cover landing

A Recipe for the New One

By mrsjugo


Adrian baru keluar dari ruang rapat Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan ketika Sofia, rekan sesama dosen memanggil.

"Gimana, Bu Sofia?" tanya Adrian hanya atas dasar kesopanan.

"Pak Adrian masih ada kelas lagi setelah ini?" tanya Sofia menjajari langkah Adrian.

Adrian menggeleng. "Kebetulan jam mengajar saya sudah selesai siang ini. Hanya bimbingan beberapa mahasiswa."

Sofia menatap Adrian lekat. "Saya mau mengajak Pak Adrian makan siang kalo belum makan. Sekaligus membahas acara pengabdian masyarakat di Pantura yang kemarin sempat kita bahas bersama Pak Andreas."

Adrian mengangkat nasi kotak yang dia bawa dari ruang rapat barusan dan bersyukur masih memiliki jatah keberuntungan hari ini. "Maaf bu Sofia, saya sudah ada jatah nasi kotak dari rapat lab barusan. Mungkin lain kali. Saya duluan,” ujar Adrian bergegas dan mempercepat langkahnya.

Adrian menghela napas kasar dan duduk di kursinya. Ruangannya terpisah antara ruang dosen yang lain, walaupun dengan kaca yang dilengkapi stiker sandblast tetap terlihat dari luar. Jabatan sebagai Sekretaris Departemen membuatnya memiliki ruangan sendiri.

Adrian baru saja mengambil air dingin dari dispenser di ruangannya ketika Julian, rekan sesama dosen yang kebetulan merupakan teman seangkatannya ketika masih sama-sama kuliah S1 di Bandung dulu, masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu sama sekali. Tingkat kesopanan sudah hilang sejak tahun pertama pertemanan mereka dulu.

"Ciee ciee… Dri. Dipepet terus sama Bu Sofia," celetuk Julian tak sopan.

Adrian hanya memutar bola mata. "Nggak ada kerjaan? Mau aku tambahin kerjaan? Itu, Pak Arif butuh ketua panitia wisuda.”

Julian tergelak, “Makasih loh, Dri, nggak usah repot-repot.”

Adrian terkekeh singkat kemudian menaikkan alis. Sebuah pertanyaan tanpa kalimat yang sudah dihafal oleh Julian.

"Dri, kamu nggak mikir bakal selamanya hidup sendiri, kan? Zanetta sama Zian butuh mami baru, kamu butuh istri, Dri," kata Julian serius. Adrian menarik napas lelah, “Bu Sofia itu pintar, masih muda, keibuan. Udah cocok banget.”

"Kamu nggak bisa selamanya nitipin Zanetta sama Zian ke Vanya terus-terusan kan, Dri," kata Julian hati-hati, "Walaupun aku sama Ucha juga nggak keberatan sih. Zanetta sama Zian itu menggemaskan banget. Diandra kemarin juga sempat nanyain Zanetta sama Zian kok udah lama nggak ke rumah. Kangen katanya."

Adrian mendesah merenungi hidup. Berlian, istrinya, meninggal karena preeklamsia saat melahirkan Zian tiga tahun yang lalu. Zian tidak pernah mengenal ibunya sama sekali. Ibu yang dikenalnya adalah Uti Winda, ibu Adrian, serta Yangti Ratih, ibu Berlian. Mereka berdua yang selama ini membantunya mengasuh Zanetta dan Zian.

Tak jarang Adrian terpaksa menitipkan anak-anaknya pada Ucha, istri Julian maupun Vanya, istri Vian, sahabat-sahabatnya. Beruntung Zanetta satu sekolah dengan Alana, anaknya Vian, jadi sering memudahkan Vanya apabila Adrian terpaksa harus menitipkan Zanetta dan Zian.

Bahkan, tak jarang pula Adrian terpaksa membawa Zanetta dan Zian ke kantor. Mau bagaimana lagi. Beruntung rekan-rekan sesama dosen tidak pernah protes karena rasa persaudaraan yang kental di lingkungan kerja. Mahasiswa-mahasiswanya juga cukup kooperatif apabila kedua anaknya terpaksa ikut dan mereka bahkan dengan sukarela mengajak kedua anak Adrian bermain.

"Dri, masih denger nggak, sih? Mau nggak kenalan sama temennya Ucha?" tanya Julian mengembalikan pikiran Adrian ke dunianya lagi.

"Hemm, nggak minat," tolak Adrian langsung.

Julian menarik napas lagi. "Dasar. Heran aja sama kamu. Yang mau sama kamu tuh banyak, Dri. Dari dosen kayak Bu Sofia, sampai mahasiswi-mahasiswi kita kalo kamu lewat aja udah pada ngiler. Padahal, kamu tuh galaknya setengah mati. Nyadar nggak, sih?”

