cover landing

25 Days

By Andini Yudita Sari


PROLOG

 

 

Carlos Keith, Massachusetts

 

Sudah hampir setengah jam, Theodore Finley―salah satu engineer terbaik di Carlos Keith, terdiam di depan pintu ruangan bosnya, Carlos. Sebenarnya, ia tidak ingin membuat bos sekaligus sahabatnya itu kelimpungan karena ia bolak-balik meminta cuti panjang.

Baginya, Carlos terlalu baik untuk menjadi seorang bos.

Theo dengan mudahnya mendapatkan cuti dan bantuan untuk menemukan Alea Lutherford―istrinya yang telah menghilang selama satu tahun lebih, ketika kecelakaan mobil menimpa mereka berdua. Tubuh Alea tidak dapat ditemukan. Walaupun, semua usaha telah dikerahkan, tubuhnya masih saja tidak ditemukan.

Maka dari itu, untuk yang terakhir kalinya, Theo ingin meminta izin kembali untuk mencarinya. Theo tahu, permintaannya kali ini mungkin akan membuatnya kehilangan pekerjaan yang telah ia geluti selama tujuh tahun itu. Tetapi, ia harus mencari Alea.

Theo yakin sekali, bahwa Alea masih hidup. Maka dari itu, ia harus mencarinya lagi.

Sendirian. Tanpa bantuan dari siapa pun.

Kreeeek!

Tiba-tiba, pintu ruangan Carlos terbuka pelan. Carlos terkejut mendapati Theo sedang termenung di depan ruangannya.

“Kau kenapa?” tanyanya, yang langsung membuyarkan lamunan panjang Theo.

Theo menggeleng pelan. “Tidak apa-apa,” jawabnya tidak semangat.

“Kita sudah berteman lama. Aku tahu, kau sedang tidak baik-baik saja,” ujar Carlos. “Masuklah! Mari kita bicarakan berdua,” lanjutnya, seakan-akan Carlos sudah mengetahui apa yang sedang mengganjal pikiran Theo.

Setelah Theo masuk ke dalam ruangannya, Carlos segera menutup dan mengunci pintunya.

 “Tentang Alea lagi?” tanya Carlos seraya duduk di hadapan Theo.

Theo mengangguk pelan. “Aku ingin mencarinya lagi.”

Carlos menghela napas berat. “Dia sudah menghilang selama satu tahun lebih, Theo. Semua tenaga telah kita kerahkan. Tetapi, tidak ada hasilnya,” ujarnya pelan. Carlos tahu, bila sudah berhubungan dengan Alea, temannya itu akan menjadi sangat sensitif.

“Aku yakin dia masih hidup, Carl.”

Theo mulai mengetuk jari-jemarinya di meja Carlos. Ia mulai khawatir, kalau temannya itu tidak bisa memberinya waktu untuk mencari Alea. “Carl.”

Carlos tidak suka cara Theo meminta padanya. Seakan-akan, dirinya sedang dihakimi sekarang. Ketukkan jari-jemari Theo membuat dirinya merasa tidak nyaman.

“Okay. Aku akan memberimu waktu 25 hari untuk mencarinya kembali. Tetapi, ingat! Bila ia tidak juga ditemukan, kau harus berhenti mencarinya dan kembali berkerja,” jelasnya sambil memegang kepalanya yang mendadak pening.

Ia sadar, bahwa memberikan waktu untuk mencari Alea kembali tidak akan mengubah fakta yang sudah ada. Alea menghilang dan tidak dapat ditemukan sama sekali.

“Terima kasih, Carl.”

“Theo,” panggil Carlos pelan.

Theo mengadahkan kepalanya dan tersenyum. “Kenapa?”

Carlos memandang Theo lekat. “Jangan pernah ke kantor polisi. Mereka akan menganggapmu gila. Kau harus mencari Alea sendirian. Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri karena Alea menghilang saat sedang bersamamu dalam kecelakaan itu. Tanyakan pada dirimu sendiri,” ujarnya panjang seraya memberikan satu botol kecil berisi banyak pil kepada Theo.

“Ini apa?” tanya Theo bingung.

“Bukan obat. Tetapi, ini akan membantumu untuk lebih tenang. Aku mendapatkannya dari Dokter Ferdicus saat menjalani terapi pasca kepergian Elena.”

