cover landing

100 Orilette

By Fuby Filian


1:
untuk Candy.

Jangan kecewa, ini bukan surat cinta.

Saya buat ini cuman mau kasih tahu, kalau hari ini kamu cantik.

Mau bilang langsung susah, kamunya selalu lari kalau lihat saya.

Gema.

*

02:24 AM

Pintu terbuka, menampilkan seorang cewek dengan rambut acak-acakan. Ia berdiri sesaat di ambang pintu dengan kepala tertunduk menatap lantai. Ditutupnya pintu kamar dengan perlahan-lahan. Kaki telanjangnya mulai melangkah menyusuri lantai dingin kamarnya. Titik-titik air berjatuhan dari rambut dan pakaian yang ia kenakan.

Masih dengan kepala yang menunduk, ia membiarkan jari-jarinya menyusuri benda-benda yang ada di meja. Disentuhnya dengan perlahan-lahan apa pun yang ada di atas meja itu.  Setitik darah menetes dan tertinggal di atas meja. Ada tiga luka sayatan yang mengeluarkan darah segar di pergelangan tangannya. Luka yang baru saja diperoleh sendiri dengan sengaja.

Kaki jenjang itu terus melangkah semakin dekat menuju cermin. Sampai di hadapan cermin, ia menatapa kosong pada pantulan dirinya yang sangat kacau balau. Disentuhnya luka-luka yang ada di pergelangan tangan itu oleh jari-jarinya. Dengan perlahan, ia mengangkat jari-jarinya untuk menyentuh cermin. Jari-jarinya yang berlumuran darah mulai menulis sebuah huruf-huruf di cermin itu. Terus begitu, hingga huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, lalu semakin bertambah hingga menjadi sebuah kalimat.

Aku ingin hidupku yang dulu.

***

Sinar mentari pagi berhasil masuk menembus celah-celah tirai jendela. Ruangan yang semula gelap gulita tanpa penerangan itu kini mendapat sedikit cahaya.

Cewek yang merupakan pemilik kamar itu sedang duduk di atas kasur, ia menatap kosong pergelangan tangannya. Rambutnya acak-acakan, wajah pucat, dan terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. Semalaman ia berjaga dalam suasana gelap, lampu dimatikan dan tak ada penerangan sama sekali.

Menyadari matahari sudah terbit sedari tadi, pemilik kamar itu mengembuskan napas lelah dan menyudahi aksi diam dengan tatapan kosongnya. Ia bergerak menuju meja di samping tempat tidurnya dan mengambil perban. Digulungnya perban itu dengan asal ke pergelangan tangannya untuk menutup luka-luka yang ada di sana.

Cewek itu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, tidak perlu mandi lagi karena semalam ia sudah berendam. Setelah selesai dengan kegiatan di kamar mandi, ia langsung mengenakan seragam khas sekolahnya. Candy Elissya Carson, itu nama yang tertera di name tag seragamnya. Tak lupa ia mengenakan jaket agar tangannya yang diperban tidak terlihat.

Berdandan dengan cepat dan ala kadarnya. Merasa tidak perlu dandan secara berlebihan, karena ia sekolah bukan untuk menjadi ratu kecantikan. Disambarnya tas sekolah, dompet, dan juga ponsel yang tergeletak di meja. Ia berjalan dengan langkah panjang keluar dari kamarnya, dan keluar dari rumahnya yang sepi seolah tak berpenghuni.

Seorang cowok dengan mobilnya sudah menunggu Candy di luar gerbang. Cowok berwajah dingin itu Samuel, nama lengkapnya Samuel Farendiel. Dia adalah teman kecil Candy, entah kata teman itu sebenarnya cocok atau tidak untuk menjelaskan hubungan di antara ia dan Samuel.

Pernah dengar tentang pertemanan antara cewek dan cowok adalah sesuatu yang mustahil tanpa melibatkan perasaan? Entah itu ceweknya atau cowoknya, pasti salah satu ada yang menyimpan rasa.

Benar. Itu terjadi pada Candy dan Samuel. Sayangnya, di sini Candy-lah satu-satunya pihak yang menyimpan rasa berlebihan pada Samuel. Bahkan perasaan itu bertahun-tahun bertahan tanpa balasan.

Namun, ada masa di mana perasaan itu seketika dipatahkan oleh Samuel. Meskipun terang-terangan mematahkan hati Candy, cowok itu tetap bersikap seperti biasanya. Seolah yang ia lakukan bukan apa-apa dan tidak memberikan efek patah hati pada Candy. Sebab yang ia mau memang Candy tidak memiliki perasaan apa-apa dan mereka hanya harus berteman saja.

