cover landing

After I Met You

By lilyfleurie


Tidak terasa akhirnya dua minggu berlalu sejak Agni masuk kantor baru. Ini adalah pengalaman pertamanya bekerja di sebuah perusahaan setelah resmi lulus kuliah dua bulan yang lalu. Ia tidak tahu akan berhadapan dengan rekan kerja seperti apa. Untungnya, semua berjalan lancar seperti yang Agni harapkan. Ia bisa beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkunganya dengan baik. Hidup Agni nyaris sempurna seperti yang ia bayangkan. Pacar, keluarga, pekerjaan, semua ia miliki.

Agni berkenalan dengan timnya yang dipimpin oleh Tyo. Teman satu tim lainnya yaitu Lula, Ardi, Elang, dan Hira. Mereka semua sangat baik karena bersedia mengajari Agni yang baru saja masuk dunia kerja. Hari pertama Agni berjalan dengan lancar dan tidak menyusahkan. Bos dan timnya adalah orang-orang baik. Agni bahagia bisa diterima oleh mereka.

Agni baru saja kembali dari makan siang ketika tiba-tiba mendapat telepon dari Dio—pacarnya sejak zaman kuliah. Karena tidak enak dan takut digoda oleh teman kantor, akhirnya Agni mengangkat telepon sambil menuju pantry sekalian ingin membuat teh.

“Iya, enggak apa-apa kalau ketemuannya besok,” kata Agni di telepon. Ia tersenyum ketika berpapasan dengan rekan sekantor saat menuju pantry. Ia masih berbicara dengan Dio, “Ya sudah ah, terserah. Kamu yang sibuk kok malah aku yang dimarahin. Nanti aja telepon lagi kalau sudah enggak kesal. Aku mau kerja dulu.”

Agni menutup teleponnya. Ia melihat sekeliling pantry, ada Radit yang sedang membuat kopi. Mas-mas ganteng yang hari pertama masuk kerjanya berbarengan dengan Agni. Mas-mas yang sejak pertama kehadirannya membuat ramai lantai 10. Mas-mas yang selalu tersenyum ramah ketika mereka tidak sengaja berpapasan. Bahkan mereka sempat mengobrol beberapa kali meskipun tidak banyak.

Bukan rahasia kalau hampir semua karyawan wanita di sana memuja mas-mas ganteng itu. Jika Agni belum memiliki pacar, ia juga dipastikan akan tertarik dengan Mas Manajer Keuangan yang baru seperti yang lainnya.

Semua orang memanggilnya ‘Pak’ setelah tahu jabatan Radit di kantor, tidak terkecuali Agni. Namun, dengan santainya Radit mengatakan untuk memanggilnya santai saja seperti biasa ketika tidak ada direktur atau orang manajerial lain.

“Hai, Mas,” sapa Agni duluan.

Radit langsung menoleh menghadap Agni. “Hai, Ni. Barusan teleponan sama suami?”

Agni spontan menyilang-nyilangkan tangannya. Ia juga terkejut karena tidak biasanya orang bertanya apakah Agni sudah bersuami. Biasanya orang akan mengira itu pacar atau bukan. Agni tidak menyangka bahwa Radit berpikir dirinya setua itu sampai dikira sudah bersuami.

“Bukan. Aku baru lulus kuliah, Mas. Belum menikah. Itu pacarku, kok,” jelas Agni.

Radit lalu tertawa. “Sori, kirain suami kamu.”

Agni hanya tersenyum mendengar dugaan Radit mengenai dirinya. Ia kemudian kembali pada tujuan awalnya untuk membuat teh. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan kotak teh yang sudah kosong. Ia mendesah panjang lalu mencoba mencari kotak teh yang baru di laci kabinet satu per satu. Tidak ada OB yang bisa ditanyai saat ini, jadi Agni harus mencari sendiri. Radit yang masih ada di sana pun tak terlihat ingin membantu. Mereka tidak saling bicara lagi. Pria itu sibuk sendiri membuat kopi.

Radit pamit terlebih dulu karena kopinya sudah selesai dibuat. Agni dari jauh memandang pria yang selalu mengenakan suit lengkap dan rapi. Menurutnya, Radit adalah tipikal pria metropolitan yang ganteng dan terlihat dewasa. Perawakannya tinggi, badannya tak terlalu kekar, rambutnya ditata ke pinggir dominan sebelah kanan, dan senyumnya sangat ramah.

Ketika pertama masuk di kantor baru, Agni diminta menunggu di sebuah ruangan bersama beberapa orang pegawai baru. Ada 4 orang baru di sana, dan Agni adalah satu-satunya wanita. Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang pria berpenampilan rapi yang membawa tas lengkap dengan super formal masuk begitu saja. Pria itu menjulurkan tangan untuk berkenalan. Dialah Radit.

