cover landing

After School Investigation

By Merinda Lounita


Gila tuh cowok, matanya rabun apa gimana sih?” Alan gemas setengah mati. Jemari lentiknya yang selalu terawat dengan baik mengepal kuat. Dia cepat-cepat merekahkan kepalannya saat sadar ada kemungkinan kukunya bakal rusak mendapat tekanan kuat saking kesalnya melihat si tukang selingkuh itu. Wilona yang secantik bidadari turun dari langit ketujuh tetap diselingkuhi?

Gea yang jongkok di sampingnya mendengus marah. Kalau dibandingkan dengan Alan, hasrat membunuh yang menguar dari cewek itu lebih mengkhawatirkan. Matanya sehat-sehat aja, dia cuma nggak pernah merasa puas aja.

Nggak puas? Okelah kalau selingkuhannya itu lebih cantik, tapi lihat ... OMG! Alan mengangkat tangannya dengan lebay. Gue yakin kulitnya nggak pernah nyentuh skin care atau dia sama sekali nggak kenal perawatan kulit. Tipikil cewek yang menjunjung tinggi kecantikan alami. Alan menarik napas panjang lalu mengembuskannya lebih panjang seraya mengelus-ngelus wajahnya. Jangan sampai kemarahannya malah mengendurkan otot-otot wajahnya. Penampilannya aja berantakan. Itu rambut nggak pernah disisir kali ya.

Sesuai analisis Mei, Cokie nggak nyari cantiknya, tapi ini ... Gea mengetuk-ngetuk pelipisnya. Buat manfaatin kepintaran doang. Jadi dia dapat double keuntungan. Punya pacar yang enak dipandang dan pacar yang pinter. Sial! PENGEN GUE KERANGKENG TUH—

Ssttt ... udah ... udah ... kita balik yuk, takut ketahuan.” Meina melirik resah ke area di kanan-kirinya yang gulap gulita dan dipadati semak-semak. Kedua tangannya sibuk menghalau serangga yang ngotot ingin hinggap di wajah kuning langsatnya. Terus ... lebih mengerikan kalau ketahuan makhluk ... dia bergidik, memeluk tubuhnya sendiri. Kalian ngomelnya ntar aja deh, fotonya kan udah dapat banyak.

“Mei, please deh.” Alan memijat pelipisnya dengan dramatis. “Hantu aja pasti enek liat perbuatan tuh cowok.”

Meina yang jongkok di belakang mereka ketar-ketir sendiri mendengar Alan begitu gamblang menyebutkan kata hantu.

“Hantu di sekitar sini pasti nggak akan gangguin kita karena kita pembela kebenaran,  dia bakalan ganggu cowok tukang selingkuh itu!” sambung Alan antusias, berharap besar keinginannya terkabul.

“Gue setuju.” Gea dan Alan mendadak bersalaman. “Lihat, pohon besar di pojok sana, katanya angker. Tapi buktinya, gue nggak merinding sama sekali.”

“Gue juga!” timpal Alan cepat.

“Penunggu di sana pasti tahu kalau kita orang baik-baik. Atau buat membuktikannya kita datangi aja pohon itu dan minta—”

“Jangan ih, musyrik!” Alan menyela Gea sambil menggoyang-goyangkan jemarinya. “Udah deh, Mei, tenang aja. Mereka lagi asyik berceloteh ria, jadi nggak akan denger kita, walau si Gea teriak-teriak.”

Meina memberengut. Dia paling malas kalau harus terjun ke lapangan langsung. Berbagai pikiran negatif yang menakutkan bakal menyerbunya dan bisa memperburuk situasi. Kedua sahabatnya harusnya tahu, ya ... mereka memang tahu, tapi mereka tetap saja ngotot dengan alasan: “Ganjil itu lebih baik, kalau ada apa-apa, setidaknya orang ketiga bisa selamat lalu bikin laporan. Hal itu tiba-tiba menjadi peraturan utama dalam tata cara terjun ke lapangan di perkumpulan mereka yang bernama Cheating Spouse Investigators atau bisa disebut CSI.

