cover landing

A Month with The Baby

By wulandari_imaniar


Langkahku berhenti begitu melihat tulisan “Food Court” besar di sisi luar area yang dipenuhi meja dan kursi. Rasa gerah seketika menyergap karena sepanjang perjalanan dari pintu masuk mal, aku berjalan dengan tempo cepat. Sosok yang ingin aku temui terlihat sedang duduk di meja yang dekat dengan pintu masuk. Benar-benar pilihan yang tepat. Dengan begini, aku enggak kesusahan menemukannya. Food Court mal ini terasa ramai padahal bukan hari libur. Sambil berjalan mendekat, kuamati posisi kepalanya yang menunduk. Rupanya dia sedang sibuk membaca buku. Perasaan lega menyeruak. Aktivitas membaca selama menunggu, dapat menurunkan amarahnya hingga 80%. Tunggu! Dia mau memarahi karena sudah menungguku lama? Oh, yang benar saja! Enggak bisa, dong. Seharusnya aku yang marah karena dia sama sekali enggak meringankan pekerjaanku. Aku kembali berjalan sambil memikirkan kata-kata yang tepat bila lelaki berkemeja hijau botol itu mengungkapkan kekesalannya.

Tanpa menyapa atau mengucap salam, langsung saja kutarik kursi di depannya. Aku duduk tanpa merasa bersalah. Lelaki bermata sipit itu mengangkat wajah. Menatapku penuh kesal. Mari berhitung sampai tiga. Bila dia sedikit marah, akan banyak kata yang dilontarkannya. Namun bila dia lebih banyak diam, itu tanda bahaya. Genderang perang rumah tangga telah ditabuh.

“Telat kok satu jam. Tidur nih, pasti,” tuduhnya sambil menutup buku yang dibaca.

Apa kamu dengar suara beratnya? Oh, yes! Dia sedikit marah.

“Enggak!” sanggahku.

“Enggak salah pasti,” seru lelaki di depanku mendengkus, lalu menyugar rambut. Itu gaya sebalnya yang paling aku suka sejak mengenalnya sembilan tahun yang lalu.

“Eh, lagian ya, apa salahnya kalau aku tidur. Wajar dong tidur sebentar karena capek setelah mengerjakan semua-pekerjaan-rumah.” Khusus tiga kata terakhir, kukatakan dengan jeda agar dia paham maksudku.

“Kalau enggak mau ngerjain, ya—”

“Enggak. Enggak mungkin enggak dikerjain. Memangnya kamu mau tinggal di rumah kayak kapal pecah?” Kupotong saja kalimatnya karena aku tahu kata-kata apa yang akan meluncur dari bibir tipisnya itu.

“Maksudku, kerjain se—”

“Itu sewajarnya, Mas. Namanya orang bersih-bersih, ya wajar dong kalau—”

“Kalau begitu jangan mengeluh!” potong lelaki yang sudah menikahiku selama tujuh tahun itu.

“Enggak!” Aku kembali berkilah dan enggak mau disalahkan. “Mas, kan, yang mengeluh karena keterlambatanku?”

Dia mengembuskan napas dengan keras. Kembali menyugar rambutnya, lalu berkata, “Capek.”

“Oh, jadi capek punya istri kayak aku?”

“Aku enggak—” Sorot mata yang menunjukkan protes itu menghujam, seolah-olah aku sedang menuduhnya telah melakukan tindak kejahatan.

“Aku juga capek, Mas, karena—”

“Hei, fokus, dong!”

“Mas, tuh, yang enggak—”

“Huaaaa … huhuhu ….”

Seketika mulut kami terkunci kala mendengar suara tangis. Tanpa aba-aba, kepala kami menoleh ke arah datangnya suara.

Gadis kecil yang kira-kira berusia satu tahun itu menangis di atas kursi makan bayi. Kedua tangannya menggapai-gapai minta digendong. Wanita berparas ayu berdiri dari duduknya lalu menolong bayi itu. Seorang lelaki turut berdiri dan mengambil si bayi dari ibunya sambil berusaha meredakan tangisnya.

“Oh, Sayang, telinganya sakit, ya, mendengar omelan Mama?” tanya lelaki berperut buncit itu sambil mengusap air mata putri kecilnya.

“Enak, aja! Karin pasti menangis karena papanya marah-marah,” kilah sang wanita sambil mengusap punggung anaknya.

“Udah ah, jangan bertengkar. Kasihan Karin. Karin sedih ya, Nak, dengar Papa dan Mama bertengkar?”

Kualihkan pandangan pada piring kosong di depanku. Dadaku berdesir mendengar ucapan papa Karin. Seorang anak pasti merasakan apa yang sedang dirasa orang tuanya. Ternyata, anak juga bisa menjadi lampu merah bagi kacaunya lalu lintas rumah tangga. Kulirik suamiku yang meminum air putih dari dalam botol. Apa dia merasa sepertiku, sudah enggak mood buat perang mulut? Kalau memang begitu, wow! Ajaib sekali suara bayi bisa menenangkan Ramdan, suamiku.

“Sudah, yuk!” ajak Ramdan sambil memasukkan buku ke dalam ransel.

Kuajukan protesku kepadanya. Enak saja mengajak pergi. Aku, kan, belum makan malam. “Kok sudah? Aku belum makan, Mas. Aku lapar. Kalau maag-ku kambuh, kalau aku pingsan, gimana?”

