cover landing

A Job As A Secretary

By Ara Nada


Jari-jarinya meremas pelan kedua betis. Meskipun hanya memakai flat shoes, tetapi tetap saja rasa lelah dan kebas itu ada. Ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan sambil memejamkan mata. Hampir setahun ia memasukkan berkas lamaran, tetapi belum juga ada panggilan. Ia tidak mengerti, di mana letak kesalahannya sehingga sampai detik ini belum mendapat pekerjaan. Melihat teman-temannya yang sudah sibuk dengan pekerjaan membuatnya merasa lesu.

Aviva Calonica Azalia Margot berdecak pelan kemudian membaringkan tubuh di kasur. Ia baru saja pulang mencari pekerjaan. Setelah mencoba memasukkan beberapa lamaran pekerjaan melalui media online tetapi tidak juga kunjung mendapat panggilansehingga Aviva mencoba metode lama yaitu memasukkan berkas lamaran pekerjaan secara langsung. Meninggalkan CV dalam bentuk berkas fisik ke tiap-tiap perusahaan yang sesuai dengan gelar sarjananya.

Ingin rasanya menyerah, tetapi Aviva tidaklah selemah itu. Ia tahu kemampuannya seperti apa. Perjuangannya dalam menyelesaikan kuliah saja berliku jadi hal seperti ini meskipun berbeda dan baru tetapi tidak akan membuat Aviva menyerah.

Aviva berharap di antara sekian banyak perusahaan, ada satu yang bisa menerimanya bekerja sehingga ia tidak lagi pusing dan kebingungan seperti ini.

***

Aviva mengembuskan napasnya dengan lesu. Ia menatap surelnya yang tidak terdapat pesan baru. Ponselnya tidak kunjung berdering dan panggilan yang ditunggu tidak kunjung datang.

Sudah satu tahun Aviva wisuda, pendidikan strata satunya telah selesai tetapi semua itu bukanlah akhir. Karena setelah wisuda perjuangan yang lain menanti, seperti mencari pekerjaan. Dalam satu tahun ini Aviva telah berusaha mencari pekerjaan, melamar ke berbagai tempat, perusahaan bahkan tes pegawai negeri, tetapi tidak ada satu pun yang berakhir baik.

Harapan memang masih dimiliki Aviva, tetapi melihat hampir semua teman-temannya sudah memiliki pekerjaan membuatnya merasa kecil, rendah diri, karena sampai saat ini ia masih berstatus pengangguran.

Menghela napas dengan berat lalu menenggelamkan kepalanya di atas meja.

“Dingin,” gumamnya. Ia melirik ke sebelah kirinya.

“Kau kenapa?”

Aviva mengangkat kepalanya lalu mengambil minuman dingin yang tadi ditempelkan di pipinya.

“Mana yang lain?” Tanya Aviva seraya menyeruput bubble tea yang dibawa Cindy.

Cindy memilih duduk di hadapan Aviva. “Masih di jalan.”

Aviva berdecak pelan. “Dari sejam yang lalu juga mereka bilang masih di jalan, begitu juga dengan ucapanmu tadi, Cindy.”

Cindy menjulurkan lidahnya meledek Aviva. “Kau yang terlalu cepat datang.”

Aviva memutar bola matanya. “Baca kembali pesan kita semalam, Nona.”

Cindy mengendikkan bahunya. Ia menatap laptop yang berada di atas meja dan juga map di sebelah Aviva.

Cindy mengerutkan keningnya. “Seingatku kau sudah menyelesaikan skripsi.” Cindy berujar, sedikit menggoda.

Gadis berambut panjang dan lurus itu memandang Cindy dengan sinis. “Ledek saja terus. Aku tahu hanya aku yang belum mendapatkan pekerjaan,” dumal Aviva.

Cindy mengembuskan napasnya dengan pelan. “Maaf.”

Aviva mengabaikannya, ia memilih menjelajah kembali laman pencarian di internet. Siapa tahu saja ada yang bisa didapatkannya, pekerjaan misalnya?