Adrian tergelak, "Beda antara galak sama perfect. Kamu tau pasti aku golongan yang mana."

Julian menatap Adrian malas. "Ya udah. Besok Ucha biar jemput Zanetta sama Zian. Diandra kangen. Kamu pulang kantor jemput mereka ya di rumah," kata Julian, "Cabut duluan. Masih ada janjian bimbingan penelitian."

Adrian mengangguk samar melihat sahabatnya melangkah keluar dari ruangannya, "Ju, makasih ya. Bilang Ucha."

 

***

 

Diajeng menekuri laptop di depannya. Terpampang kode-kode bahasa pemrograman yang membuat keningnya berkali-kali mengernyit. Dia sesekali meneguk es kopi susu di samping laptop. Semarang yang panas memaksanya untuk sering bekerja di kafe seperti ini ditemani es kopi susu. Beruntung kantornya tidak memaksa pegawai harus hadir di kantor. Hanya kadang-kadang saja dia harus meeting di kantor.

"Saya boleh duduk di sini? Penuh banget soalnya," sapa seorang pria dengan suara berat yang dalam mengagetkan Diajeng.

Diajeng mendongak dan menatap pria yang cukup tampan di matanya. Rambut yang sedikit ikal itu tampak rapi. Bekas cukuran di pipinya juga terlihat bersih. Kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku bermodel slim fit berwarna abu-abu muda tampak pas membalut tubuh dengan celana khaki dan sepatu pantofel.

Diajeng tersenyum lebar dan dalam hati berteriak gembira. Kapan lagi bisa semeja sama mas-mas ganteng! "Silahkan, Pak.”

Diajeng menaksir pria ini berusia di awal tiga puluhan atau pertengahan tiga puluhan. Hanya saja dengan dandanan yang terlampau rapi seperti ini, serta kharisma yang dimiliki pria ini membuatnya segan untuk memanggilnya ‘Mas’.

Konsentrasi Diajeng kembali ke laptop. Kalau sudah seperti ini, dia memang sering lupa dengan sekeliling. Coding, walaupun rumit dan sering membuat begadang, adalah dunianya. Termasuk sekarang, dia bahkan tak peduli pada laki-laki tampan yang duduk di depannya.

Diajeng baru bekerja sebagai junior programmer sejak lulus kuliah sekitar tiga bulan yang lalu di ViaTech, sebuah perusahaan TI di Semarang. Ternyata setelah tiga bulan tinggal di sini, tetap belum bisa membuatnya menyesuaikan diri dengan teriknya kota yang membuat kulitnya sering basah oleh keringat. Yogyakarta juga panas, tapi tidak segerah di Semarang. Sumuk.

Diajeng mengambil gelas es kopi susu di sampingnya dan langsung tersedak. Pait banget rasanya. Dia memang suka kopi tapi masih di level kopi yang manis. Yang banyak diberi krim atau susu. Maklum, lidahnya adalah lidah Yogya yang default setting-nya adalah manis. Seingatnya tadi kopinya baik-baik saja. Mendadak dia mendongak dan melihat laki-laki di depannya menatap Diajeng dengan tatapan horor.

"Kamu ngapain?" tanya pria itu dengan wajah datar tetapi kental dengan nada yang tajam.

Wajah Diajeng sontak memerah. "Aduh, maaf, Pak. Saya ganti kopinya. Saya nggak sengaja. Saya pikir itu kopi saya,” ujar Diajeng menyesal.

Laki-laki yang memang kesal itu menatap Diajeng. Yah, mau bagaimana lagi. Diajeng juga paham. Kalau dia yang lagi asyik minum kopi, apalagi baru diminum sedikit kemudian diminum oleh orang asing, pasti dia juga bakal sekesal itu.

"Udah nggak usah. Saya udah mau balik," jawab laki-laki tadi sambil berdiri. Memang dia menenteng plastik pesanannya. Oh, mungkin dia memang hanya membeli kopi sambil menunggu pesanan untuk di bawa pulang. Berbeda dengannya yang memang sudah berjam-jam di sini.

Diajeng menyengir. "Maaf ya, Pak. Besok-besok kalo kita ketemu lagi, saya ganti kopinya."

Laki-laki itu menatapnya lurus. Diajeng langsung kesal. Tatapannya seakan menilai kemampuan Diajeng mentraktirnya kopi.

"Biarpun saya fresh graduate yang baru kerja tiga bulan, saya masih mampu kok traktir Bapak kopi. Saya minta nomornya, Pak. Atau Bapak boleh simpan nomor saya kalo curiga saya bohong."

Laki-laki itu menaikkan alisnya dan tersenyum malas. "Nggak perlu."

Diajeng kesal luar biasa ketika laki-laki itu berbalik dan meninggalkannya begitu saja.

***