Menyedihkan, tidak ada satu aspek dalam hidupnya yang benar-benar membahagiakan.

Candy masuk ke dalam mobil Samuel setelah pintu dibukakan oleh pemilik mobil itu. Dalam perjalanan menuju sekolah tak ada percakapan yang terjadi. Candy sibuk dengan pikirannya dan Samuel yang selalu fokus menyetir. Samuel memang bukan cowok yang banyak bicara, ia dingin pada semua orang, bahkan pada Candy. Bertahun-tahun kenal dengan sosok Samuel yang seperti ini, kadang membuat Candy muak sendiri. Menghadapi cowok dingin dan teramat cuek, tak jarang membuatnya makan hati. Untungnya, sikap Samuel yang seperti itu mempermudah perasaannya. Tidak sulit untuknya membuang perasaan terhadap Samuel jauh-jauh setelah ditolak secara terang-terangan dan tanpa sedikitpun merasa kasihan.

"Pulang sama gue," ujar Samuel mengingatkan.

"Lihat nanti."

Mobil Samuel sudah memasuki kawasan sekolah. Sudah banyak murid yang berdatangan dan parkiran sudah lumayan penuh. Samuel mendapat tempat parkir paling ujung. Saat Candy hendak turun dari mobil, Samuel menahan lengannya.

Samuel mengulurkan tangannya untuk mengusap bagian bawah mata Candy. Mata yang terlihat lelah dan sangat jelek.

"Jangan keseringan gadang." Samuel mengusap kepala Candy masih dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.

Dulu, ia akan salting dan kesenengan setengah mati mendapatkan perhatian sekecil itu dari sosok Samuel. Namun, sekarang entah ke mana perginya perasaan itu, Candy sendiri tidak tahu.

"Iya," ucap Candy hanya menyahut singkat dan langsung turun dari mobil Samuel.

Hanya begitu, tak banyak interaksi yang sering terjadi antara Candy dan Samuel. Meskipun kebersamaan mereka kadang kala disangka sepasang kekasih oleh orang-orang, nyatanya hubungan merekaaat ini sangat dingin satu sama lain.

Candy melirik pada seorang cewek berseragam ketat yang menghampiri Samuel saat cowok itu baru keluar dari mobil.

"Sam, Sammy!"

"Kenapa, Dian?" Samuel melirik sekilas tanpa minat pada cewek yang sekarang sedang menarik-narik lengannya.

Samuel kini melirik pada Candy, ia masih berdiri di samping mobil Samuel sambil mengorek-ngorek tasnya. Candy terlihat tidak peduli dengan Samuel dan Dian.

"Sam, hari ini sepulang sekolah temenin gue, ya?" Dian menarik-narik lengan Samuel dengan manja.

Samuel melirik lagi pada Candy, ceweknya itu kini sudah menyumpal satu telinganya dengan earphone. Wajah Candy terlihat datar-datar saja, tapi Samuel yakin hal ini menganggu Candy.

"Gak bisa," tolak Samuel.

"Sam iiih, temenin gue ya, mau ya?"

"Gak bisa, Dian."

"Iiih! Kenapa sih? Gara-gara dia?" Dian melirik Candy tidak suka. "Posesif banget sih jadi cewek, masa nemenin temen aja enggak boleh. Jangan sok ngekang deh, lo juga bukan pacarnya kan?”

Candy di tempatnya tersenyum kecil pada ponsel yang sedang ia otak-atik. Dian, ia adalah senior Candy dan satu angkatan dengan Samuel. Di mata Candy, Dian hanya salah satu cewek tidak tahu malu yang terang-terangan mengejar Samuel sejak lama. Jujur saja, Candy sudah muak dengan kelakuan Dian yang sering semena-mena dan menganggap Candy benalu di kisah cintanya. Padahal, Candy sama sekali tidak peduli.

"Samuel enggak perlu izin gue buat pergi kok. Kalau dia mau sama lo, dia bakal pergi dengan sukarela." Candy berucap dengan nada santai pada Dian, lalu berjalan meninggalkan keduanya.

Candy bergegas pergi dari parkiran sambil menyumpal telinga satunya lagi dengan earphone. Karena tidak melihat jalan dan terburu-buru, Candy bahkan tidak sadar sebuah motor hitam nyaris menghantamnya. Beruntunglah pengendara motor hitam itu berhasil ngerem tepat waktu. Lagi pula, jika kena tabrak pun tidak akan seberapa, karena pengendara motor itu melajukan motornya dengan pelan saat memasuki area sekolah.

