilakukannya kemudian.

Hidupnya saat ini layaknya lembar kosong dalam sebuah laman komputer, blank page. Seperti saat kita membuka sebuah tab baru di laman website ketika jaringan internet begitu buruk. Kosong, putih, dan hanya terlihat sebuah ikon berputar—jyang akhirnya gagal. Entah, apakah akhirnya hidupnya akan gagal seperti halnya ikon tersebut atau berhasil membuka lembaran baru nanti.

Ia tidak tahu harus mulai dari mana sekarang ini. Otaknya dipenuhi dengan berbagai hal, dan tetap berada di Jakarta bukan pilihan untuk sementara ini. Tidak saat ini, ketika hatinya sangat terasa remuk-redam, dan harga dirinya begitu terluka. Lucu sekali, patah hati ternyata bisa membuatnya sekacau ini.

Ketika melangkahkan kaki, dia teringat apa yang dilakukannya beberapa hari ini. Pengumuman sialan itu! Mengapa harus Yoga yang menjadi Head Divisi baru di tempatnya bekerja? Ia tidak mungkin bisa menghadapi Yoga saat ini, khususnya setelah melihat surat undangan pernikahan itu. Belum lagi, rasa bosan dan lelah di tempatnya bekerja sudah menerpanya setahun belakangan. Resign, mungkin pilihan yang tepat untuknya. Walaupun atasannya memohon pada Luna, meminta untuk tetap bekerja setidaknya hingga sebulan ke depan. Luna tentunya tidak mau harus melihat wajah Yoga selama sebulan, BIG NO!

Sembari berjalan perlahan dan menutup daun pintu, senyum kecil tersungging di bibirnya. Usianya sudah melewati kepala tiga, tapi kini ia jomblo dan jobless. Haha! Hidupmu begitu lucu, Luna! cibirnya dalam hati.

Semua barang yang ditutupi kain putih menjadi pemandangannya sekarang. Ia yakin banyak debu yang harus dibersihkan dan harus dibereskan sebelum malam menjelang.

***

Luna terbangun dari tidurnya, mengucek kedua kelopak mata sembari turun dari kasur. Rambut hitamnya tergerai sepinggang, sedikit berantakan. Langkah kakinya berjalan ke arah dapur, ke tempat semua aroma wangi berasal—yang tentunya berhasil membangunkan tidurnya. Di sana, Ibu sedang sibuk menguleni adonan. Entah apa yang dibuat Ibu sekarang, tangannya dibungkus plastik transparan saat menguleni adonan tersebut.

“Sudah bangun, Sayang?” tanya Ibu sewaktu melihat putrinya yang sudah duduk manis di meja makan.

“Sarapan dulu, ya?Ibu membentuk adonan menjadi bulatan dan menutup wadahnya dengan selembar kain tipis. Plastik transparan itu kemudian Ibu lepas dan mengambil sesuatu di atas meja.

Dua lembar roti tawar yang sudah dipanggang. Di dalamnya terdapat irisan sosis, telur, keju, dan daun selada. Sandwich kesukaan Luna. Tidak lupa Ibu mengoleskan sedikit madu kelengkeng di atasnya. Kata Ibu, madu kelengkeng selain kualitasnya sangat bagus juga jarang didapatkan. Karena hanya ada pada saat musim kelengkeng tiba. Madu kelengkeng memiliki campuran antara rasa manis dan gurih. Sangat pas dikonsumsi langsung seperti pagi ini.

Luna menyantapnya dengan lahap. Sementara Ibu duduk di sampingnya sembari tersenyum dengan lebar. Sesekali, tangan Ibu menghapus jejak-jejak madu dan remahan sandwich yang menempel di pipi tembem anak gadisnya.

“Lagi buat apa, Bu?”

“Ibu lagi buat makanan yang lezat untuk Luna.

Sandwich lagi?” tanya Luna dengan mata kecilnya yang mengerjap-ngerjap bahagia.

Ibu menggeleng. “Namanya donat. Bentuknya bulat dan bolong di tengahnya. Luna pasti suka.”