Theo mengangguk. “Terima kasih banyak, Carl.”

“Kembalilah bekerja, sebelum kau meninggalkan mejamu kembali.”

Tiba-tiba, Theo menunduk dan terdiam. Ia sama sekali tidak membalas perkataan Carlos sebelumnya dan membuat bosnya itu bingung bukan main dengan kelakuannya yang aneh. “Theo,” panggil Carlos bingung.

Setelah terdiam selama beberapa detik, Theo langsung berdiri dan memandang Carlos dengan tatapan dingin. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Carlos melihat Theo tersenyum kecil. Bukan senyum yang biasa Theo berikan kepada dirinya. Senyum itu terlihat sedikit meremehkan dan benar-benar dingin.

Setelah itu, Theo langsung keluar dari ruangan Carlos.

Who are…” Carlos tidak melanjutkan perkataannya. Ia takut Theo akan mendengarnya. Walaupun suaranya hanya menyerupai bisikan.

 

***

 

Theo terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya sedang duduk di dalam toilet. Entah sudah berapa lama dirinya berada di sana, dirinya pun tidak tahu. Ia langsung keluar dari toilet, mencuci mukanya di wastafel, dan kembali ke meja kerjanya.

Pekerjaan yang harusnya bulan ini sudah ia selesaikan terlihat masih terlihat berserakan di mejanya.

“Hem…” Theo mendesah pelan.

Bila Carlos Keith mengalami kemunduran, mungkin semua ini disebabkan oleh dirinya.

“Th… Theo,” panggil seseorang di belakangnya.

Ia memutar tubuhnya dan mendapati Louis Kim―salah satu teman baiknya di Carlos Keith terlihat ragu-ragu saat ingin menyapanya.

“Ada apa?” tanya Theo.

“Aku hanya ingin menanyakan, apakah kau sakit?” tanya Louis.

Theo menggeleng. “Tidak. Kenapa?” tanya dirinya bingung.

“A-aku tadi mendengarmu teriak kesakitan di dalam toilet. Jadi, aku kira kau sakit.”

‘Teriak?’ batin Theo bingung.

Theo mencoba untuk tersenyum. “Aku tidak apa-apa, Lou. Percayalah.”

Louis mengangguk pelan. “O-oke. Kalau begitu, aku akan kembali ke mejaku,” ujarnya, lalu meninggalkan Theo dalam bingung.

‘Aku tertidur. Bukan berteriak. Mungkin orang lain yang dia dengar,’ batinnya.

 

***

 

“Kau sudah pulang?” tanya Rose―ibunda Theo yang memang sengaja tinggal bersama anaknya, semenjak Theo kehilangan Alea.

Theo mengangguk pelan dan memerhatikan sekeliling ruang tamu. Dulu, sebelum Alea menghilang, istrinya itu pasti selalu menyalakan semua lampu hingga rumah mereka terang benderang. Berbeda dengan Rose yang lebih senang menyalakan satu sampai dua lampu saja karena lebih senang gelap.

“Kau mau makan? Aku sudah membuatkan tuna salad kesukaanmu.”

“Setelah mandi, aku akan ke meja makan, Bu,” ujar Theo seraya pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua.

Semenjak Alea pergi, Theo tidak lagi menempati kamar utama. Ia tidak sanggup, walaupun hanya sekadar mencium aroma kamar itu. Parfum kesukaan Alea seakan-akan tak pernah menghilang dari kamar itu dan membuat Theo tidak bisa tidur sama sekali.

Theo bergegas melepaskan kemejanya dan berdiri di depan wastafel. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, botol kecil berisi butiran pil pemberian Carlos tadi.

Ia mengambil dua butir dan meminumnya secara cepat. Berharap bisa tertidur nyenyak hari ini. Agar esok hari, ia bisa mencari Alea.

Tiba-tiba, ia teringat dengan perkataan Carlos.

Alea menghilang saat sedang bersamamu dalam kecelakaan itu. Tanyakan pada dirimu sendiri.

Theo merasa kepalanya mendadak pusing. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya untuk mandi dan memilih untuk segera tidur. Ia keluar dari pintu kamarnya dan berteriak pada Rose. “Bu, aku tidak jadi makan. Aku ingin tidur saja.”