"Tubuh lo lengkap? Nggak ada yang kegores atau lepas 'kan?" tanya si pemilik motor.

Candy menoleh, tidak begitu jelas mendengar apa yang diucapkan cowok itu karena earphone yang menyumpal kedua telinganya dan helm yang cowok itu pakai. Merasa tidak begitu penting, Candy langsung pergi begitu saja dari hadapan cowok itu agar tidak menghalangi motornya yang hendak parkir.

Cowok dengan motor hitam itu menegakkan tubuhnya dan memperhatikan kepergian Candy dengan wajah penasaran di balik helmnya.

"Itu cewek jutek namanya Cindy 'kan ya?"

***

Suara tamparan yang begitu keras terdengar di koridor dekat ruang kesenian. Karena area itu sangat sepi, suara tamparan itu menggema ke sepenjuru lorong.

Kemerahan terlihat jelas di pipi cewek yang baru saja mendapatkan tamparan itu, itu cukup membuktikan jika ia ditampar dengan sekuat tenaga.

"Ini peringatan awal buat lo, kalau sampai gue liat lo bareng Riko lagi, gue jamin hidup lo ga bakal tenang di sekolah ini."

"Udah?" tanya Candy dengan wajah datar seolah tamparan yang membuat pipinya merah itu tidak terasa sama sekali.

Cewek dengan name tag Amirani Tias itu tersenyum sinis melihat reaksi Candy yang biasa-biasa saja. Candy memang selalu memasang tampang biasa-biasa saja, selalu diam tanpa perlawanan, tapi itu justru semakin terlihat menyebalkan di mata Tias.

"Samuel kurang buat lo? Jangan jadi cewek murahan yang ladenin semua cowok dong. Gila ya, serakah amat jadi cewek. Semua cowok lo embat.”

"Masalah sebenarnya di sini apa sih, Tias?" Candy bertanya dengan wajah yang dibuat bingung.

"Bego! Gausah pura-pura lo, jelas kalau Riko yang ngejar-ngejar lo itu yang jadi masalah di sini." Tias menunjuk-nunjuk wajah Candy marah.

"Oh? Berarti yang harus lo tampar dan lo marah-marahin Riko dong, bukan gue."

Bisa dilihat wajah Tias semakin marah, matanya menyipit tidak senang menatap Candy.

"Riko enggak bakal ngejar-ngejar lo, kalau lo juga nggak ngeladenin. Emang dasarnya lo itu cewek murahan!"

Bagi Tias, masalah ini memang Candy yang jadi biangnya. Karena Riko tidak akan terus-terus mendekati Candy jika Candy menolak dengan tegas. Belum lama ini, Riko terang-terangan berbicara pada Tias bahwa dirinya menyukai Candy. Saat itu juga, Riko langsung memutuskan Tias karena alasan suka pada Candy. Tias sakit hati, tentu saja. Ia tidak bisa melampiaskan kekesalannya pada Riko karena perasaannya. Jadi, Candy yang harus menerima segala amarah sakit hati dari Tias. Padahal, pada dasarnya memang Riko itu berengsek dan selalu gonta-ganti cewek dengan mudahnya. Tias saja yang bodoh dan merasa paling tersakiti, maka dari itu ia hanya bisa melampiaskannya pada Candy.

"Iya gue murahan, yaudah emang bener.”

Selalu begini, banyak cowok yang mendekati Candy tapi selalu Candy yang kena getahnya. Padahal Candy tidak pernah merespon sama sekali. Ya begitu, cowok-cowok selalu mendekat dan mengusik Candy. Tapi di mata para cewek, justru Candy yang disebut murahan. Mereka hanya tidak tahu Candy bagaimana, mereka selalu sesuka hati menilai dan menghujat Candy. Entah karena iri atau apa.

Lalu Candy bisa apa? Tentu saja hanya diam dan tak melakukan apa-apa. Terlihat biasa saja seolah tak peduli, tapi jauh di dalam hatinya ia begitu merasakan tekanan batin. Candy tidak begitu pandai mengekspresikan perasaanya pada orang lain. Ia tidak bisa marah-marah pada orang lain dan bersikap begini-begitu. Ia seperti orang tak berdaya dan lemah. Hanya diam, itu yang sering ia lakukan. Dalam diamnya, ia hanya bisa marah sendiri. Melampiaskan segala emosi negatifnya pada diri sendiri dengan cara melukai diri seperti yang sering ia lakukan.

***