cover landing

>9SR

By Huning Margaluwih



7 Maret 2023

"Aku harus cepat," gumam Idris pada diri sendiri sambil mengemasi dokumen-dokumen dan perlatan miliknya, "Aku harus menghilang sampai mereka tidak bisa menemukanku."

Cahaya kilat menerobos masuk melalui celah-celah yang tak tertutup, bayangan  benda-benda menggeliat di sekitar Idris. Pria paruh baya itu sempat menghentikan aktivitasnya untuk sesaat, cemas jika ada salah seorang rekan yang memergokinya mengambil seluruh data-data penting itu. Tak ada satu pun manusia di ruangan itu, hanya ada Idris di sana. Idris kembali mengemasi barang-barang sambil menunggu proses penggandaan data ke hardisk-nya. Tangan Idris gemetar, ada rasa takut, cemas, dan sedih yang bergulat di dalam dadanya. Pikirannya menerawang, ia teringat pada anak-istrinya yang ada di rumah, saudara, bahkan sahabat-sahabatnya yang hidup dalam ketidaktahuan dan kepalsuan media.

Beep.

Suara itu membuyarkan lamunan Idris, ia berhasil memindahkan seluruh data ke dalam hardisk. Tanpa keraguan ia menekan tombol hapus pada komputernya, dalam hitungan detik data-data penting itu lenyap dari pandangan mata. Idris menyambar hardisk berwarna hitam itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastik anti air. Tanpa membuang waktu ia segera keluar dari ruangan dan menyusuri koridor kantor dengan seluruh otot yang menegang karena was-was.

Idris melewati lorong lantai tiga dengan mulus, namun ia kembali was-was saat tiba di lantai satu. Begitu pintu lift terbuka, Idris mendengar suara Hamzah menggema. Hamzah adalah pemimpin petugas keaman di gedung ini, ia bersama regunya sedang melakukan apel sore di dalam gedung karena hujan deras mengguyur wilayah itu. Idris melirik Hamzah dengan cemas, bagaimana pun pria itu harus bisa menyembunyikan perasaan was-wasnya. Hamzah membalas lirikan Idris, seperti biasa ia tersenyum simpul sambil mengangguk mendapati Idris berjalan tergesa-gesa. Hamzah tidak menyadari ada yang aneh dari gelagat Idris, ia bahkan tidak sadar pria yang melewati barisan pasukannya itu tengah membawa tas lebih dari satu dan lebih penuh dari biasanya.

Malam itu, Idris berhasil keluar dari gedung Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKGI) dengan membawa berkas-berkas yang seharusnya dihilangkan tanpa sepengetahuan anggota lainnya. Dengan kecepatan mobil mencapai angka 120 km/jam, Idris menuju ke kediaman pribadinya di pinggiran kota untuk menemui satu-satunya pria yang saat ini bisa ia percaya. Pria yang sudah menantinya dan rela meluangkan waktunya untuk singgah seorang diri ke gubugnya itu adalah pria nomor satu di Indonesia.

 

***

 

Seorang pria berusia sekitar pertengahan 40 tahun dan berperawakan tinggi berdiri di depan kaca jendela ruangan yang remang, pin lambang negara serta bendera merah putih tersemat di dadanya. Pria itulah yang dikenal sebagai kepala negara Republik Indonesia, Prof. Dr.-Ing. Basudewa Ekadanta. Pria itu menatap ke luar jendela dengan pandangan tenang, namun hatinya bergemuruh dan kepalanya penuh dengan spekulasi-spekulasi yang rumit.

"Anda sudah mengerti?"

Suara berat pria lain yang ada di ruangan itu memecah keheningan, ia menekan punggung Basudewa dengan benda berwarna hitam yang siap meletus kapan saja jika ia menarik pelatuknya.

"Masih belum terlambat untuk membatalkan semua rencanamu," ujar Basudewa tenang, "Kita bisa diskusikan ini semua bersama Idris."

"Tidak!" Pria itu kini menekan punggung Basudewa lebih keras lagi, "Sudah kubilang, aku menginginkan data itu."

"Data itu akan lebih berguna jika berada di tangan yang tepat untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia."

Pria itu mendekat lebih rapat dan berbisik di telinga Basudewa, "Tidak akan kubiarkan kalian semua menyebarkan berita itu!"

"Kenapa? Bukankah kamu dan timmu seharusnya mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik saat hari itu tiba?"

Pria itu tertawa dingin, "Kami lelah dengan uang kecil, kami butuh uang lebih banyak lagi."

"Jadi semua ini karena uang?"

"Anda pasti lebih tahu dari kami, yang kayalah yang selalu jadi penguasa. Karena itu, serahkan data-data itu!"

Basudewa menghela napas dengan berat.

"Bagaimana pun tugasku adalah melindungi negara ini dan rakyatnya," ujar Basudewa sambil berbalik, "Jadi tarik saja pelatukmu, aku tidak takut."

Mata pria itu melebar menghadapi tatapan Basudewa yang penuh kepercayaan diri dan wibawa, ia semakin gusar. Tetapi membunuh Basudewa tidak akan membantunya, ia butuh Basudewa dalam keadaan hidup. Basudewa adalah kunci dari seluruh operasinya nanti, semuanya akan sia-sia jika nyawa Basudewa melayang. Pria itu tertawa lagi, lalu mendecih dan melangkah mundur.

"Jangan paksa saya untuk memakai cara yang lebih keras, Pak," ancamnya.