Dahi Luna sedikit mengkerut. “Seperti kue kolong-kolong yang dibuat Bi Ijem, Bu?” tanyanya polos. Terbayang di benaknya kue yang berwarna cokelat dan juga bolong tengahnya. Kue yang terbuat dari campuran tepung ketan, tepung beras serta kelapa parut.

“Luna suka kue kolong-kolong!” teriaknya riang.

“Bukan, yang ini berbeda. Nanti kita buat kalau adonannya sudah berhasil mengembang. Kamu habiskan dulu sandwich-nya, terus mandi ya,” titah Ibu.

Senyum Luna kini semakin melebar. Tidak sabar rasanya untuk ikut membuat kue donat yang Ibu katakan barusan. Tiga puluh menit lagi kata Ibu, tidak terlalu lama. Luna bisa menunggu lebih lama dari itu. Ia mengunyah sandwich terakhir sembari mengayun-ayunkan kedua kaki mungilnya di bawah meja. Namun, tiba-tiba latar berubah seketika, badan mungil Luna kini membesar menjadi Luna remaja. Ia berada di dapur yang berbeda, bersama Ibu yang berdiri di depannya mengunakan seragam Chef. Sepertinya mereka sedang bertengkar, entah apa, Luna tidak ingat. Hanya teriakan-teriakan frustrasi dari mulutnya yang keluar.

Suara melengking terdengar, Luna menjerit ketakutan. Sementara Ibu berlari ke arah kompor yang menyemburkan api. Semburan api mengganas dan memanjat ke atas, merambati kayu, lemari, kitchen set dan semua benda di sekitarnya terlahap dengan cepat. Ibu berteriak meminta Luna berlari keluar. Dengan perasaan gamang dan ketakutan, akhirnya ia mengikuti perintah Ibu. Langkah kakinya berlari dengan cepat, ia harus segera mencari pertolongan. Namun, baru saja sampai di pintu keluar, suara ledakan besar dari arah dapur terdengar memekik di telinga. Mungkin tabung gas mereka meledak. 

Dengan menjerit-jerit memohon pertolongan, ia kembali lagi ke dapur untuk mencari ibunya yang kini telah hilang di antara kobaran api yang besar. Di depannya, raksasa merah itu kini mengamuk dan siap menerkam. Kedua kakinya seperti melekat pada lantai yang mulai terasa memanas. Perlahan pandangan matanya memudar, semua warna yang tertangkap retina matanya berubah menjadi warna putih bergantian hitam, kemudian dengan sekejap semuanya menghitam. Lebih hitam dari jelaga.

Kedua bola mata Luna terbuka, napasnya tersengal-sengal. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya. Jemarinya yang juga dipenuhi keringat menyentuh tepat di tengah-tengah dada. Merasakan debaran jantungnya yang seakan berlari dengan kencang. All is well, Luna! Itu hanya mimpi. Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja sekarang. Ucapnya merapalkan mantra yang pernah diajarkan Yoga dahulu sembari mengambil napas panjang-panjang. Biasanya, setiap mimpi itu datang, Yoga akan memeluknya lama sampai degupannya berkurang perlahan dan kembali normal.

Luna mengambil napas panjang lagi. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang bisa menenangkannya saat mimpi buruk itu kembali. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Perlahan, kepalanya menoleh ke arah jendela. Sinar matahari sudah menyusup di antara sela-sela tirai yang sedikit terbuka. Di luar rumah, sudah terdengar aktivitas beberapa orang. Biasanya nelayan yang baru saja pulang melaut. Rumahnya memang dekat sekali dengan bibir pantai. Ia beringsut dan membuka jendela kamarnya dengan lebar.

Pagi pertama di tempat ini dan mimpi itu kembali. Mimpi yang sangat indah sekaligus menyeramkan. Luna mengayunkan kakinya, berjalan ke arah toilet. Degupannya masih terasa meskipun tidak sekencang sebelumnya. Ia mencuci wajahnya berkali-kali. Mengenyahkan mimpi buruk yang selalu menghantuinya saat dalam kondisi sedih dan kesepian seperti ini.

***