“Lama-lama bisa kedengeran tahu! Ntar kalau orang lain yang lihat, kita malah dituduh maling,” timpal Meina sambil sibuk menampar-nampar kakinya yang mulai diciumi entah semut atau nyamuk atau sebangsa serangga yang tinggal di dedaunan.

Gea mendesis kesal.  “Ya ampun, Mei. Lihat, jarak kita udah sejauh ini. Tenang deh, kami kan udah biasa terjun ke lapangan. Lo cuma ikutin kami aja dan

“Dan jadi penyelamat kalian kalau nyawa kalian berdua terancam,” sela Meina sambil mencebik-cebik bibirnya. “Lah, kalau kita bertiga dalam bahaya gimana?

“Mei.” Alan berdeham dan menatap lembut Meina. “Lo tahu sendiri aturannya kan walau tugas lo sebenarnya bukan terjun langsung ke lapangan. Dan sekarang berhenti bahas itu. Kita harus fokus ke dua sejoli yang menjalin hubungan terlarang itu. Lo tetap stay waspada aja ya.”

Ogah mendengar lagi keluh kesah Meina, Alan dan Gea kompak memunggunginya dan kembali hanyut dalam cacian sembari mengambil banyak-banyak potret Cokie dan selingkuhannya yang sedang makan nasi goreng di gazebo sebuah taman di kompleks perumahan. Jarak mereka dengan target sekitar 300 meter atau mungkin kurang dari itu. Memang, harusnya aman-aman aja karena mereka bersembunyi di seberang taman, terpisahkan oleh jalanan kompleks yang sesekali dilalui motor dan mobil, dibalik gundukan dedaun yang tinggi dan ditata rapi serta yang paling mendukung adalah minim penerangan. Yang mereka pijaki adalah lahan dari sebuah taman juga. Taman kecil yang fungsinya hanya untuk mempermanis jalanan. Jarang dimasuki orang, kecuali petugas kebersihan yang menata beberapa tumbuhan di sekitarnya.

Beberapa hari ke belakang, mereka tidak berhasil mendapatkan bukti perselingkuhan pacar klien mereka itu. Cokie selalu bergerak hati-hati dan nyaris saja mengecoh mereka. Untungnya, Meina yang paling diutamakan dalam menganalisis tingkah laku target, berhasil menyadari sesuatu dan membawa mereka ke kompleks perumahan ini. Tempat si selingkuhan tinggal. Kemudian, dua pasangan itu janjian di sebuah taman dan menyantap nasi goreng  di sana.

“Emang butuh berapa foto lagi, sih?” tanya Meina cemas. “Jumlah fotonya pasti udah ngalahin jumlah foto selfie kalian biasanya, kan?”

Alan mendesah. Dia melirik sedikit ke belakang. “Kita harus dapat foto momentum kemesraan mereka sebanyak-banyaknya. Biar tuh tukang selingkuh nggak bisa ngelak dengan alasan: itu kan sepupuku, itu cuma kebetulan lagi ngobrol sesama pelanggan nasi goreng aja, aku nggak mungkin selingkuh sama dia, aku kan udah punya yang lebih cantik’. Kalau bisa, kita harus dapat foto sebanyak jumlah foto di album sekolah.”

“Setuju. Wilona itu mudah banget leleh, makanya gampang dikibulin dan Cokie aman terus. Syukur deh teman-teman gengnya berhasil maksa dia buat bikin laporan ke kita,” ucap Gea sambil mengarahkan kamera ponsel pintar ke pasangan yang tampak kasmaran itu.

“Iya, iya ... gue juga setuju, tapi dari tadi mereka berdua mesra terus tiap detik, dan kalian udah ngambil foto bejibun banyaknya.”

