cover landing

A Devil's Obsession

By Jokris1510


Manik mataku melirik sekilas jam yang tertanam di dinding Heavenly dan menemukan jarum pendeknya masih berada pada pukul sepuluh malam. Seperti sebelum-sebelumnya, aku berharap malam ini akan berlalu meninggalkan kami dengan tenang.

Aku sudah bekerja di rumah sakit kecil yang berada di sudut kota West Virginia ini sekitar satu tahun yang lalu. Sejak ibuku meninggal ketika aku masih remaja, praktis aku mengasuh Alvin—adik laki-lakiku—karena ayahku yang bekerja sebagai sopir truk jarang berada di rumah. Namun, setelah ayahku mengalami kecelakaan kerja dua tahun yang lalu, aku terpaksa melepaskan semua mimpiku menjadi seorang sekretaris di kota besar karena aku harus bekerja untuk menghidupi keluarga kami. Beruntung pada saat itu Heavenly sedang membutuhkan seseorang yang bisa membantu administrasi mereka. Tidak dibutuhkan keahlian khusus untuk tugas ini, sehingga ketika aku mengajukan lamaran, aku langsung diterima bekerja di tempat mereka.

Malam ini aku sibuk mencatat dalam buku besar nama-nama yang tercantum dalam kartu status pasien dan mencocokkannya dengan tulisan yang mengambang pada layar komputer tua yang ada di depanku. Mataku berpindah-pindah untuk mengecek kesesuaian entri. Setelah pekerjaan ini selesai, aku harus memasukkan dalam urutan, kartu-kartu status pasien ini ke ruangan yang ada di belakang meja pendaftaran.

Ketenangan di sekitarku pecah oleh suara berdecit dari roda mobil sebuah sedan hitam yang berhenti mendadak di depan emergency room. Sepertinya ada pasien tabrakan. Keributan itu berlanjut dengan teriakan seorang perawat bernama Kiena memanggil namaku.

"Alexa!" Gemuruh suaranya mengundang pantatku seketika terlompat dari kursi. "Jaden malam ini absen, tolong bantu kami di emergency room."

"Bb... baik." Kontan aku menjawab dengan gugup. Kuakui aku tak punya pengalaman sedikit pun mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan—melihat darah saja membuat kedua kakiku gemetaran. Tetapi bekerja di sebuah rumah sakit sekecil ini, kami dituntut untuk berani melepaskan sekat-sekat ketakutan dalam diri kami karena bukan tidak mungkin kami harus melakukan pekerjaan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Seperti aku saat ini.

Keadaan di dalam emergency room lebih mengerikan dari bayanganku. Saat aku tiba di sana, aku menemukan dua laki-laki terkapar di atas ranjang. Darah di mana-mana. Bulu-bulu di sekujur tubuhku mendadak meremang dengan sendirinya.

"Alexa! Pegang ini!" Seorang perawat bernama Cleo memintaku mendekatinya. Wanita itu tengah menangani salah seorang pasien, sementara Kiena menolong pasien yang lain. "Korban tembakan dan tabrak lari."

Ya Tuhan. Luka tembak. Tanganku gemetar ketika Cleo memintaku menekan kain kasa di atas daging yang terkoyak di bahu kiri seorang laki-laki, sementara Cleo sendiri langsung sibuk menggunting setelan hitam yang membungkus tubuh pria ini.

Usianya mungkin sekitar akhir dua puluhan. Memperhatikan tubuh atasnya yang berotot dan terawat, lalu setelan mahal serta kemeja dengan manset emas di pergelangan tangannya, aku bisa memperkirakan kalau laki-laki ini pasti bukan dari kalangan orang-orang biasa seperti kami. Apa yang sudah terjadi padanya—atau kesalahan apa yang sudah dia perbuat hingga ada seseorang yang ingin membunuhnya?

Diam-diam sepasang manik mataku mengintip sejenak di bagian wajahnya dan tercengang dengan sendirinya. Aku mendapati rambut hitam yang membingkai struktur wajah yang sempurna. Di bawah kelopak matanya yang terkatup rapat, dia memiliki hidung yang mancung dengan mulut sexy yang menggaris tegas. Ke semua detail itu membuat wajahnya terlihat menawan, bahkan bercak-bercak darah yang mengotori kulitnya tak mampu menutupi kesempurnaannya.

"Tahan sebentar, Alexa. Dokter Bruno segera tiba sehingga bisa segera dilakukan tindakan ope—“

"Cleo! Ke sini cepat." Suara Kiena menginterupsi penuh desakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Cleo langsung berlari mendekati Kiena, meninggalkanku termangu kebingungan karena tak tahu apa yang harus kulakukan dengan laki-laki yang mungkin tengah berjuang di antara hidup dan mati.

Leherku kembali berputar menatap wajah laki-laki di bawahku ini. Karena dorongan ingin memberikan pertolongan padanya, aku mengambil kapas dan mulai menekan lembut di atas jejak darah yang menodai wajah tampannya.

"Tolong, jangan mati dulu." Aku berbisik lirih. Menurut informasi yang aku tahu, orang dalam keadaan koma terkadang bisa mendengar ucapan-ucapan yang kita bisikkan padanya.

Aku menggerakkan jemariku di atas kapas dan mengusap lembut dahinya, turun di pipinya yang bertulang tinggi, sebelum lanjut di bibirnya yang….

Apaa? Jemariku terhenti di udara. Mataku kontan melebar sejadi-jadinya, darah seperti surut dari mukaku saat mendapati sepasang mata laki-laki di bawahku ini tiba-tiba saja terbuka dan memandangku.

Bibirku terbuka hendak mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak ada suara yang keluar dari sana karena lidahku mendadak jadi kelu. Tatapanku seolah terkunci oleh bola mata biru cerah, tajam dan keras.

Saat kesadaran menamparku kembali, aku bereaksi secara naluriah dengan menyurutkan kedua kaki ketika tahu-tahu tangan kanannya mencengkeram pergelangan tanganku. Tubuhku seketika membeku saat menemukan bibir laki-laki tersebut bergerak seperti mengucapkan sesuatu kepadaku. Dunia sekitarku seperti terhenti selama beberapa saat hingga pintu emergency room terbuka dengan tiba-tiba.

Aku berpaling dan melihat Dokter Bruno melangkah terburu-buru ke arah kami. Saat leherku berputar kembali ke arahnya, aku menemukan sepasang kelopak mata itu sudah tertutup rapat dan cengkeraman tangannya terlepas dari pergelangan tanganku.

Apakah dia hanya pingsan atau sudah mati? Ya Tuhan. Apa yang dia katakan tadi?

Aku terpaku dan baru menyadari kalau sepanjang kejadian tadi aku sampai lupa bernapas. 

***