Radit mengenalkan dirinya pada Agni sambil menjulurkan tangan dan tersenyum tipis tanpa mengatakan apa-apa lagi.  Pria ini tidak terlihat canggung seperti orang-orang di ruangan yang masih bolak-balik membetulkan dasi. Agni sempat mengira bahwa Radit adalah pihak HRD, tapi ternyata bukan. Sejak itu, Agni merasa bahwa jika mereka sedang ada di dunia kampus mungkin Radit akan sangat dielu-elukan. Kharismanya sangat kuat dan mendominasi seisi ruangan hingga Agni pun tak bisa melupakannya sampai hari ini.

Agni segera menggelengkan kepalanya untuk mengingatkan dirinya kalau ia sudah memiliki pacar. Ia tidak boleh ikut mengelu-elukan Radit meskipun pria itu sangat menggoda iman wanita—termasuk dirinya. Ia menggumamkan nama Dio berulang kali agar tetap ingat dengan sang pacar.

Agni kembali duduk ke mejanya setelah kecewa harus mengganti teh dengan minuman cokelat. Ia tak berhasil menemukan teh karena ternyata memang stoknya sedang habis. Hira—rekan kerja yang duduk di meja sebelah langsung menggeser kursi rodanya ke arah Agni. Hira hanya dua tahun lebih tua dari Agni dan menolak dipanggil ‘kak’, jadi mereka sudah seperti teman dekat.

“Lo kenal sama Mas Radit, Ni? Dekat?” tanya Hira.

Agni menggelengkan kepalanya. “Enggak, baru kenal pas pertama kali masuk ke kantor ini. Kenapa?”

“Penasaran aja, sudah punya pacar atau belum, ya? Dia tuh tipe gue banget,” ujar Hira sambil menatap Radit dari kejauhan yang sedang berdiri memegang gelas kopi di depan ruangannya. Pria itu terlihat sedang bicara dengan salah satu staff-nya.

“Lo bukannya sudah punya pacar, Ra?”

Hira menatap Agni sambil tersenyum. “Baru pacar, Ni. Santai aja.”

Agni geleng-geleng kepala. Hira bisa lebih terang-terangan memuja Radit, tapi Agni tidak bisa begitu. Entah bagaimana tapi hati dan otaknya memang tidak mengizinkannya. Agni sudah memiliki pacar dan ia harus bisa menghargai pacarnya dengan tak melirik pria lain. Ia harus tahu batasan dalam fangirling.

“Tanyain dong Mas Radit sudah punya pacar atau belum kalau lo ngobrol lagi sama dia.”

“Dih. Enggak enak tanya-tanya hal pribadi gitu. Lo aja yang tanya, kan lo yang butuh.”

Hira mendesah kecewa, lalu ia kembali menggeser kursi ke tempatnya lagi. Mereka kembali bekerja seperti biasa sampai Hira memanggil Agni lagi untuk berbagi gosip.

“Barusan gue tanya sama anak HR, early 30. Muda, ya? Kirain sudah mid atau late thirty ke atas banget gitu,” ungkap Hira setengah berbisik.

“Gue kira malah baru dua puluh limaan.”

“Ya kali deh,” balas Hira. “Enggak mungkin dua puluh lima, pembawaannya beda, mature banget, enggak kelihatan kayak bocah gitu. Cuma anak HR juga enggak ada yang tahu apakah Mas Radit sudah punya istri atau belum. Mereka pasti tahu, tapi enggak mau kasih tahu. Bohong banget kalau enggak tahu. Sok super rahasia gitu.”

“Memangnya kalau dia belum nikah, lo mau ngegebet, Ra?”

“Tergantung, sih, dia mau sama gue atau enggak.” Hira tersenyum lebar.

“Enggak usah banyak harap, deh! Proposal kerja sama dari Bu Olga sudah di-approve belum?” Elang tiba-tiba ikut bicara membuat keduanya terkejut. Ia berbicara pada Hira, “Gue mau sekalian ketemu Pak Kasim, terus ketemu Bu Olga.”

“Iya, tinggal di-print, sudah beres revisi lo minta tanda tangannya Pak Tyo sendiri, ya. Ngagetin banget lo!” seru Hira sambil kembali menggeser kursi. Ia kemudian sudah kembali sibuk dengan dokumen yang diminta Elang dan tak lagi membicarakan Radit bersama Agni.

Agni tidak berniat menganggu Hira yang sedang sibuk, jadi ia fokus dengan pekerjaannya sendiri. Ketika sedang melamun memikirkan tugasnya mencari vendor bingkisan tahun baru Imlek, tiba-tiba ada pesan WA masuk. Belum sempat ia membaca, Hira sudah histeris duluan sambil memanggil namanya. Hira menyuruh Agni segera membaca pesannya. Traktiran nonton di bioskop nanti sore untuk satu lantai oleh Radit. Agni melongo dibuatnya.

***

Sepulang kerja, Agni biasanya langsung pulang ke kosan dan menceritakan harinya pada Dio—pacarnya. Sayangnya, belakangan ini ia tidak bisa bercerita lama-lama karena sang pacar selalu lembur. Jadi, Agni harus memutus teleponnya dengan Dio. Setelah itu, Agni biasanya langsung menelepon ibunya yang tinggal di Solo. Namun, kali ini berbeda.