“Maaf kami terlambat. Tadi macet.”

Seorang gadis dengan pakaian pegawai negeri duduk di sisi Aviva dan gadis lain dengan tas punggungnya duduk di sebelah Cindy.

“Iya macet.... aku berharap macet saja selamanya,” cibir Aviva.

Ia dibuat menunggu selama satu setengah jam oleh ketiga teman tercintanya. Janji temu mereka itu pukul enam sore dan sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Hebat sekali teman-temannya ini.

“Maaf, Avi,” ujar Nami dengan tulus.

“Dimaafkan, tapi tolong jangan jadikan macet sebagai alasan. Kurang-kurangi terlambatnya. Mungkin karena aku yang pengangguran sementara kalian sudah bekerja makanya aku lebih banyak memiliki waktu luang. Jadi kalian meremehkanku dengan membiarkan aku yang menunggu.” Aviva berkata dengan sinis.

Kalau tahu begini lebih baik tidak usah ketemu saja. Waktunya bukan hanya untuk menunggu mereka.

Bonita, Nami dan Cindy saling melempar pandangan lalu menatap Aviva yang kini telah sibuk memperhatikan laptop.

“Avi, kami sama sekali tidak berpikiran begitu. Maaf karena membuatmu lama menunggu,” kata Nami lalu meraih tangan sebelah kiri Aviva.

Aviva menghela napas pelan. “Hmm.” Aviva menanggapi dengan bergumam.

Bonita mendesah. “Kami minta maaf, Aviva Cantik. Tidak akan kami ulangi lagi.”

Aviva mengangkat kepalanya dari laptop dan menatap mereka satu per satu. “Aku tahu kalian tetap akan mengulanginya lagi,” katanya dengan intonasi datar.

“Ya maaf, Vi. Akan kami usahakan tidak lagi,” ujar Bonita menatap Aviva dengan menyesal.

Gadis itu kemudian mengernyit, tersenyum miring. “Baik. Tapi tolong bantu carikan aku pekerjaan. Siapa tahu saja kalian memiliki kenalan yang membutuhkan seorang pekerja?” Aviva menatap ketiga temannya bergantian tak lupa tatapan penuh harapnya.

“Pekerjaan?” Nami mengulang perkataan temannya.

Aviva mengangguk dengan semangat. “Iya. Pekerjaan.”

“Ada, Vi. Temanku sedang mencari seseorang untuk bekerja dan dibutuhkan segera,” celetuk Cindy kemudian.

Binar bahagia terlihat dari mata Aviva. “Serius?”

Cindy mengangguk pasti. Nami dan Bonita kini menjatuhkan pandangan kepada Cindy.

“Kau mau?”

“Tentu saja.”

Mana mungkin Aviva melewatkan kesempatan ini. Sebuah pekerjaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkannya.

“Aku akan memberikan nomor ponselnya padamu agar kau bisa menghubunginya.”

Cindy mengutak-atik ponselnya sebentar.

Aviva bernapas dengan lega. Ia tersenyum lebar lalu memegang tangan Nami yang duduk di sebelahnya. “Terima kasih. Semoga saja aku mendapatkan pekerjaan itu.”

Nami tersenyum, ia menepuk pelan punggung tangan sahabatnya itu.

Cindy menaruh ponsel di atas meja, mengalihkan pandangannya kepada Aviva. “Aku sudah mengirimkan nomornya padamu. Lebih baik kau segera menghubunginya.”

Deretan gigi rapi Aviva terlihat dengan sempurna, senyuman sangat lebar terbit. “Terima kasih, Cin. Terima kasih.”

Cindy tersenyum. “Sama-sama. Jangan lupa kabari kami kalau mendapatkan pekerjaan itu.”

Aviva tertawa pelan. “Tentu. Aku akan mentraktir kalian jika aku diterima bekerja.”

***

Memang jika namanya sudah berjuang dan berusaha Tuhan tidak akan menutup mata. Ia berjuang tanpa henti. Tanpa mengenal lelah. Tanpa mau menyerah sehingga semua itu terbayar.

