cover landing

A Thousand Vows For You

By gendis aprilia


Seharusnya, hari pernikahan merupakan momen yang paling dinanti oleh setiap pasangan, terutama sang mempelai wanita. Diantarkan seorang ayah menuju altar lalu disambut tangan hangat sang mempelai pria yang akan mengikat janji sehidup semati dengannya di hadapan Tuhan. Tak lupa sambil dikelilingi para tamu yang ikut merasakan sakralnya pernikahan hingga menitihkan air mata karena tak mampu menahan rasa haru mereka. Momen itu jelas menjadi satu peristiwa yang paling bersejarah bagi semua orang yang hadir. Mengantarkan kebahagian bagi saksi yang melihat langsung proses suci tersebut.

Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku bagi wanita yang sedang berdiri di depan altar sana. Dengan langkah bergetar, dia terus berjalan menuju tempat di mana takdirnya dengan sang lelaki terikat abadi. Di balik gaun panjang warna putih dan wajah cantik yang terpoles riasan yang tertutupi oleh veil, Indah tidak mampu menutupi kemarahannya. Dadanya terasa sesak mendapati tatapan penuh tanya atas kehadirannya seorang diri di altar. 

Sebagai pengantin yang malam sebelumnya merasa berbunga-bunga sampai ingin melambung ke angkasa, kini Indah serasa seperti dilempar kembali ke jurang. Ia harus menelan pil pahit karena Rama, pria yang harusnya menjadi mempelai prianya di pernikahan ini justru kabur tanpa kabar. Dadanya terasa remuk. Indah kehilangan wajahnya detik itu juga.

Sejujurnya, Indah tak begitu menyayangkan kepergian sang ‘calon’ suami yang tiba-tiba seperti ini. Ia sudah telanjur kehilangan muka di depan para tamu yang kini sudah mencibirnya. Indah bisa saja mengikuti jejak Rama dengan kabur untuk menghindari rasa malu. Namun, begitu mengingat betapa orangtua lelaki itu sangat berharap banyak padanya membuat Indah harus rela menahan diri agar tidak melarikan diri. Di dalam benaknya, Rama adalah lelaki pengkhianat yang pantas untuk dihukum gantung.

Sesampainya di depan altar, Pastor pun menyambut kedatangannya dengan heran sekaligus bingung. Wanita yang akan menikah itu hanya datang sendiri tanpa pendamping. Indah yang merasakan kegugupan hanya bisa menundukkan kepala tanpa berani menatap ke arah sang Pastur. Suasana mendadak jadi gaduh karena bisikkan dari para tamu undangan yang terus memperdebatkan ke mana perginya si mempelai pria. Hal itu semakin memojokkan posisi Indah sebagai satu-satunya orang yang berdiri di sana.

"Maaf. Jika boleh saya tahu, di mana mempelai prianya? Apakah pernikahan ini masih ingin dilanjutkan?" tanya Pastor yang berhasil menyentak Indah dari lamunannya.

Wanita itu tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Bibirnya terasa kaku untuk mengeluarkan kata-kata. Sekarang, habislah sudah masa depan yang ia rencanakan selama ini. Satu-satunya yang terlintas di benaknya hanyalah sebuah pembatalan. Sebelum terlambat, Indah harus segera membatalkan semuanya demi menyelamatkan rasa malu.

Baru saja bibir Indah terbuka, posisi mempelai pria di sampingnya tiba-tiba saja terisi. Begitu memutar kepala, Indah bisa melihat seorang pria memposisikan diri tepat di samping kirinya. Di tempat yang seharusnya menjadi singgasana mempelai pria yang mendampinginya. Tubuh menjulang pria itu menegak dengan percaya diri.

"Ya, aku akan melanjutkannya.”

Indah sontak membulatkan mata tak percaya. Rasa kagetnya bertambah dua kali lipat setelah mendengar kalimat penuh ketegasan dan keyakinan dari pria tersebut. Pria yang tak pernah Indah kenal secara dekat, tetapi berani bersikap seolah memang dirinyalah yang menjadi pengantin pria di pernikahan ini. 

Adrian. Pria jangkung yang sedang memamerkan wajah tanpa keraguan atas ucapannya beberapa saat lalu itu adalah Adrian. Adik dari laki-laki yang harusnya menjadi calon suami Indah. Alias, calon adik iparnya. 