“Kamu makan di rumah saja. Kita harus cari kado, ingat?” Ramdan beranjak berdiri tanpa memedulikan rengekanku.

“Haus. Mau boba.” Aku meminta sambil cemberut.

Tatapan tajam Ramdan menghunus dadaku sampai nyeri. Diulurkannya botol air putih sebelum melangkah meninggalkanku.

Ih! Nyebelin banget, sih. Kok tega-teganya membiarkan istri kelaparan. Dia sih enak habis makan. Apa enggak terpikir gitu, istriku capek habis beberes rumah. Istriku pasti laper karena sekarang masih jam makan malam. Di mana hati nuranimu?

Oke, ini memang salahku karena terlambat datang. Tapi sungguh, aku enggak sengaja melakukannya. Keterlambatanku karena jam dinding di ruang tengah mati. Pantas saja, sudah menonton secara marathon drama Korea beberapa episode kok jarum pendeknya masih saja menunjuk angka empat. Sialnya lagi, aku ketiduran sampai azan Magrib dari masjid dekat rumah yang membangunkan.

Kuikuti Ramdan yang memasuki sebuah toko baju. Jangan membayangkan kami berjalan beriringan dengan tanganku yang bergelayut manja pada lengannya. Cara kami berjalan lebih mirip majikan dan kacungnya. Ramdan berjalan cepat dengan langkah lebar-lebar. Sementara aku, tergopoh-gopoh mengikutinya. Tanpa melihat baju-baju yang digantung, Ramdan segera menghampiri salah satu pramuniaga. Meminta ditunjukkan di mana letak blus tunik.

Tangannya terulur mengambil blus warna merah marun. Blus polos hanya dihiasi tiga kancing berwarna senada. Daya tariknya hanya dari lengan balon yang membuat Ibu tampak lebih berisi bila memakainya nanti. Ramdan mengamati sejenak. Merasakan kelembutan kain dan menyusuri jahitan baju. Setelah itu membawanya. Jangan bingung mengapa aku enggak diajak memilih. Aku cari aman saja. Daripada pilihanku enggak sesuai dengan kesukaan Ibu mertua, kan, sayang kalau bajunya hanya jadi penghuni lemari. Sejauh ini, sih, pilihan Ramdan selalu sesuai dengan selera Ibu. Memilih kemeja untuk Ayah lebih cepat lagi. Aku yakin Ramdan memilihnya sambil merem. Enggak sampai semenit dan tanpa melihat model maupun menyentuh bahan bajunya, Ramdan segera membawa baju itu ke pramuniaga.

 “Saya minta satu ukuran di atas itu, ya, Mbak,” pinta Ramdan.

“Dua-duanya, Pak?” tanya pramuniaga dengan pemulas bibir berwarna merah menyala.

“Iya.”

“Mbak, ada warna marun untuk kemeja pria-nya?” tanyaku sebelum pramuniaga itu berbalik. Ya, gimana, ya. Enggak matching amat yang satunya marun, sedangkan yang satunya warna cokelat muda.

“Oh, ada, Bu. Saya cek ketersediaan ukurannya dulu, ya.”

***

Ramdan mengangsurkan kepadaku kantong plastik berisi kado untuk orang tuanya yang sudah dimasukkan ke dalam kotak berhias pita oranye. “Bawa.”

“Loh, maksudnya?” Kata-kata yang dia pilih kok seolah-olah menyuruhku pulang duluan, ya. Semoga dia salah bicara.

“Aku mau langsung futsal,” jawabnya dengan ekspresi datar.

“Enggak pulang dulu? Sepatu, baju, handuk….”

“Aman,” serunya sambil menepuk ransel. “Sepatu dibawa Raka. Aku habis beli sepatu nitip ke dia.” Senyumnya mengembang.

Dadaku terasa tercubit mendengar ucapan dan melihat senyumnya. Jadi, selama ini dia menyimpan perlengkapan buat fulsal di loker kantornya? Biar pulang kerja bisa langsung futsal gitu ya, tanpa perlu ke rumah dulu. Jantungku berdegup kencang. Kukepalkan tangan kuat-kuat agar enggak berteriak di tempat keramaian seperti ini.

“Sejak kapan main rahasia-rahasian?” tembakku sinis.

“Rahasia apa?”

“Sejak kapan kamu menyembunyikan perlengkapan buat futsal di kantor?” tanyaku tanpa melihatnya. Aku sibuk mengusap ujung mata yang tiba-tiba basah.

“Menyembunyikan?” Pertanyaan Ramdan membuatku makin jengkel.

“Ya sudah, met senang-senang. Jangan lupa, alamat rumah kita enggak pernah pindah. Tetap di Perumahan Bumi Asri blok AA nomor 10. Jangan dihilangin nol-nya, karena rumah nomor 1 ada kuntilanaknya.”

Tanpa mengucap salam, mencium tangan, apa lagi mencium kening, kutinggalkan Ramdan yang mematung sendirian. Aku cuma ingin pulang ke rumah. Makan malam dengan mi instan sambil menonton drama Korea. Semoga saja dengan begitu rasa sedihku berkurang. Kamu jahat banget, Ramdan. Mana enggak mau mengejar istrinya yang ngambek.

***