Prolog
Gue pernah bilang, bahwa sebelum lo jatuh cinta, lo harus siap buat terluka. Harusnya gue lebih dulu bilang begitu ke diri sendiri, supaya gue belajar, supaya gue paham kalau ternyata melihat lo mencintai orang lain menimbulkan luka.
Maaf, Hana ….
Mencintai lo masih jadi hal paling menyenangkan seumur hidup. Dan kalau Tuhan menghendaki, gue akan tetap mencintai lo setelah gue mati.
Entah kenapa, sekarang gue nyesal udah ngasih tahu lo semua tentang perasaan gue. Kalau gue bisa putar waktu, gue akan menahan semuanya sebisa gue, agar lo nggak terbebani, agar lo nggak berusaha mencintai gue yang sekarat ini.
Lo benar, gue jahat.
Gue egois karena mengharapkan cinta lo yang bahkan nggak bisa gue jaga.
Kalau masa kita memang harus berakhir di sini, janji sama gue, nangisnya jangan lama-lama, ya? Dunia itu luas, Na. Lo harus temui banyak kebahagiaan di luar sana, bahkan lo boleh lupakan gue kalau itu bisa bikin lo bahagia.
Karena setelah semua yang terjadi, bahagia lo tetap jadi bahagia gue.
Maka dari itu, bahagia terus ya, bahagiaku.
Jakarta, 2020
Part 1 | Wajah di Mading
“Real love doesn’t meet you at your best. It meets you in your mess.”
─ Js Park
[ HANA ]
Gue ketemu cogan! |
Jari jemariku lincah bermain di atas layar, kemudian dengan semangat menggebu-gebu kukirim satu balon chat tersebut. Sembari menunggu balasan, minatku beralih ke galeri, membuka lagi foto-foto seorang lelaki yang berhasil kuabadikan secepat kilat─terima kasih jiwa refleksku, jasamu akan kukenang selamanya─dan, waw, ke mana saja aku selama ini? Kok, bisa-bisanya aku baru sadar kalau ada makhluk seelok ini di kampus?
Keana
| Emang ganteng, sih
| Lo nggak kenal?
Kedua alisku lekas bertaut, berusaha mengingat-ngingat apakah ada memori tentang lelaki ini di kepalaku yang berkapasitas rendah. Dari pertama kali melihatnya keluarga ruangan BEM, aku memang merasa lelaki ini cukup familier. Tapi aku yakin kami tak pernah bertemu sebelumnya.
Nggak, tapi mukanya kayak nggak asing. Anak BEM bukan, ya? |
Balasan dari Keana datang lebih cepat dari yang kuduga.
Keana
| Mana gue tau wkwk
| Coba lo tanya aja di mading.
Mading yang Keana maksud itu adalah mading umum yang berdiri di sepanjang koridor utama kampus. Semua orang dari jurusan mana pun pasti bisa melihatnya. Selesai ospek, mahasiswa baru dipersilakan mengisi mading tersebut dengan kesan dan pesan yang berkaitan dengan kegiatan ospek, jurusan, dosen, mata kuliah, bahkan beberapa ada yang terang-terangan mengirim pesan untuk senior.
Aku tahu yang terakhir itu tindakan gila, tapi apa salahnya mencoba? Kalau dari cerita-cerita halu yang sering kubaca di Twitter, si Pengirim dan si Penerima biasanya berujung dekat karena pengakuan bodoh semacam ini. Let’s try!
Siap, laksanakan! Muehehehe. |
Keana
| Dih, seriusan lo?
Serius, dong! Cinta itu diperjuangkan! |
Kuliah ini boring, kurasa aku perlu sesuatu yang bisa membangkitkan semangatku untuk bangun pagi setiap harinya. Lagian, aku tidak mau ya menyia-nyiakan lelaki secerah masa depanku itu menjadi orang yang hanya bisa kukagumi dari fotonya saja. No way!
Karena dalam kamus perbucinan seorang Hana, menyukai seseorang berarti memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan! Yok semangat, yok!
*
Pagi-pagi buta keesokan harinya, aku datang ke kampus berbekal selebaran yang baru saja kucetak beserta alat-alat tulis. Aku sendiri kagum dengan niatku mencari sosok lelaki yang kutemui kemarin. Deminya, aku bahkan rela mengurangi jatah tidur dan dengan semangat empat lima meluncur ke kampus tanpa mandi.
Tak apa, kelasku baru dimulai siang hari. Toh, sehabis misiku selesai, aku akan pulang lagi untuk tidur. Jadi mandinya kapan-kapan saja.
