cover landing

A Piece of Smeraldo

By TiffanyEka


They call it music but i call it life. Kalimat itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga Narendra, atau yang akrab dipanggil Ren, sejak dulu. Kalimat yang selalu diucapkan ayah Narendra semenjak dia kecil. Seluruh anggota keluarga Narendra menyukai musik, dari musik klasik sampai modern.

“Ingat pesan Ayah, kejar terus keinginan kamu, cita-cita baik kamu. Selama hal itu tidak merugikan orang lain, Ayah selalu dukung kamu,” ucap sang Ayah yang tengah duduk di kursi pianonya pada Narendra, saat itu Ren masih 13 tahun.

“Pesan sedang diproses. Pesan sudah diterima,” ucap Narendra menirukan seorang robot, hal itu membuat ayahnya tertawa.

“Sudah siap latihan?”

“Sangat!” ucap Narendra semangat.

Ayah Narendra menyukai Beethoven, sedangkan Narendra sendiri menyukai Mozart. Yap, keduanya adalah maestro musik dunia yang sudah terkenal dengan kepintaran mereka dalam meramu berbagai melodi menjadi sebuah karya menakjubkan. Jika mereka bersama, Narendra memegang gitar dan ayahnya memegang piano.

Ayah Narendra berjalan menghampiri anaknya yang sedang mencoba bermain piano. “Kamu sudah mulai bisa nulis partitur, Ren?”

“Kalau yang rumit belum bisa, Yah. Tapi kalau sederhana dan nada dasar udah bisa.”

“Ayah ada melodi sederhana, bisa kamu mainkan ini?” Ayahnya memberikan kertas partitur berisi melodi dan menyerahkannya pada Narendra.

Narendra menerimanya, kemudian melihat melodi buatan ayahnya tersebut. “Kelihatannya bisa Yah, Ren akan coba.” Jari-jari Narendra mulai menyentuh tuts piano.

Kenangan tersebut kembali muncul.

Tetapi, mimpi dan janji itu secara kebetulan berubah sejak kejadian beberapa tahun lalu. Narendra seperti tidak memiliki rasa percaya pada siapa pun, walaupun untuk beberapa alasan dia harus meredam semua itu demi orang lain. Kejadian itu mengubah jalan berpikir, sifat, dan pandangannya pada orang lain.

***

Mencoba mewujudkan mimpi yang sudah dibangun dari kecil dan mempertahankannya sampai sekarang adalah hal yang sulit. Awalnya terlihat mulus, selalu mendapat dukungan dari keluarganya, hingga penolakan secara mendadak itu pun terjadi dan mengubah semuanya. Di sisi lain, penolakan terus berlanjut, tapi di sisi lainnya dia tetap keras kepala dengan pendirian sedari awal.

“Ayah nggak bisa, Nak. Tolong mengerti Ayah!” Ayah Narendra seolah tidak sanggup menatap Narendra yang kini berdiri di depannya.

Suara Narendra terdengar sangat parau, “Aku juga butuh dimengerti, Yah. Ren mohon!”

Dan di sinilah sekarang semua usaha itu berakhir. Dia berhasil masuk jalur beasiswa dan menjadi salah satu mahasiswa jurusan musik yang diperhitungkan di universitas ini. Musik memiliki aroma tersendiri di indranya. Narendra membuka tempat tidur Matilda dan mengambil Matilda secara hati-hati.

Permainan gitarnya berhenti ketika pintu ruangan tiba-tiba terbuka, menandakan seseorang akan masuk. Mendengar suaranya saja, Narendra sudah mengerti siapa orang itu. Dimas, anggota band yang Narendra bentuk sejak masih di bangku SMA.

“Tempat ini lagi, Ren? Aku cari kamu dari tadi.” Narendra dengan cepat menoleh ke arah Dimas yang berdiri tidak jauh darinya.

“Aku nggak perlu bilang lagi di mana kalau mau mencariku. Ada apa?” Dimas seperti ingin mengatakan hal penting pada Narendra. Jangan sampai hal yang ingin Dimas bicarakan adalah hal yang sama dengan kemarin. Demi apa pun, Narendra bosan mendengar Dimas mengocehkan hal yang sama.