"Kau? Untuk apa kau di sini? Pergilah. Aku akan mengatakan kepada Pastor bahwa aku ingin membatal—"

Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Adrian  sudah lebih dulu meraih pudak Indah lalu mencengkramnya kuat. Bibirnya mendekat ke arah telinga Indah sebelum berbisik dengan nada keras dan tegas. 

 “Kakak Ipar, diamlah! Ucapkan saja sumpahmu!" ujarnya sebelum melepaskan tangannya yang mencengkram bahu Indah.

Indah menggeram frustrasi. Ia benci jika harus berkata bahwa dirinya seperti dinikahkan secara paksa. Indah ingin kehadirannya di altar saat ini adalah suatu keharusan dan kewajiban sebagai seorang wanita yang akan bersuami, bukan sebagai seorang wanita yang ditinggalkan calon suaminya di hari pernikahan seperti sekarang.

Adegan tak biasa di hadapannya tak pelak membuat Pastor sedikit mengernyitkan dahi bingung.  Namun, meskipun begitu, hal tersebut tak mengubah pendirian Adrian yang masih berada di samping Indah dengan wajah dinginnya.

"Hei, coba kau lihat. Bukankah dia adalah adik Rama si mempelai pria? Apakah ia melarikan diri karena sedang bersama wanita lain?" bisik salah satu tamu undangan wanita yang berbicara pada rekan sebelahnya. 

Indah mendengarnya dari tempatnya berpijak, dan ia hanya bisa tertunduk malu. Hari ini mungkin menjadi hari yang takkan terlupakan untuknya. Semua tamu yang menyaksikan pernikahannya pasti akan membawa cerita menggelikkan tentang sang pengantin wanita yang ditinggalkan calon pasangannya.

Sungguh, rasanya Indah tak ingin hidup lagi. Dingin sudah menjalari punggungnya, seperti ada hantu yang tengah merayap di atasnya. Tubuhnya mendadak berat dan tak bisa bergerak sedikit pun. Ia memilih memejamkan mata seerat mungkin, berharap bahwa semua yang ia alami adalah mimpi buruk yang siap memudar begitu matanya kembali terbuka. Namun, harapan tinggallah harapan saat suara berat itu membuat matanya terbuka dengan paksa. Suara yang selama ini terdengar asing baginya itu kini berembus hangat menggelitik telinganya.

"Jangan pedulikan mereka. Tidak ada satu pun dari ucapan mereka yang bisa mengubah jalan hidupmu. Kau masih bisa bernapas meskipun mereka semua membencimu," ucap Adrian sambil berbisik.

Tiba-tiba Indah merasakan ada sesuatu yang menggenggam tangannya dengan hangat. Wanita itu sontak memutar kepala. Sedetik kemudian, dia bisa melihat Adrian yang berwajah muram memegang tangannya. Pria itu terlihat sangat tidak ramah. Wajahnya yang seharusnya tampan itu tertutupi aura kelam yang menyeramkan. Namun, Indah sadar bahwa lelaki ini bukan sosok yang akan meninggalkannya. 

Meski tanpa senyuman, tatapan Adrian mampu menenangkan hati Indah yang hampir meledak. Ia seperti melihat sesuatu yang tersembunyi di balik mata tajam itu. Semakin lama Indah menatapnya, semakin Indah merasakan bahwa napasnya seolah terhenti. Namun, di sisi lain ia sadar bahwa situasi ini seperti menusuk tulangnya yang paling dalam. Ia merasa bahwa kedua saudara sudah mempermainkannya seperti sebuah lelucon.

"Jadi, apakah pernikahan ini bisa kita mulai? Mengingat di sini sudah hadir mempelai prianya," tanya Pastor, membuyarkan pandangan penuh rasa terpesona yang disiratkan oleh Indah untuk Adrian. Keduanya sama-sama mengangguk mendengar perintah dari sang Pastur untuk melanjutkan acara ini.

"Sekarang, apakah kau menerima pria ini sebagai suamimu? Menjaganya dalam keadaan senang maupun susah? Serta dalam keadaan sehat maupun sakit?" tanya Pastor kepada Indah yang terus menundukkan kepala untuk menyembunyikan isak tangisnya.

"I-Iya," balas Indah dengan suara bergetar karena isakkannya dari balik veil yang ia gunakan. Baru kali ini dia merasakan bahwa mengucapkan satu kata seperti memborgol diri. Setelah ini, ia hanya akan menghabiskan dan menggantungkan hidupnya pada Adrian, sosok yang tak dikenalnya luar dalam.