Sesampainya di mading yang menurutku letaknya strategis, aku buru-buru membuka totebag lalu mengeluarkan selembar kertas berisikan foto lelaki kemarin dan lem kertas. Sambil melirik kanan-kiri memastikan tidak ada siapa pun yang menyaksikan, tanganku cekatan mengoleskan lem di balik selebaran kemudian menempelkannya di papan mading.
Tidak sampai semenit, mahakarya atas nama cinta seorang Hana terpajang dengan indah.
Waw. Bahkan cuma berbentuk dua dimensi aja, he’s literally shine so brightly. Aku berdecak takjub. Alamak, kalau foto cowok seganteng ini di pajang di mading, bisa-bisa orang lain ikutan naksir. Huft, aku agak malas berkompetisi, selalu kalah soalnya.
Ah, terserahlah. Namanya juga coba-coba berhadiah.
Aku mundur beberapa langkah, mencoba memastikan kertas yang kupasang itu lurus atau tidak. Tapi belum juga mencapai langkah ketiga, badanku lekas mematung karena menabrak dada seseorang.
“Lo ngapain?”
“Ha?”
“Maba, ya?”
“Ha?” Aku membeo seperti orang bodoh.
“Lo anak mana? Baru jam enam loh, kelas lo masuk?” tanyanya, diiringi kekehan tertahan. Aku memajukan bibir, lalu menunduk. Aku tidak mau punya saksi mata! “Kalau ditanya kating tuh dijawab dong, Dek.”
Suaranya tiba-tiba berubah tegas, aku jadi merasa sedang di ospek lagi. Tanpa sadar, tubuhku berubah tegak.
“Hana, maba Komunikasi, Kak.”
“Gue nggak nanya nama lo padahal.” Senior berlesung pipi ini kemudian terkekeh, berhasil membuatku mendengus dan hampir mengumpat detik itu juga. Sambil mengangkat tumpukan kertas di pelukannya, ia berjalan ke arah mading. Lalu katanya, “Lo nyari orang ini?”
Aku mengangguk, tapi tawanya yang semakin kencang akhirnya membuatku menggeleng. “Bukan. Maksud gue itu titipan teman gue.”
Lelaki yang kurasa petugas mading ini─apalah nama jabatan resminya, aku tidak tahu─tersenyum miring sampai kedua lubang di pipinya terbit semakin dalam. Manis banget, tapi aku nggak suka yang manis-manis.
“Gabut banget ke kampus sepagi ini cuma buat nempelin kertas confess teman lo.”
“Benar, kok. Itu punya teman gue.”
“Oh ya? Kalau gitu lo tau nggak foto siapa yang lo tempel ini?”
Mataku buru-buru mengerjap, menatap selebaran yang kutempel dan kakak senior di depanku bergantian.
“Tau, dong. Dia anak BEM,” cetusku, mencoba terlihat senatural mungkin. Semoga ia tidak memperhatikan kakiku yang sudah gemetaran menahan malu. Sadar bahwa aktingku buruk, aku buru-buru membungkuk untuk pamit. “Misi gue membantu teman udah selesai. Teman gue pasti bangga. Gue duluan ya, Kak.”
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung berbalik dan berlari meninggalkan koridor dengan wajah memanas. Dari jauh, aku bahkan bisa mendengarnya terkekeh. Ah, aku punya firasat buruk tentang ini semua.
*
Kedua tanganku lemas di sisi tubuh, bahuku jatuh, jantungku carut-marut, sementara Keana dan Ardika yang duduk tepat di depanku sibuk mengulum senyum. Kutatap kertas kusut yang kuletakkan di atas meja kantin itu, membaca lagi tulisan di bawahnya, kemudian meringis.
Tamatlah riwayat hidupku.
“Lo tuh ya, masa iya nempelin beginian di mading?” Suara Ardika bergetar, antara menahan tawa dan menahan rasa ingin menghujat kebodohanku.
“Keana yang nyuruh gue, Dik!”
“Gue bercanda, salah lo sendiri yang nelan candaan gue bulat-bulat,” balas Keana, membuatku tambah memelas. “Lagian, masa lo nggak kenal Kamasean? For real?”
Ardika mendecak nyaring, kemudian jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kepalaku. “Halo, otak. Masih ada di sana apa nggak?” Dengan sewot, kutepis tangannya yang sontak saja langsung menimbulkan gelak tawa. Aku mendelik, Keana dan Ardika sejak dulu memang senang sekali mengerjaiku. Mereka tidak bisa diharapkan.
Firasatku benar, rupanya. Selebaran yang kutempel ini mencuri banyak perhatian dan sialnya─atau mungkin, untungnya?─dibalas oleh seseorang. Aku tak tahu siapa yang membubuhkan tulisan dengan tinta merah itu, yang jelas aku berhasil dibuat menganga karena ternyata lelaki yang kucari adalah ketua BEM.