“Audisi itu pokoknya harus kamu terima. Kita butuh vokalis, Ren! Mana mungkin band jaz kita bisa jalan kalau nggak ada vokalis? Aku cuma butuh jawaban ‘ya’ aja. Semua juga udah setuju dengan ini. Kenapa keras kepala banget sih?”

Kenapa selalu hal ini yang Dimas bahas sejak minggu lalu? Pikir Narendra.

Jujur saja, Narendra belum menerima sepenuhnya keputusan itu. Alasannya karena mencari anggota baru belum terlalu penting bagi Narendra. Keputusan memang sudah diambil, tapi tetap saja Narendra tidak menyetujui audisi ini.

Keras kepala? Sifat itu sudah menjadi sifat Narendra sejak beberapa tahun ke belakang. Tapi Dimas, Bastian, dan tim official The Authors tidak terlalu mempermasalahkan. Lebih tepatnya mereka semua sudah biasa dengan sifat itu, hanya terkadang saat pengambilan keputusan mereka sering, bahkan selalu marah pada Narendra.

“Aku belum merasa kita butuh seorang vokalis. Menurutku jaz bisa jalan tanpa vokalis, Dim. Aku bisa handle itu. Jadi buat sekarang, audisi itu kita tiadakan.”

Pandangan dan kedua tangan Narendra masih fokus dengan Matilda. Dia seperti malas melihat Dimas yang berdiri di dekatnya.

“Festival tinggal empat bulan lagi Ren, kamu nggak kasihan sama aku atau pun yang lainnya apa? Sebenarnya apa sih yang buat beban, sekarang aku tanya sama kamu?” Dimas terlihat frustrasi karena menghadapi sikap keras kepala Narendra. Wajah Narendra dengan cepat terangkat, jarinya yang sebelumnya berada di senar Matilda, kini bertumpu pada badan Matilda.

“Kamu tentu ingat, Dera ninggalin The Authors itu dengan alasan yang nggak bisa aku terima. Terus kalau kita cari vokalis baru, ada jaminan dia gak bakalan ninggalin The Authors?”

Dimas tidak habis pikir apa sebenarnya yang ada di kepala Narendra. Apa dengan kata lain dia ingin grup ini bubar? Kenapa dia selalu berpikiran pendek, tidak bisakah dia memikirkan efek jangka panjangnya?

“Astaga Narendra! Jaga bicara kamu! Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang, kamu jangan terus-terusan noleh ke belakang. Kamu mau kita kayak gini terus?” Dimas merasa dia harus sedikit melawan teman di depannya itu. Dimas adalah anggota yang cukup berani atau memang berani melawan seorang Narendra.

“Kamu bilang apa?” Narendra kini sudah meletakkan Matilda ke kursi yang dia duduki. Berdiri dari posisi duduknya sehingga sejajar dengan Dimas.

“Ya, kamu memang gitu. Kamu orang yang merasa lebih tahu mau dibawa ke arah mana band ini. Tapi apa kenyataannya? Menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang itu cuma buang waktu!” Bentak Dimas pada rekannya itu.

Dimas sudah tidak tahan dengan sikap Narendra saat ini.

Mendengar bentakan dari Dimas membuat Narendra seakan tertohok, suaranya tertahan dan tidak bisa dia keluarkan. Mulutnya terkunci dengan kalimat yang Dimas ucapkan barusan. Mereka berdua hanya saling bertatapan dengan tajam.

Dimas memelankan volume suaranya, “Masalah Dera aku tahu, Ren. Tapi kita kan harus tetap lanjut buat The Authors. Ingat dulu perjuangan kita seperti apa? Aku nggak mau semua ini berakhir sia-sia cuma gara-gara sifat keras kepala kamu itu. Aku tunggu keputusan final kamu lusa, Ren!” Dimas meninggalkan Narendra sendiri di ruangan tersebut.