Sore itu, satu lantai ditraktir Radit nonton. Ada tiga puluh orang yang ikut. Radit tidak mengatakan alasannya mengajak satu lantai nonton bareng di bioskop. Semua orang yang tampak penasaran dengan alasan Radit pun tidak ada yang berani bertanya mengapa Radit melakukan itu. Agni pun hanya ikut saja tanpa menanyakan alasannya. Ia ikut senang-senang saja bisa nonton gratis bersama satu lantai.

“Makasih ya, Mas. Sering-sering aja traktir nonton,” kata Lula kepada Radit.

Agni tersenyum ketika melewati Radit dan mengucapkan terima kasih. Hira di sebelahnya juga berterima kasih.

“Berapa ya gajinya sampai bisa traktiran gini? Mungkin memang masih single jadi duitnya enggak habis-habis terus bingung mau ngehabisin gimana,” Hira berbisik ke Agni begitu mereka berjalan menjauh dari Radit.

“Bisa jadi, sih,” timpal Agni. Ia tidak bisa menduga, tapi mungkin dugaan Hira ada benarnya juga.

Setelah selesai menonton beberapa orang izin pamit duluan. Kebanyakan yang sudah berkeluarga. Sementara itu, yang bujang masih sanggup untuk makan malam bersama. Agni dipaksa ikut oleh Lula dan Hira, katanya biar cepat akrab dengan yang lain.

Mereka makan malam di salah satu restoran di mal. Di dalam restoran hanya tersisa tim Agni yang dikepalai Tyo, lalu ada Radit dan Gina. Keduanya adalah teman Tyo semasa kuliah jadi mereka sekalian diajak.

“Anggap aja welcome party untuk Agni dan Radit, ya,” kata Tyo.

Party mah di klub aja yuk, Pak!” seru Elang.

Tyo tertawa. “Kalian ajalah, saya malas.”

“Kok gitu? Enggak seru dong, Pak.”

“Ya ampun, memangnya saya enggak tahu kalau kalian clubbing bareng?”

Mereka lalu tertawa bersama.

“Jadi, Pak Tyo dan Mbak Gina satu almet nih sama Mas Radit?” tanya Hira.

“Kok manggil Gina dan Radit pakai Mas dan Mbak? Kok ke saya Pak? Kan kami seumuran,” protes Tyo.

Hira terkekeh-kekeh “Enggak enak, Pak. Bapak kan atasan kami langsung. Mbak Gina sama Mas Radit katanya enggak mau dipanggil Bapak dan Ibu.”

“Ya sudah, panggil saya Mas juga deh, jangan Pak. Nanti dikiranya saya lebih tua dari Gina dan Radit.” Tyo kemudian tertawa dan diikuti oleh yang lainnya.

By the way, Agni betah-betah ya sama Tyo. Kirain kamu bakal masuk tim saya, soalnya saya yang request orang baru, lho. Eh, disalip Tyo,” ujar Gina. Padahal Gina dari tim sales, bukan marketing seperti tujuan Agni. Jadi, mungkin mereka hanya sekadar basa-basi saja.

Tyo tertawa. “Lebih urgent gue, Gin. Lagian lo juga sudah dapat dua lulusan top uni tuh bulan depan.”

Agni hanya bisa tersenyum menanggapi kedua bosnya tersebut.

“Kalau kamu enggak kuat di tim Tyo, bisa kok pindah ke tim saya,” ucap Gina seraya tersenyum ramah melirik Tyo yang sudah misuh-misuh timnya mau disalip.

“Enggak gitu dong, Gin. Agni bahkan belum sebulan kerja sama gue, masa sudah mau ditikung aja,” balas Tyo.

Agni terkekeh-kekeh, lalu ia memutuskan untuk membalas candaan Gina, “Nanti deh kalau aku enggak betah, aku pindah.”

Mereka mengobrol santai, beberapa kali Agni ikut nimbrung dan tertawa. Tyo dan Gina masih sering bercanda memperebutkan Agni, sementara Radit hanya diam dan tertawa seperti yang lainnya. Selesai makan, semuanya pamit diri pulang ke rumah masing-masing. Karena mal sebentar lagi tutup, mereka juga tidak bisa berlama-lama di sana.

Namun sebelum pulang, Tyo sempat berkata, “Besok-besok traktir makan ajalah, Dit. Kayaknya lebih enak makan sambil ngobrol-ngobrol aja. Nonton tuh jadi ngantuk.”

Radit pura-pura berdecak sebal. “Nawar lagi lo.”

Tyo terkekeh-kekeh. “Mumpung.”

“Setuju! Makan aja!” Hira ikutan berseru. Di sebelahnya, Agni berusaha menyuruh Hira diam, tapi namanya Hira memang agak tidak tahu malu jadi percuma saja Agni menyikutnya karena wanita itu terus saja bicara pada Radit. Untungnya Radit tidak terlihat terganggu dan tersinggung.