Salahkan memori jangka pendekku karena tidak bisa mengingat wajah seseorang atau mungkin aku yang ketiduran selama perkenalan anggota BEM sewaktu ospek dua minggu lalu. Entahlah, yang jelas aku memang bodoh. Untuk yang satu itu aku cukup yakin.
“Bagaimana ini? Gue nggak akan bisa melihat matahari esok.” Aku mengacak-ngacak rambut kemudian menenggelamkan wajah di antara kedua lengan. “Kalian kok tega nggak ngasih tahu gue kalau ini ketua BEM kita? Bisa mampus gue kalau dia nggak terima fotonya dipajang di mading.”
“Tapi kan nggak ada yang tau juga lo yang masang selebaran itu,” ujar Keana. Aku baru saja ingin mengiakan, tetapi tiba-tiba teringat senior berlesung pipi yang memergokiku─ASTAGA!
“Ada saksi mata! Dia mergokin gue pas masang ini.” Aku refleks menggebrak meja. “Dia senior, tinggi-tinggi gitu terus putih, punya dua lesung pipi─”
“Kak Chandra?” Mata Keana membulat. “Itu sih soulmate-nya Kak Kamasean!”
Bye world.
Aku masih melongo dengan mulut yang membuka-menutup sebab bingung harus mengutarakan semua kepanikan ini dengan bahasa apa ketika Ardika lagi-lagi mengulurkan tangan. Kali ini dia menepuk-nepuk puncak kepalaku sembari mengangguk-angguk.
“Senang mengenal lo, Hana. Mulai sekarang anggap aja kita nggak pernah temenan.”
“Anjir lo!”
Keana terbahak. “Hoh hoh tak tahu tak tahu,” ledeknya, menirukan gaya Upin Ipin. Aku sudah mengepalkan tangan dan bersiap mendaratkan sebuah bogeman untuk Keana ketika ponselku berbunyi nyaring.
Nama Keenan tertera di layar.
“Hal─”
“Keenaaaan!!!” Aku langsung merengek sembari menekan tombol loudspeaker, membuat baik Keana dan Ardika keduanya sama-sama terlonjak kaget. “Ken, gue kena masalah! Bantuin gue, please.”
Di ujung sana, Keenan terdengar panik. “Kenapa? Lo di mana?”
Aku baru saja membuka mulut, tetapi Ardika lebih dulu menjawab. “Dia naksir sama ketua BEM, terus dengan begonya majang foto tuh cowok di mading. Ya, jelas heboh, lah.”
“Gue yakin Hana bakal diciduk nggak lama lagi.” Keana menambahkan.
“Gue iseng, ya. Gue juga mana tahu kalau dia ketua BEM. Keana tuh yang ngerjain gue pake nyuruh nanya di mading!”
Keana terkikik geli. “Lo-nya yang gampang dikerjain,” bisiknya pelan, sengaja agar Keenan tak mendengar.
Aku merengek lagi. “Ken, besok selundupin gue di tas lo, ya?” Keenan tak menjawab, hanya getar tawanya yang terdengar hangat.
“Selundupin lo kata narkoba kali,” seloroh Ardika.
Aku buru-buru menopang dagu dengan sok manis. “Mirip kok gue sama narkoba, sama-sama bikin candu.” Ardika dan Keana menjulurkan lidahnya, tapi tak ayal kami tertawa juga.
Detik berikutnya, hela napas Keenan yang terdengar berat mengambil alih perhatianku.
“Tapi besok gue masih belum bisa ngampus, Na,” katanya, entah kenapa kami semua langsung bungkam. Aku mengangguk, meski tahu Keenan tak dapat melihatku. “Hari ini gue kemoterapi, doain ya?”
Selama beberapa jenak itu, kami benar-benar berubah hening, seolah larut dalam pikiran masing-masing.
Keana kemudian jadi orang pertama yang bersuara. “Ngeri gue bayanginnya. Lekas membaik sobatku, aku rindu traktiran darimu.”
Keenan tertawa lagi.
“Sing kuat, Lur!” Ardika ikut menyemangati.
Sementara aku menghela napas, lalu mematikan loudspeaker dan mendekatkan ponselku ke telinga. Pada Keenan, aku berbisik, “Mau gue temenin nggak?”
“Nggak usah. Khawatirnya biasa aja kali, Na.”
“Dih, siapa juga yang khawatir?”
“Oh jadi nggak?”
Aku terkekeh rendah, kemudian berbisik lagi agar Keana dan Ardika yang sedang meributkan perihal tusuk gigi bekas tak dapat mendengarku.
“Cepat ngampus lagi, Ken. Hana kangen Keenan banyak-banyak!”
Keenan tak lagi bersuara, tapi aku tahu ia pasti sedang tersenyum.