Jantung Basudewa berdebar, kepalanya kembali berspekulasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan diambil oleh pembelot yang ada di hadapannya saat ini. Basudewa berharap Idris datang lebih lambat agar data-data itu selamat, tidak masalah meski pun ia tidak selamat. Asal data itu selamat dan bisa disebarluaskan untuk keselamatan rakyat, Basudewa akan melakukan apa pun untuk hal itu. Dering telepon memecah kebekuan mereka. Pembelot itu menerima sebuah panggilan dan seringai kemenangan terpahat di wajahnya, ia melangkah ke depan lalu menyodorkan ponsel itu pada Basudewa. Basudewa menerimanya dengan sedikit ragu, firasat buruk mulai memenuhi pikirannya.

"Bicaralah selagi ada kesempatan."

Basudewa membuka mulutnya, "Halo?"

Tidak ada jawaban, tapi ia bisa mendengar suara Martha, asisten rumah tangganya, sedang memanggil Thrisa.

"Nyonya, ada telepon dari bapak."

Bagai tersambar petir di siang bolong, bahkan pembelot pun sudah memasuki kediaman keluarganya tanpa ia sadari. Tak lama kemudian, suara wanita yang amat ia cintai terdengar begitu teduh dan merdu di telinganya.

"Halo, Sayang?"

Tenggorokan Basudewa tercekat, amarah menggelegak di dalam dadanya membayangkan keluarganya sedang dalam bahaya. Namun Basudewa berhasil menahan amarahnya, ia berdeham cukup kencang.

"Sayang?"

"Di mana anak-anak?"

"Oh, ada di kamarnya. Kamu kangen sama mereka?

"Iya, begitu juga denganmu."

Tidak ada yang berbicara, hening. Thrisa segera menyadari ada yang aneh pada suaminya, "Ada masalah apa?"

"Thrisa, apa pun yang terjadi aku akan selalu mencintaimu," ujar Basudewa cepat, "Jagalah anak-anak!"

Telepon seketika direbut oleh pria yang daritadi mengamatinya dengan gusar, suara Thrisa terdengar cukup keras. Wanita itu terdengar panik, "Sayang, halo? Sayang?!"

Beep, sambungan telepon pun terputus.

"Sudah Anda putuskan?"

Basudewa mengangguk pelan, pikirannya berkecamuk. Negara dan rakyat adalah prioritasnya, begitu juga dengan keluarganya. Bagi Basudewa ketiganya bukanlah pilihan, semuanya harus dimenangkan.

Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan di pintu. Pembelot itu menatap Basudewa tajam, kemudian ia mengendap ke arah pintu dan merapat ke sisi pintu yang akan terhalang oleh daun pintu. Basudewa mematung di tempatnya saat pintu terbuka dan Idris memasuki ruang tamu dengan beberapa bawaan yang cukup banyak.

"Maaf sudah membuat Anda menunggu, Pak."

Basudewa bergeming, ia sedang mencari cara bagaimana memberi tahu Idris jika ada bahaya di dalam rumah ini.

"Pak?"

Basudewa mengerjap ke arah Idris, ia menatap Idris kemudian melirik ke belakang Idris. Basudewa melakukannya berulang kali agar Idris memahami maksudnya.

"Pak?"

"Ah iya, apakah datanya sudah semua?" tanya Basudewa kemudian.

"Sudah, saya sudah menggandakan ke hardisk dan menghapus bank data di sana."

Lagi-lagi Basudewa menatap Idris tajam dan melirik ke arah belakang. Idris mulai merasa ada yang salah dengan Basudewa, seketika rasa was-was hinggap di hati Idris. Dengan hati-hati Idris menoleh ke belakang, tetapi dalam hitungan detik sebuah tali menjerat lehernya dengan begitu kuat.

"Lepaskan!" erang Idris.

"Aku tak akan membiarkan kalian menyebarkan data-data itu."

Basudewa berlari mendekat dan membantu Idris untuk melepaskan jeratan tali itu, tapi sebuah pukulan menghantamnya tepat di hidung dan membuat Basudewa meraung kesakitan. Basudewa mencoba berdiri, pandangannya nanar. Basudewa tidak menyerah, ia mencoba mendekati Idris yang meronta-ronta karena tercekik. Saat itulah sebuah tembakan meletus dan pelurunya melesak membus sepatu dan meremukkan bagian tulang punggung kaki Basudewa. Pria itu pun meraung kesakitan, rasa panas dan nyeri yang luar biasa menguasai tubuhnya. Basudewa berusaha merayap mendekat, namun saat ia semakin dekat dengan tubuh Idris, tubuh itu mulai tidak meronta lagi dengan kuat. Tangan Idris lunglai dan jatuh ke lantai tanpa tenaga, perlawan Idris menguap akibat jeratan tali yang begitu kuat.

"Sudah kubilang, jangan main-main dengan kami!"

Kemudian pria itu menatap tubuh Idris, lalu ia melakukan beberapa pengecekan. Pria itu tersenyum lega, lega karena tanda-tanda vital Idris tak lagi ada. Basudewa menatap tubuh Idris tak percaya, mati. Idris yang selama ini ia kenal sebagai orang yang baik, bijaksana, dan penuh integritas itu telah mati dengan cara yang tidak manusiawi.

"Apa yang sudah kamu lakukan!?!?" teriak Basudewa murka melupakan rasa sakitnya.

Pria itu mendecih, "Melenyapkan pengganggu."

Pria itu melakukan panggilan dan berbicara dengan seseorang yang ia hubungi, "Semua sudah terkendali, uruslah sisanya. Aku akan bawa presiden ke markas, siapkan obat-obatan, ia tertembak."

Malam itu Basudewa diseret paksa untuk masuk ke mobil van berkaca gelap. Dan sejak saat itulah Basudewa tidak berhenti mengutuk dirinya karena tidak bisa berbuat apa pun untuk menolong Idris, lagi-lagi orang tidak bersalah menjadi korban.

 

***