Lalu, ia berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya dan merebahkan diri di kasurnya. “Alea, aku mohon. Kembalilah padaku,” pintanya lirih seraya menutup matanya perlahan.

 

***

 

 

25

 

 

“Theo, bangun.”

Theo dengan perlahan membuka matanya dan menemukan Alea duduk di pinggir tempat tidur dengan gaun tidur favoritnya.

“Alea?”

Alea tersenyum seraya mengangguk. “Aku ingin kau melihat ini,” ujarnya sambil memberikan selebaran kepada Theo.

“Ini apa?” tanya Theo.

Alea langsung mengerucutkan bibirnya. “Kau berjanji untuk mengajakku pergi jalan-jalan. Tadi, saat aku pergi ke luar untuk membeli bunga. Ada yang memberikanku selebaran ini. Aku mau liburan ke Hongkong,” pintanya.

Theo menggeleng cepat. “Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja, Lea.”

Alea langsung mengerti. Ia tidak membalas pernyataan Theo dengan ribuan alasan agar bisa pergi ke Hongkong.

“Aku mengerti,” ujarnya pelan.

“Maafkan aku, Lea.”

Alea tertawa. “Tidak perlu meminta maaf, Theo. Bangunlah, aku akan menyiapkan makanan untukmu,” ujarnya seraya berjalan keluar kamar.

Tetapi, belum sempat Alea keluar dari kamar, tiba-tiba ia jatuh terkapar di lantai.

“Hegh! A-aku tid…tidak bi…bisa bernapas,” ujarnya sambil memegangi lehernya.

“LEA?!” Theo mendadak panik. Tetapi, entah mengapa tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Sementara, dirinya melihat Alea sedang kesakitan karena tidak bisa bernapas. Ia harus bangun untuk membantunya. “LEA!”

Tiba-tiba, Alea berhenti bergerak. Jantung Theo terasa berhenti berdetak. “Lea?” panggilnya perlahan dari tempat tidurnya. Tetapi, Alea tidak menjawab. Kejadian ini terasa begitu cepat dan membuat kepalanya menjadi sangat sakit.

“No!” seru Theo lemah. “ LEAAAA!”teriaknya.

 

***

 

“LEAAAAAAAA! LEAAAAAAAA!”

Rose langsung berlari ke lantai dua ketika mendengar Theo berteriak-teriak memanggil nama Alea.

Saat pintu kamar Theo dibuka, Rose melihat Theo sedang terduduk. Tubuhnya berkeringat dan wajahnya terlihat sangat pucat.

“Kau baik-baik saja?” tanya Rose khawatir.

Theo mengangguk pelan. “A-aku melihat Alea jatuh ke lantai karena tidak bisa bernapas,” ujarnya lemah.

Rose mendekat ke arah Theo dan memeluknya erat. “Itu hanya mimpi, Theo. Percayalah.”

Theo menggeleng. “Pasti ada suatu maksud dari mimpi itu, Bu.”

“Theo,”

“Alea, dia…mati di hadapanku, Bu. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya sambil menangis.

Theo tidak mampu lagi menahan air mata yang sudah ia tahan selama satu tahun lamanya. Alea―perempuan yang paling ia cintai itu menghilang dan membuat hidupnya menjadi kacau balau.

“Aku yakin, kau akan menemukan jawaban atas menghilangnya Alea, Theo,” ujarnya seraya menepuk-nepuk pundak Theo.

 

***

 

“Bu, aku ingin keluar sebentar,” ujar Theo sedikit berteriak dari luar kamar utama.

Rose yang sedang terduduk di kamar pun langsung membuka pintu.

“Kau mau ke mana?” tanya Rose seraya memerhatikan penampilan Theo yang sedikit berbeda hari ini. Ia terlihat sangat rapi. Seakan-akan, ia akan pergi untuk interview atau rapat dengan orang penting.

“Ingin pergi ke toko bunga. Alea akan senang sekali bila bunga di dekat dapur, diganti tiga hari sekali. Yang di dapur sudah layu,” ujar Theo ceria.

Rose mengernyitkan dahi. “Ada sesuatu yang membuatmu senang hari ini?” tanyanya hati-hati.