Benar, semua itu sangat benar. Aviva bersyukur ia sudah memiliki pekerjaan, gajinya pun tidak main-main semua berkat bantuan Cindy dan tentu pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.

“Avi! Di mana jasku?” Suara lantang itu membuat Aviva menggeram pelan.

“Di dalam lemari sebelah kiri, Pak.” Aviva membalas dengan suara yang sedikit keras tetapi tetap sopan.

Ia mendesah pelan dan kembali menarikan jemarinya di atas keyboard laptop sebelum teriakan itu mengganggunya lagi.

“Jam. Jam tangannya di mana, Aviva?”

Sabar, Avi. Sabar.

“Di laci sebelah kanan, dalam kotak berwarna cokelat, Pak.”

Tarik napas, buang napas. Tarik napas lagi, buang napas. Kali ini Aviva tidak mengetik lagi. Ia menunggu. Bisa saja teriakan lainnya kembali didengarnya. Lebih baik ia bersiap.

“Mapnya? Map, Aviva! Map?”

Aviva yang jengah karena diteriaki terus pun berdiri dan memasuki sebuah ruangan yang merupakan sebuah kamar yang ada di dalam ruangan Abimanyu. Kamar itu cukup luas dengan interior monokrom minimalis dengan properti yang sedikit tetapi terdapat sebuah walk in closet. Tidak terlalu besar karena yang disimpan hanyalah untuk kebutuhan mendadak di kantor. Terkadang, situasi mengharuskan Abimanyu menginap di kamar itu.

Aviva meraih map berwarna biru yang berada di atas meja kopi lalu melangkah masuk ke dalam walk in closet. Bunyi nyaring hak tingginya menggema di dalam kamar tersebut.

Gadis itu pun mendekati seorang pria yang sedang membelakanginya.

“Ini, Pak.” Aviva menyerahkan map itu.

Laki-laki itu berbalik, dengan senyuman manisnya ia menatap Aviva. “Terima kasih.”

“Sama-sama, Pak.”

“Power point-nya sudah, kan?” Lelaki itu membuka isi map, memeriksa berkasnya kemudian menutupnya ketika dilihatnya sudah sempurna. Ia memberikan map itu pada Aviva yang langsung diambil oleh gadis itu.

Aviva tersenyum tipis. “Sudah, Pak.”

“Bagus. Kalau begitu, ayo. Kita tidak boleh terlambat.”

Aviva mengangguk sopan lalu mempersilakan Abimanyu Hardinata berjalan terlebih dulu.

Begitu keluar dari kamar dan berada di dalam ruang kerjanya, Abimanyu menatap Aviva yang sedang menutup pintu kamar.

“Kau tidak mengganti bajumu?” tanya pria tersebut.

“Tidak, Pak.”

Aviva melangkah mendekati Abimanyu. Merapikan laptop lalu memasukkannya ke tas kemudian menentengnya.

“Kau yakin?” Abimanyu kembali bertanya. Ia memandangi penampilan Aviva yang terbilang rapi, tetapi seperti ada yang kurang.

Aviva menatap pemimpinnya yang masih berdiam diri dan menatapnya. “Pak, rapatnya?”

Seperti tersadar Abimanyu menepuk tangan sekali. “Ah benar. Rapat. Ayo!”

Kemudian berjalan keluar dari ruangan dengan Aviva yang menemani di sisi.

Aviva mengembuskan napasnya dengan pelan. Ia bukan membenci Abimanyu, hanya sikapnya yang membuat Aviva harus memupuk kesabarannya lebih banyak.

“Siap, Aviva?”

Aviva menoleh ke sampingnya. “Siap, Pak.”

Lalu pintu besar itu pun terbuka, Abimanyu dan Aviva memasuki ruangan di mana telah hadir beberapa orang menunggu pemimpin perusahaan yang tidak lain adalah Abimanyu Ramiro Hardinata.

***