"Apakah kau menerima wanita ini sebagai istrimu? Menjaganya dalam keadaan sakit maupun sehat, dalam keadaan senang maupun susah, serta dalam keadaan hidup maupun mati?" tanya Pastor kepada Adrian yang sejak awal terus menatap Pastor dengan serius. Sedetik kemudian, pandangannya beralih menuju Indah yang masih tersedu dari balik veil-nya.

Adrian meraih tangan Indah dan menggenggamnya lalu memandangnya dengan senyuman hangat. Sebuah senyuman yang Indah kira takkan dia lihat dari wajah muram Adrian. Sepasang mata hazel yang tak biasa itu menguncinya, seolah menyiratkan cinta yang mendalam untuk wanita yang berdiri di sampingnya itu dengan hangat.

"Ya, aku berani bersumpah seribu kali bahwa aku tidak akan pernah membiarkannya pergi dari sisiku."

Semua tamu yang hadir disana dibuat tertegun. Bohong jika mereka tidak tahu apa pun tentang sang mempelai pria yang tergantikan. Namun, sumpah itu mutlak dan benar adanya.

“Kau bisa mencium mempelai wanitamu,” ucap sang Pastor, wakil Tuhan yang kini telah menyatukan anak Tuhan di hadapannya.

Indah hampir tak bisa berpikir jernih kala mendengar sumpah itu. Itu  ... tak biasa. Bahkan sampai Pastor mempersilakan Adrian menciumnya pun, Indah masih bergeming. Dia baru sadar wajah Adrian sudah mendekat ke wajahnya.

May I?” tanyanya berbisik lembut.

Indah mau tak mau mengangguk pelan, seolah tersihir dengan apa yang ada di hadapannya. Padahal, ia yakin pada detik itu ia belum mencintai ‘suami barunya’ itu.

Adrian mendekatkan bibirnya. Bukan ke arah bibir istrinya, melainkan ke keningnya. Dengan lembut, kecupan itu mendarat hingga membuat semua orang bertepuk tangan. Bersatunya dua orang itu artinya mengubah kehidupan mereka kelak.

Tak jauh dari pemandangan itu, seseorang berkaos putih dan celana jeans memandangi keduanya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Hatinya remuk redam melihat orang yang paling ia harapkan bersanding dengannya di hadapan Tuhan telah menjadi milik orang lain. Tak ada yang bisa ia dilakukan sekarang. Terlambat baginya jika ingin mengubah lagi semua. Ia sudah memutuskan untuk mengubah hidupnya dan hidup mereka yang akhirnya menjadi sepasang suami istri.

Perih. Andai ia bisa memilih, dirinya takkan rela membiarkan wanita yang dicintainya setengah mati bersanding dengan orang lain, sekalipun itu adalah adiknya sendiri. Namun, takdir mereka sudah tak sejalan. Mereka takkan pernah bisa bersatu. Lelaki itu takkan bisa tenang jika harus melihat wanita itu terjebak bersamanya. Terpuruk dalam penderitaan yang dialaminya. Mungkin dengan begini ia bisa membahagiakan wanita itu, meski artinya harus hancur terlebih dahulu. Ia rela.

Matanya terasa pedih melihat sosok yang seharusnya saat ini berada di sisinya, yang seharusnya ia rengkuh sebagai miliknya berada di altar dengan pria lain. Wanita itu sudah menjadi milik orang lain. Milik pria yang dirasanya pantas untuk menjaga hal berharga dalam hidupnya. 

Biarlah ... Indah pantas bahagia, bukannya sengsara dengannya. Ia tidak mau menyeret wanita itu dalam dukanya. Hanya doa bahagia yang bisa ia panjatkan, meski rasanya begitu berat. Lelaki itu merasa ia takkan bisa bertahan. Namun, pasti. Ia harus mencoba menahan perih ini.

“Semoga kalian bahagia. Aku ... mencintaimu, Indah. Selalu,” ucapnya parau sebelum akhirnya berjalan meninggalkan pekarangan gereja ke arah mobil sedan yang terparkir di sana. Berjalan menuju jalan yang berbeda dengan wanita yang seharusnya ia nikahi dan kasihi sesuai janjinya di hadapan Tuhan. 

Kini, janji itu telah diambil alih oleh sang adik. Adrian Aditama.

Lelaki yang mengucapkan janji setia untukku adalah orang yang hanya beberapa kali aku temui dan dia adalah adik iparku.” Indah

“Aku bersumpah untuk setia kepadanya, wanita yang seharusnya menjadi kakak iparku.” Adrian