Gea membalikkan tubuh setelah menyerahkan ponsel ke Alan. Mata bulatnya menatap nyalang Meina. Terbesit penyesalan mengajak sahabatnya yang satu ini padahal tahu ribetnya Meina yang penakut. Namun, Gea butuh kewaspadaan Meina yang menyamai kejelian Seven yang malam ini digantikan Meina untuk sementara. Sebenarnya ada Atri yang menjadi pilihan pertama, tapi cewek itu mendadak punya acara lain. “Dalam aturannya, kita harus mengikuti target sampai selesai. Kalau udah ini Cokie ketemuan sama cewek lain lagi gimana, hah? Kita bisa menang banyak dan Wilona pasti bakal ngebanggain CSI ke anak-anak Dharma, dan klien kita bakal makin banyak.”

“Dua minggu ini penyelidikan kita udah lebih dari cukup. Cokie cuma punya satu selingkuhan. Dia orang pintar, nggak mau ngambil risiko besar punya banyak selingkuhan yang bakal ngehancurin time line pengecoh buat Wilona.” Meina melirik jam tangannya. “Udah mau jam sepuluh malam, pasti ada yang keliling di sini.”

“Eh ... eh ... tuh mereka selesai.” Alan tiba-tiba setengah berdiri saat dua pasangan di kejauhan itu hendak berdiri dan membayar. “Makan nasi gorengnya aja sampai satu setengah jam.

“Harusnya si mang nasi goreng minta bayaran lebih. Dia kan harus ngider ke tempat lain nggak cuma ngeladenin pelanggan yang makan nasi gorengnya dilama-lamain atas nama cinta. Cinta? Cuih!” Gea belum puas mencaci hingga akhir. Dia sampai meludah dan nyaris saja air liurnya terkena kaki Alan yang langsung berjengit kaget bercampur jijik.

Meina bernapas lega, akhirnya selesai sudah. Sesampainya di rumah dia harus segera bersih-bersih untuk menyingkirkan jejak-jejak hewan yang menggelitik kakinya dan mungkin saja ada makhluk tak kasat mata yang bergelayut di sekitarnya. Sesuai petuah Neneknya, harus membersihkan tubuh setelah pergi dari tempat-tempat mengerikan.

“Tukang nasi gorengnya memang nangkring di situ. Dia nggak ngider,” ucap Meina yang akhirnya bisa membahas hal lain. “Lihat, gerobaknya cukup besar kalau buat dibawa ngider. Si mangnya bawa kursi plastik cukup banyak dan sengaja nangkring dekat gazebo di pinggir taman biar sekalian jadi tempat makan juga. Di atas gerobaknya ada terpal yang gulungannya cukup besar, buat jaga-jaga kalau hujan. Kalau yang ngider biasanya bisa neduh di tempat lain. Terus tuh, ada ember besar yang isinya air buat nyuci piring di tempat.”

Alan mengacungkan jempolnya dengan heboh. “Beruntung banget gue rekrut lo!”

“Jadi dari tadi kerjaan lo nganalisis gerobak nasi gorengnya?” tanya Gea sebal karena pusat perhatian Meina melenceng dari yang ditugaskan.

“Gue kan udah nganalisis Cokie berhari-hari. Gue juga enek kali malam ini harus merhatiin dia terus. Lagian tuh gerobak terpampang nyata keadaannya kayak gitu, masa nggak notice kalau taman itu jadi tempatnya berjualan.”

“Sekarang masalahin gerobak?” Alan berkata gemes. “Tuh ... mereka mau pergi, udah siap-siap naik motor. Ayo cuss ah kita ikut—”

“Heh! Siapa itu!” Suara lantang dan serak dari belakang membekukan mereka bertiga yang hendak berbalik. “Ngapain di situ?!” Cahaya senter membanjiri punggung mereka, menyuntikkan ketegangan yang terasa makin kental.

“Sial!” sungut Gea. “Lari!!!!”