Theo menggeleng. “Aku hanya ingin membeli bunga dan hal itu membuatku sangat bersemangat,” jawabnya. “Aku pergi dulu, Bu,” lanjutnya, lalu ia segera keluar dari rumah.

Rose langsung menutup pintu kamarnya. Ia bingung dengan kelakuan anaknya itu. Seakan-akan, ia tidak sedang berbicara dengan Theo tadi.

“Dia kenapa?” tanyanya bingung.

Ia langsung duduk di depan meja rias dan terdiam selama beberapa detik. Ada foto Alea dan Theo terpajang di sana. Alea begitu cantik dengan gaun putih dan mahkota sederhana pemberiannya dulu dan Theo terlihat sangat bahagia.

Rose  mengambil foto itu dan melihatnya dari dekat. “Bagaimana bisa Theo kehilangan Alea saat kecelakaan itu? Bagaimana bisa tubuh Alea tidak ditemukan sama sekali? Kau pergi ke mana, Alea?” tanyanya sambil menitikkan air mata seraya menaruh kembali foto itu ke posisi semula.

“Theo pasti lapar saat pulang nanti,” ujarnya, lalu keluar dari kamar dan memaksakan dirinya untuk pergi ke dapur.

Foto Alea ada di mana-mana. Di kamar, di ruang tamu, dan bahkan di dapur.

“Aku yakin, bukan Theo yang menyakitimu,” ujarnya seraya mengambil foto yang terpajang di kulkas. “…dan kau bukanlah seorang perempuan yang akan meninggalkan suamimu begitu saja, Lea,” lanjutnya.

Tiba-tiba, foto itu terjatuh ke lantai dan Rose menemukan catatan kecil dengan warna tulisan yang berbeda-beda di belakang foto itu. Ia bisa memastikan, bahwa itu adalah tulisan Alea.

 

Clinton (4 y.o) : Apple pie & Banana smoothie

Maddox (10 y.o) : Smart, Pizza, & Pie Crust

Katie (25 y.o) : Flower, Chicken soup, & Pasta

Alex (35 y.o) : Vegan

 

“Ini apa?” tanya Rose bingung. “Clinton? Maddox?”

Rose memutuskan untuk membuat salah satu makanan yang ditulis oleh Alea. Ia benar-benar penasaran, mengapa Alea menulis ini semua di belakang foto dirinya dan Theo?

 

***

 

“Bu, aku pulang,” sapa Theo pelan.

Rose langsung berlari menyapa Theo yang sepertinya tidak jadi membeli bunga. “Kau kenapa?” tanyanya.

Theo menggeleng. “Tidak tahu. Tiba-tiba, aku terbangun di dalam toko bunga langganan Alea,” jawabnya.

“Aku membuatkanmu makanan. Makanlah bersamaku,” ajak Rose seraya menarik Theo ke dapur.

“Apa yang kau buat, Bu?” tanya Theo sambil duduk di meja makan.

Rose tersenyum kecil. “Apple pie,” jawabnya singkat.

Lalu, ia membawakan sepiring apple pie yang masih hangat untuk Theo.

Tiba-tiba, Theo terdiam.

“Theo?” panggil Rose pelan.

Tetapi, Theo hanya menunduk.

“Kau baik-baik saja?” tanya Rose bingung.

Baru beberapa saat terdiam, Theo langsung mengadahkan wajahnya ke langit-langit dan tersenyum ceria. “Asik! Apple pie!” serunya senang.

Rose benar-benar terkejut saat melihat kelakuan Theo. “K-kau Clin…, Clinton?” panggilnya ragu.

Theo mengangguk cepat sambil melahap apple pie miliknya. “Aku Clinton. Umurku empat tahun. Aku suka dengan Alea,” ujarnya riang.

“K-kau ke-kenal padaku?” tanya Rose memastikan.

Clinton mengangguk. “Ibu,” jawabnya singkat.

Rose mengernyitkan dahinya. “Be…betul.”

“Hanya kau dan Alea yang menyayangiku.”  

Rose mendadak lemas saat melihat Theo berubah menjadi Clinton. Bagaimana bisa ia tidak tahu sama sekali, bahwa anaknya memiliki kelainan seperti ini?

“Bolehkah aku makan banyak?” tanyanya pada Rose yang hanya dibalas oleh dua kali anggukan kaku.

 

***