Tentu saja Narendra tidak akan lupa bagaimana membentuk grup ini bersama kedua temannya. Bagaimana Narendra dulu menerima ajakan Dimas tanpa pikir panjang. Tapi, bagaimanapun Narendra mencoba, Dimas tidak akan bisa mengerti apa yang dia rasakan saat ini. Bagaimana kacaunya pikiran Narendra saat ini.

“Sial!”  Umpatan itu lagi yang keluar dari mulut Narendra.

Kenapa harus seperti ini?

Narendra masih bersikeras dengan pendapatnya.

***

This is so worse and tired day. God, please be good! Batin Narendra seperti berteriak.

Berjalan menuju kamar, tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh bahu kanannya dengan lembut. Tangan yang siap memeluknya di saat dunia tidak berpihak pada laki-laki itu sama sekali. Beliau adalah ibu dari Narendra.

“Kamu kenapa, Nak? Ada masalah di kampus?” Narendra memberikan senyum terbaik yang bisa dia berikan meskipun saat ini suasana hatinya sedang tidak baik. Narendra tidak mau membuat ibunya khawatir, biarlah Narendra sendiri yang menanggung itu, karena itu adalah masalahnya, bukan masalah sang Ibu.

“Nggak, Bu. Ren baik-baik aja kok. Ren bisa mengatasi semua masalah Ren, Ren kan anaknya Ibu.” Kembali dia memberikan senyum. Menjawab pertanyaan ibu yang begitu peka pada keadaan sang anak.

“Kalau kamu ada masalah, cerita aja ke Ibu. Siapa tahu Ibu bisa bantu kamu.”

Sebenarnya Narendra ingin, sangat ingin melakukannya. Dia ingin menceritakan ke orang yang setidaknya masih bisa dia percaya, tapi dia tidak ingin melakukannya, atau lebih tepatnya, dia tidak bisa melakukannya.

“Nggak ada, Bu. Semuanya baik.” Narendra mengatakan hal itu dengan tersenyum dan memegang kedua bahu Ibunya.

“Tapi kok Ibu nggak merasa gitu ya?” Inilah tanda jika pernyataan Narendra tidak sepenuhnya dipercaya oleh beliau. Kerutan di dahi sang Ibu semakin kentara.

Melihat itu, apa mungkin seorang anak tega menceritakan semua masalahnya pada sang ibu? Narendra tidak mau menambah beban pikiran sang Ibu yang mungkin memiliki masalah lebih rumit dari dia.

“Cuma perasaan Ibu doang.” Narendra menjawab dengan halus sambil memegang kedua bahu sang ibu. Dia tahu kalau dia sudah membohongi Ibunya sendiri, tapi mau bagaimana lagi.

“Iya, mungkin. Ya udah, ke kamar gih! Mandi, salat, terus makan. Ibu udah siapin semur daging kesukaan kamu.” Beliau mengatakan itu dengan senyuman tertulus yang pernah Narendra lihat.

Pandangan mata yang tulus serta perhatian yang Narendra dapat saat ini, dia tidak mau menghilangkan itu. Narendra ingin terus melihat dan merasakannya. Menjadikan hal itu sebagai obat di saat dia sudah di ujung putus asa.

“Iya Bu, makasih. Ibu yang terbaik. Ren ke kamar dulu ya. Nanti Ren turun lagi.” Narendra pamit pada ibunya untuk ke kamar, melaksanakan apa yang ibunya minta tadi. Tapi tidak tahu kenapa, langkahnya semakin berat.

Ibu, tolong sehat dan terus seperti ini, sampai Ren sukses dan membuat Ibu bangga atas kenekatan yang Ren ambil. Hatinya mengatakan demikian. Bukan maksud Narendra untuk menyembunyikan sesuatu atau berbohong pada Ibunya, tapi dia ingin menyelesaikan masalah itu dengan cara dia sendiri, yang dia anggap benar.

Tolong terus sebut namaku di setiap doa Ibu, hal itu yang membuatku terus merasa kuat. Hanya itu yang seorang Narendra Hardian minta.

***